TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Makna Tumpek Wariga, Tradisi Hindu Bali untuk Menjaga Alam

Ini bukan menyembah pohon ya, guys

Upacara Tumpek Wariga. (instagram.com/dewajhon01)

Perayaan penting umat Hindu di Bali yang dilaksanakan pada Sabtu Kliwon, Wuki Wariga (8/7/2023) adalah Tumpek Wariga. Tumpek Wariga atau juga disebut dengan Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, Tumpek Uduh, dan Tumpek Bubuh ini erat kaitannya dengan perayaan Hari Raya Galungan.

Tradisi ini dilaksanakan setiap 210 hari atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Berikut ini makna Tumpek Wariga.

Baca Juga: Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  

1. Makna Tumpek Wariga

Upacara Tumpek Wariga. (instagram.com/saida_areta)

Tumpek Wariga berdasarkan upacara atau persembahannya, berfungsi untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Keadaan selaras dan seimbang ini dapat mendatangkan kesuburan atau kerahayuan.

Terkait dengan perayaan Hari Raya Galungan, Tumpek Wariga memiliki arti bahwa setiap umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), agar tanaman atau pohon yang ada bisa tumbuh subur, berbuah lebat, dan memiliki bunga yang banyak. Hal ini agar nantinya buah maupun bunga ini bisa digunakan saat Hari Raya Galungan.

2. Bukan menyembah pohon atau tumbuh-tumbuhan

Upacara saat Tumpek Wariga. (instagram.com/suartininyoman82)

Upacara saat Tumpek Wariga dilaksanakan untuk tumbuh-tumbuhan atau pohon. Hal ini bukan berarti umat Hindu menyembah pohon sebagai berhala. Namun lebih memiliki makna bahwa umat Hindu menyembah kekuatan Tuhan yang bersemayam pada tumbuh-tumbuhan, di mana dapat dikatakan sebagai Dewa Kesuburan.

Pada kekuatan itu lah umat Hindu mengucapkan terima kasih karena telah membantu dalam kehidupan sehari-hari. Kekuatan Tuhan yang ada di pohon disebut dengan nama Vanaspati atau di Bali disebut dengan nama Banaspati. Hal ini tertuang dalam kitab Sveta Svatara Upanisad 11.17 yang bunyinya sebagai berikut:

Yo devo gnah yo psu
Yo visvam bhuvana ma visesa
Yo osadhisu yo vanaspatisu
Jasmai devaya namo nama.

Artinya :

Sujud bhakti pada Tuhan yang berada pada api
yang berada di air
yang meresapi seluruh alam semesta
yang ada dalam tumbuh-tumbuhan, yang ada dalam pohon-pohon kayu

3. Sarana upacara yang digunakan

Sarana upacara Tumpek Wariga. (instagram.com/jatiyasaya)

Sarana upacara dan tata laksana saat Tumpek Wariga disebutkan dalam Lontar Sundarigama yang bunyinya:

Wariga Saniscara Kliwon, ngaran panguduh pujawali Sanghyang Sangkara, apan sira amrtaken sarwaning tawuwuh, kayu-kayu kunang, widhi-widhanana, pras tulung, sesayut, tumpeng, bubur mwang tumpeng agung iwak nia guling bawi, itik wenang, saha raka, penyeneng, tetabuh, kalinggania anguduh ikang awoh mwang godong, dadya pamrtaning hurip ring manusa. Sesayut cakragni kalinggania anuduh kna adnyana sandhi.

Artinya :

Wuku Wariga yakni pada hari Saniscara Kliwon, disebutlah Hari Panguduh. Suatu hari untuk memuja Sanghyang Sangkara, sebab Beliaulah yang menciptakan segala tumbuh-tumbuhan, termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah peras tulung sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng agung dengan daging babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka (jajan dan buah-buahan), penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut di atas ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur, lebat buahnya bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam ketentraman hati, serta kesejahteraan lahir dan bathin.

Adapun sarana yang diperlukan di antaranya:

  • Banten peras
  • Banten nasi tulung sesayut
  • Banten tumpeng agung
  • Bubur sumsum
  • Banten tumpeng agung
  • Ulam itik (diguling), benten peyeneng
  • Tetebusan dan canang sari, ditambah dupa harum

Sarana upacara atau banten ini dipersembahkan menghadap ke arah barat laut (kaja kauh) karena Dewa Sangkara berada di arah mata angin tersebut. Kemudian dihaturkan pula sasap dan gantungan yang dikaitkan di pohon dan menghaturkan bubum sumsum sambil batang pohon diketok-ketok dengan pisatu tumpul sebanyak 3 kali.

4. Mantra saat upacara persembahan Tumpek Wariga

Upacara Tumpek Wariga. (instagram.com/balisajacom)

Saat menghaturkan sarana upacara, pada prosesi menghaturkan bubur sumsum dan batang pohon diketok-ketok dengan pisau tumpul, umat mengucapkan mantra atau doa berikut ini:

Dadong.. dadong.. kaki dija? Ia Jumah, ia ngudiang jumah? Ia gelem kebus dingin ngetor, ngeed ngeed ngeed, buin selae lemeng Galungane mangda mabuah nged, nged, nged.

Artinya :

Nenek-nenek, kakek ke mana? Ia di rumah, ia ngapain di rumah? Ia sakit panas dingin menggigil. Lebat, lebat, lebat, lagi dua puluh lima hari upacara Hari Raya Galungan supaya berbuah lebat, lebat, lebat.


Kaki.. kaki.. dadong dija? Ia Jumah, ia ngudiang jumah? Ia gelem kebus dingin ngetor, ngeed ngeed ngeed. Ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selae lemeng Galungane mangda mabuah ngeeedd'.

Artinya :

Kakek, kakek, nenek ke mana? Ia di rumah, ia ngapain di rumah? Ia sakit panas dingin menggigil. Lebat, lebat, lebat. Lebat di utara, lebat di selatan, lebat di timur, dan lebat di barat, lagi dua puluh lima hari upacara Hari Raya Galungan supaya berbuah lebaaaatttt.

Kaki-kaki buin selae lemeng Galungan mabuah nged, nged, nged.

Artinya :

Kakek, kakek, lagi dua puluh lima hari upacara hari raya Galungan berbuah lebat.

Ungkapan kakek dan nenek ini adalah ungkapan kiasan yang memberikan makna penghormatan atau memuliakan tumbuh-tumbuhan karena mereka lebih dahulu ada di alam semesta ini.

Verified Writer

Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya