TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Asal-usul Pohon Kayu berdasarkan Lontar Aji Janantaka

Hindu juga menggolongkan kayu seperti manusia lho #Bali

Ilustrasi pohon. (unsplash.com/Simon Wilkes)

Dalam ajaran Hindu, manusia tidak lepas dari keterikatan dengan makhluk hidup lainnya, termasuk tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan banyak membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya kayu yang digunakan untuk bangunan atau benda lainnya.

Kayu memiliki banyak jenis dan tidak semuanya dapat digunakan sebagai bangunan atau benda lainnya. Hal ini diatur dalam Lontar Aji Janantaka. Berikut ini asal-usul Asal-usul pohon kayu berdasarkan Lontar Aji Janantaka.

Baca Juga: 5 Tradisi Unik Bali yang Berasal dari Karangasem

Baca Juga: 5 Tradisi Unik Bali di Kabupaten Badung, Sayang Dilewatkan

1. Isi Lontar Aji Janantaka

Ilustrasi pohon. (unsplash.com/Jon Moore)

Dikutip Jurnal berjudul "Tutur Janantaka" tahun 2017 yang ditulis oleh Drs I Ketut Nuarca Ms, Prodi Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Lontar Aji Janantaka adalah naskah lontar yang digolongkan ke dalam jenis tutur. Lontar ini adalah sebuah naskah klasik Jawa Kuno yang isinya secara garis besar tentang nama jenis tumbuh-tumbuhan (kayu-kayuan) dalam hubungannya sebagai bahan-bahan bangunan, baik untuk tempat tinggal maupun bangunan tempat suci.

Dalam lontar ini terdapat kisah Raja Arya Partiwa beserta bawahannya yang berubah menjadi tumbuhan (kayu-kayuan). Dari cerita inilah kemudian didapat mengenai jenis kayu-kayuan yang bisa atau tidak bisa digunakan untuk bangunan.

2. Kisah Raya Arya Partiwa

Ilustrasi raja. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Arya Partiwa adalah seorang raja yang berasal dari daerah Angantaka. Ia dalam kesehariannya selalu berbuat adharma (keburukan). Karena perbuatannya, raja beserta bawahannya dan masyarakat Angantaka diserang oleh wabah penyakit lepra atau yang disebut cukildaki.

Ia kemudian meminta petunjuk seorang pendeta sakti bernama Mpu Witadarma atau Sang Hyang Geni Jaya, yang baru saja datang ke Bali. Oleh pendeta sakti, raja beserta bawahan dan masyarakatnya diminta untuk bertapa selama dua tahun di Jurang Melangit.

3. Penduduk Angantaka berubah menjadi pohon kayu

foto hanya ilustrasi (YouTube.com/TheLotrTV)

Setelah dua tahun bertapa, raja, bawahan, beserta seluruh masyarakatnya sakit dan meninggal dunia. Jenazah mereka tumbuh menjadi pohon-pohon kayu yang berbeda-beda. Pohon-pohon kayu tersebut antara lain:

  • Jenazah Raja Arya Partiwa menjadi pohon nangka
  • Jenazah Patih Matuha menjadi pohon jati
  • Jenazah Patih Rangga menjadi pohon sentul
  • Jenazah Demung menjadi pohon anger
  • Jenazah Arya menjadi pohon keladian dan pohon benda
  • Jenazah para kepala desa menjadi pohon bengkel, bayur, bentenu, kedongdong, pulet, kutat, kapundung, dan caruring.

Pohon-pohon ini tumbuh dalam keadaan tidak subur dan tidak sehat. Ada yang berlubang atau membusuk, ada yang daunnya diserang ulat, dan bunganya diserang lalat. Diyakini, bahwa roh yang menjelma adalah roh-roh yang dikutuk karena perbuatannya selama hidup.

4. Mpu Witadarma diutus untuk membersihkan roh-roh pohon yang kotor

Bunga tulud nyuh atau jempiring kecil. (instagram.com/blijul_pande)

Melihat kondisi ini, Dewa Siwa meminta Dewa Brahma untuk pergi ke Mpu Witadarma agar menganugerahkan air penghidupan kepada roh-roh di pohon tersebut. Mpu Witadarma pergi ke Jurang Melangit. Seluruh roh dibersihkan dengan air suci tersebut.

Namun saat itu ada dua roh dari pohon bunga jempiring kecil dan bunga sarikonta yang menolak. Hal ini membuat marah Mpu Witadarma, dan mengutuk roh tersebut agar tetap diliputi malapetaka. Bunga jempiring kecil ini menjadi nama bunga tulud nyuh. Cerita inilah yang menjadi asal-usul bunga tulud nyuh, dan tidak boleh digunakan sebagai sarana persembahyangan. Sebab dianggap sebagai bunga yang ternoda karena kutukan dewa. Begitu juga halnya dengan bunga sarikonta, tidak boleh digunakan sebagai sarana persembahyangan.

Roh pohon kayu cempaka kecil dan gentimun juga tidak mendapatkan penganugerahan karena datang terlambat, serta air sucinya Mpu Witadarma sudah habis. Kayu cempaka kecil diganti namanya menjadi kayu base, dan gentimun tetap namanya seperti semula. Kedua kayu ini tidak boleh digunakan sebagai bahan bangunan baik untuk rumah, tempat tinggal, maupun bangunan tempat suci.

Verified Writer

Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya