TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Melihat Wajah Animal Farm dalam Politik

Menghindari 'Animal Farm' dalam politik pemilihan presiden

Ilustrasi Animal Farm, karya George Orwell (pxfuel.com)

Pemilihan presiden adalah momen krusial dalam kehidupan sebuah negara demokratis. Ini adalah saat di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan membawa negara mereka ke arah yang diinginkan. Namun, saat melihat perkembangan politik belakangan ini, saya tidak bisa tidak teringat pada cerita klasik George Orwell, Animal Farm.

Novel ini tidak sekadar kisah tentang hewan, tetapi juga merupakan kritik yang tajam terhadap penyimpangan dalam politik dan perubahan yang terjadi ketika kekuasaan jatuh ke tangan yang salah. Dalam konteks politik kita, terkadang tampaknya pemilihan presiden kita telah berubah menjadi pesta Animal Farm yang merusak makna demokrasi sejati.

Baca Juga: [OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024

Baca Juga: [OPINI] Demokrasi dan Fenomena Elite Capture

Janji kandidat dan kepentingan pribadi

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Satu aspek yang mirip dengan Animal Farm adalah janji-janji yang diberikan oleh para kandidat. Di Animal Farm, para babi memulai revolusi dengan janji untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengabaikan prinsip-prinsip tersebut demi kepentingan pribadi sendiri. Dalam politik di Indonesia, kita sering melihat kandidat yang menggoda pemilih dengan janji-janji besar, tetapi kemudian berbalik melupakan janji-janji tersebut setelah mereka terpilih. Pemilihan presiden seharusnya tentang melayani masyarakat, bukan kepentingan pribadi.

Ketika masyarakat memberikan suara kepada seorang kandidat, mereka mengharapkan bahwa kandidat tersebut akan menjalankan tanggung jawabnya dengan integritas dan kejujuran. Sayangnya, kita terlalu sering melihat bahwa setelah terpilih, kandidat tersebut justru mengutamakan kepentingan pribadi dan partisan. Hal ini menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik dan melemahkan fondasi demokrasi.

Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai pemilih untuk menjadi lebih cerdas dalam memilih kandidat, dan memeriksa rekam jejak mereka sebelum memberikan suara.

Ketidaksetaraan akses kekuasaan

ilustrasi pemilihan kepala daerah (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Selanjutnya, ada konsep ketidaksetaraan dalam Animal Far yang tampaknya juga relevan dalam politik kita. Meskipun awalnya ditegakkan prinsip kesetaraan, para babi akhirnya menjadi kelas penguasa yang mengendalikan sumber daya dan memberlakukan hukum yang tidak adil pada hewan-hewan lain. Kalau politik di Indonesia, kita sering melihat elit politik yang mendapatkan keuntungan dari jabatan mereka dan tidak selalu bertindak untuk kepentingan seluruh masyarakat. Ada ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan dan sumber daya, yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi sejati.

Ketidaksetaraan ini terlihat dalam banyak aspek politik kita. Misalnya, ada perbedaan yang signifikan dalam pendanaan kampanye antara kandidat-kandidat, yang dapat menguntungkan mereka yang memiliki akses ke sumber daya finansial yang lebih besar. Selain itu, ada masalah ketidaksetaraan dalam akses ke media dan perangkat komunikasi yang dapat memengaruhi bagaimana pesan kandidat disampaikan kepada pemilih. Untuk menjaga integritas pemilihan presiden, kita perlu mengatasi ketidaksetaraan ini dan memastikan bahwa setiap kandidat memiliki kesempatan yang setara untuk berkompetisi.

Ancaman berita palsu dan propaganda

Ilustrasi hoaks (IDN Times/Sukma Shakti)

Satu lagi aspek dari Animal Farm yang bisa kita temukan dalam politik di Indonesia adalah penggunaan propaganda. Dalam novel, para babi menggunakan propaganda untuk mengendalikan pemikiran hewan-hewan lain dan memanipulasi fakta agar sesuai dengan narasi mereka. Di era digital ini, kita juga melihat penggunaan propaganda yang luas untuk memengaruhi pendapat publik. Berita palsu, kampanye hitam, dan retorika yang provokatif semakin sering digunakan dalam upaya memenangkan pemilihan. Hal ini mengancam integritas proses demokrasi kita dan mengaburkan garis antara fakta dan opini.

Propaganda adalah senjata berbahaya dalam politik. Ketika para kandidat atau kelompok tertentu menggunakan propaganda untuk menyesatkan pemilih atau merendahkan pesaing mereka, ini merusak proses demokrasi. Pemilihan presiden harus didasarkan pada informasi yang akurat dan jujur, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang cerdas. Jika kita sebagai pemilih membiarkan diri kita terpengaruh oleh propaganda tanpa melakukan penelitian lebih lanjut, maka kita mengancam kesehatan demokrasi kita sendiri.

Writer

Hidsal Jamil

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya