[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024

Politik identitas masih efektif untuk menarik minat pemilih

Penulis adalah Faisal Dudayef, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

Pemilihan Umum (Pemilu) memang baru akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang. Pesta demokrasi yang berlangsung selama lima tahun sekali ini selalu mendapatkan perhatian masyarakat luas baik dalam dan luar negeri.

Dari banyak isu yang menjadi perbincangan di berbagai media sosial (medsos) dan media mainstream, potensi penggunaan isu politik identitas dalam Pemilu 2024 bakalan terjadi kembali.

Baca Juga: Surat Terbuka Untuk Kamu yang Merasa Salah Ambil Keputusan

Baca Juga: Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik Opera

Politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024foto hanya ilustrasi (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu telah menjadi fenomena dan sorotan publik, bukan hanya bagi masyarakat DKI Jakarta tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Peristiwa penistaan agama Surah Al Maidah ayat 51 merupakan kasus dugaan penistaan agama di Indonesia yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, pascapidato yang kontroversial di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada bulan September 2016 lalu.

Lewat kanal YouTube dan media sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menimbulkan aksi damai 212 menjadi begitu fenomenal. Aksi damai 212 yang diselenggarakan di Jakarta sebagai wujud dari kuatnya hubungan agama (Islam) dan politik (Negara) merupakan bentuk gejala politik identitas yang begitu kental mewarnai Pilkada DKI Jakarta 2017. (Pradipta, Hidayah, Haya, Ervani, & Kristanto, 2018).

Politik identitas pada Pilpres 2019

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024Presiden Jokowi tinjau panen raya padi di Kebumen, Jawa Tengah bareng Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Kamis (9/3/2023) (dok. Sekretariat Presiden)

Sementara itu pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019, penggunaan politik identitas memainkan peran utama dalam kampanye Pilpres 2019. Politik identitas seringkali digunakan sebagai senjata dalam merebut suara masyarakat. Keberadaan politik identitas dalam pemilu terbukti menghasilkan polarisasi yang tajam (Ardipandanto, 2020).

Exit Poll Indikator Politik pada tahun 2019 dengan 2.975 responden yang telah memberikan suara pada tahun 2019, memberikan gambaran mengenai pembelahan masyarakat di Indonesia.

Indikator Politik mendapati bahwa kelompok Muslim dan non-Muslim tradisionalis cenderung memilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, sementara Muslim modernis cenderung memilih Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Selanjutnya pemilih non-Muslim yang memilih Jokowi dan Ma'aruf Amin meningkat 15 persen menjadi 97 persen dibandingkan tahun 2014. Begitu juga dengan pemilih yang dekat dengan NU yang memilih Jokowi-Ma'ruf.

Pada Pilpres 2019, sebanyak 56 persen warga Nahdiyin mengaku memilih Jokowi-Ma'ruf, naik 12 persen dibanding Pemilu 2014. Sebaliknya, Prabowo-Sandiaga menang telak di kalangan Persis, dan Muhammadiyah organisasi modernis lainnya.

Karena politik identitas, para pemilih telah menentukan pilihan mereka jauh sebelum masa kampanye terbuka dimulai (Ristianto, 2019). Ini membuktikan bahwa penggunaan politik identitas masih menjadi cara yang efektif bagi para kontestan pemilu dalam menarik minat pemilih.

Partai Ummat usung politik identitas di Pemilu 2024

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien Rais dan Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi daftarkan Partai Ummat ke KPU. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Politik identitas kembali mencuat setelah Partai Ummat, besutan Amien Rais ,terang- terangan mendeklarasikan mengusung strategi politik identitas pada Pemilu 2024 mendatang.

Deklarasi tersebut disampaikan langsung oleh Ketua mum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, yang secara gamblang dan tegas menyatakan partainya akan mengusung politik identitas sebagai sarana menggaet massa serta pemilih.

Pernyataan Ridho ini ia sampaikan dalam orasi di acara rapat pimpinan Nasional Partai ummat. Sontak saja memancing berbagai pendapat dari masyarakat luas serta dari kalangan sesama politisi.

Dirinya mengklaim politik identitas merupakan strategi politik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia.

Faktor politik identitas di Indonesia

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Pakar Politik Donald L Morowitz (1998) dari Universitas Duke telah mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa saja yang akan diikutsertakan dan siapa yang akan ditolak. Suatu garis penentuan tersebut tidak bisa diubah, status sebagai anggota mauapun stakeholder akan terlihat bersifat permanen.

Sementara itu Agnes Heller (Abdillah, 2002:22) mengambarkan terkait politik identitas dalam hal ini yang difokuskan pada suatu pembedaan, di mana kategori utamanya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain walau akhirnya memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etis. Sehingga pada akhirnya politik identitas dapat mencakup rasisme, bio-feminisme, politik isu lingkungan, dan perselisihan etnis.

Di Indonesia, faktor-faktor yang dianggap memberikan kontribusi terhadap munculnya politik identitas yaitu pertama, ditinjau dari sejarah kolonialisme. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, yang telah memengaruhi perkembangan politik di Indonesia. Kolonialisme telah memperkuat identitas etnis dan agama, serta memperburuk persaingan antarkelompok.

Sejak kemerdekaan Indonesia, politik identitas terus muncul karena perjuangan untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan masing-masing kelompok. Kedua, ditinjau dari ketidakadilan sosial dan ekonomi di Indonesia yang menyebabkan ketegangan serta kesenjangan di antara masyarakat.

Politik identitas dapat muncul sebagai cara untuk kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili dalam sistem politik, agar dapat menuntut hak dan keadilan yang mereka anggap telah diabaikan. Selanjutnya ketiga, konflik agama di Indonesia telah terjadi sejak lama dan menjadi tantangan utama bagi persatuan serta keamanan nasional.

Ada beberapa kasus yang dapat menjelaskan itu semua, di antaranya konflik sekretariat Kepulauan Maluku yang merupakan konflik etnis-politik, di mana di dalamnya melibatkan agama di Kepulauan Maluku khususnya Pulau Ambon dan Halmahera.

Konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002. Menurut berbagai sumber, penyebab permasalahan politik tersebut adalah menyangkut agama, yang menimbulkan perseteruan antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999.

Perseteruan tersebut dengan cepat berubah menjadi pertempuran dan tindak kekerasan terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak. Dua pihak utama yang terlibat konflik ini adalah kelompok milisi agama, termasuk kelompok Islamis bernama Laskar Jihad, dan keterlibatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Selanjutnya keempat, kebijakan politik yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, terutama dalam hal otonomi daerah, juga telah memberikan kontribusi pada munculnya politik identitas. Seiring dengan pemberian otonomi daerah, muncul keinginan untuk memperkuat identitas pada setiap daerah di Indonesia, yang seringkali berdasarkan pada perbedaan etnis atau agama.

Faktor kelima, fragmentasi politik yang ada pada sistem politik Indonesia di mana bersifat demokratis terbuka untuk partai politik dan kandidat independen. Hal ini juga dapat memecah belah masyarakat dan menciptakan kelompok-kelompok politik yang didasarkan pada identitas tertentu. Kelompok-kelompok ini kemudian dapat memanfaatkan politik identitas untuk memperoleh dukungan.

Adapun faktor selanjutnya yaitu tentang pengaruh medsos. Fenomena politik identitas seringkali muncul dalam konteks politik Indonesia dan perkembangan teknologi informasi serta komunikasi, khususnya medsos, dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fenomena ini.

Medsos seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Instagram telah menjadi platform yang sangat populer di Indonesia bahkan dunia, digunakan oleh jutaan orang untuk berkomunikasi, berinteraksi dan berbagi informasi. Dalam konteks politik, medsos dapat memengaruhi pilihan politik masyarakat melalui konten-konten yang ia unggah.

Kelompok-kelompok politik identitas dapat menggunakan medsos untuk memengaruhi pandangan dan opini masyarakat tentang calon politik tertentu, serta mendorong masyarakat untuk memilih calon politik yang sesuai dengan identitas mereka.

Faktor yang menjadi sorotan terbaru tentang penggunaan politik identitas oleh para elit-elite partai politik. Elite partai politik tersebut seringkali menggunakan politik identitas untuk memperoleh dukungan politik di daerah-daerah tertentu.

Mereka menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan identitas keetnisan atau keagamaan untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dengan identitas yang sama. Hal ini seringkali dilakukandi dengan ruang atau lokus medsis bahkan media massa untuk menyebarkan narasi politik identitas yang agitatif.

Dalam konteks pemilu, politik identitas juga digunakan oleh elite partai politik untuk memenangkan kepentingan yang diharapkan. Mereka seringkali menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan identitas untuk menarik perhatian masyarakat dan memenangkan suara dari kelompok-kelompok masyarakat dengan identitas yang sama. Sepertinya itu sebuah kepastian dalam perpolitikan di Indonesia.

Implikasi politik identitas terhadap demokrasi

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024foto hanya ilustrasi (IDN Times/Reza Iqbal)

Politik identitas dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap kualitas demokrasi Indonesia. Ini karena politik identitas cenderung memperkuat perbedaan dan memperdalam kesenjangan antara kelompok-kelompok identitas, sehingga melemahkan persatuan dan keragaman masyarakat Indonesia.

Pertama, menurunkan kualitas politik dan debat publik di Indonesia. Politik identitas seringkali memicu retorika yang tidak sehat dan cenderung merendahkan lawan politik dengan menggunakan isu-isu identitas.

Implikasi kedua adalah polarisasi politik. Ketika para elite partai politik menggunakan politik identitas untuk mendapatkan dukungan politik, mereka seringkali mempertegas perbedaan dan memperdalam jurang pemisah antara kelompok-kelompok identitas.

Keadaan ini dapat melemahkan persatuan dan keragaman masyarakat Indonesia dan mengarah pada gagasan bahwa satu kelompok identitas lebih penting daripada yang lain.
Sementara itu, implikasi ketiga adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Politik identitas dapat menyebabkan masyarakat merasa tidak memiliki tempat dalam sistem demokrasi, terutama jika mereka tidak termasuk dalam kelompok identitas yang mendominasi politik.

Sehingga masyarakat merasa tidak dihargai dan diabaikan oleh pemerintah dan elit politik, sehingga kepercayaan mereka terhadap sistem demokrasi dapat menurun. Keempat adalah terjadinya konflik dan kekerasan antar kelompok masyarakat yang berbeda identitas.

Ketika para elite partai politik menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan identitas sebagai alat politik, maka dapat memicu konflik dan melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi implikasi negatif politik identitas terhadap demokrasi Indonesia. Satu di antaranya dengan memperkuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan di masyarakat dan mendorong partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi.

Selain itu, partai politik juga perlu mengubah strategi politiknya menjadi lebih inklusif dan tidak mempertegas perbedaan antarkelompok identitas. Hal ini dapat membantu memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia dan menjaga keberagaman dan persatuan masyarakat.

Implikasi politik identitas terhadap integrasi sosial

[OPINI] Melacak Politik Identitas Pada Pemilu 2024foto hanya ilustrasi (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Implikasi politik identitas merujuk pada dampak politik identitas terhadap politik dan kehidupan sosial. Identitas politik adalah cara individu atau kelompok mengidentifikasi diri mereka sendiri dalam konteks politik, seperti afiliasi partai politik, agama, etnis, atau orientasi seksual.

Integrasi sosial sebagaimana kita pahami, merupakan suatu kondisi dimana masyarakat memiliki persatuan yang solid dan saling menghormati satu sama lain terlepas dari perbedaan yang ada.

Integrasi sosial juga mencakup solidaritas, toleransi, dan kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat. Namun, implikasi dari politik identitas dapat memengaruhi integrasi sosial dalam suatu masyarakat.

Implikasi dari politik identitas yang dapat memengaruhi integrasi sosial satu di antaranya adalah polarisasi politik. Polarisasi politik terjadi ketika masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang memiliki pandangan politik berbeda dan cenderung saling bertentangan. Di samping polarisasi politik, politik identitas juga dapat memperkuat diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok-kelompok identitas yang berbeda-beda.

Diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok identitas yang berbeda dapat terjadi karena adanya stereotip dan prasangka yang salah terhadap kelompok-kelompok tersebut. Hal ini dapat memengaruhi integrasi sosial karena individu menjadi kurang menghargai perbedaan yang ada diantaranya.

Selain diskriminasi dan intoleransi, eksklusivisme kelompok akan turut hadir sebagai konsekuensi dari fenomena ini. Kelompok-kelompok tertentu akan rentan menolak integrasi sosial dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Kondisi ini dapat memicu diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan memperparah polarisasi dalam ekosistem politik.

Implikasi dari politik identitas dengan jelas dapat memicu konflik sosial, ketika kelompok sosial merasa identitas politiknya terancam, atau kelompok lain tidak menghormati atau mengakui identitas politiknya, maka konflik sosial dapat terjadi. Konflik sosial yang disebabkan oleh politik identitas dapat sangat destruktif dan bahkan dapat mengancam keselamatan masyarakat.

Meskipun implikasi dari politik identitas dapat berdampak negatif pada integrasi sosial, pada sisi yang lain, politik identitas juga dapat menjadi dasar untuk membangun hubungan yang kuat antara kelompok masyarakat yang berbeda.

Ketika kelompok-kelompok sosial dapat saling menghormati dan mengakui keberagaman identitas politik, maka akan tercipta integrasi sosial yang kuat dan harmonis apabila masyarakat sudah dapat menyadari segala perbedaan dan tidak terpengaruh dengan informasi yang tidak jelas asal dan dasarnya.

Faisal Dudayef Photo Community Writer Faisal Dudayef

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya