Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

[OPINI] Bisakah Kita Memahami Kebaikan Tanpa Kejahatan?

Ilustrasi Tangan (Pexels.com/Luis Dalvan

Kebaikan dan kejahatan, dalam pemikiran manusia, sering kali hadir sebagai dua kutub yang saling bertolak belakang. Kita mengenal kebaikan karena kita tahu apa itu kejahatan, dan sebaliknya. Namun, apakah mungkin memahami kebaikan tanpa adanya kejahatan sebagai lawannya? Bisakah cahaya dipahami tanpa adanya bayangan gelap yang memberi kontras pada sinarnya?

Dualitas moral: apakah mereka selalu terhubung?

Sebagai manusia, kita sering terjebak dalam konsep dualitas. Filsuf-filsuf kuno seperti Heraklitus dan Laozi mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini ada dalam keseimbangan, dan setiap elemen memiliki pasangan yang berlawanan. Cahaya dan kegelapan, baik dan jahat, kesedihan dan kebahagiaan—semua ini saling bergantung. Pemikiran ini mengimplikasikan bahwa tanpa satu, yang lainnya tidak dapat dipahami atau bahkan ada.

Namun, apakah kebaikan hanya bisa ada jika ada kejahatan untuk dibandingkan? Jika kita hidup di dunia yang hanya dipenuhi oleh kebaikan, apakah kita akan tetap memahami apa itu kebaikan, atau akankah konsep itu kehilangan maknanya karena tidak ada kontras untuk menentukannya? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, namun menarik untuk dipikirkan.

Cahaya yang berdiri sendiri: bisakah kebaikan ada tanpa kejahatan?

Bayangkan dunia yang sepenuhnya baik. Tidak ada kejahatan, tidak ada kebencian, tidak ada kesengsaraan. Dalam skenario ini, semua orang hidup dalam keharmonisan, kasih sayang, dan saling membantu. Apakah dalam kondisi ini kita akan tetap memahami kebaikan sebagai konsep, atau akankah "kebaikan" menjadi sekadar keadaan alami yang tidak kita perhatikan karena tidak ada yang mengganggunya?

Ada teori yang menyatakan bahwa kebaikan sejati seharusnya tidak bergantung pada kejahatan. Kebaikan, dalam esensinya, adalah suatu nilai intrinsik yang memiliki nilai karena apa yang diwakilinya, bukan karena oposisi terhadap hal negatif. Misalnya, kejujuran adalah nilai kebaikan yang tidak memerlukan kebohongan untuk membenarkan keberadaannya. Kejujuran bisa ada dan bermakna bahkan jika kita tidak pernah bertemu dengan kebohongan.

Namun, bagi sebagian orang, tanpa melihat atau merasakan konsekuensi dari kejahatan, kebaikan mungkin hanya dianggap sebagai "normal," dan tidak lagi diakui sebagai kebaikan yang luar biasa. Di sini muncul paradoks: jika kebaikan adalah keadaan alami, kita mungkin tidak pernah benar-benar menghargainya karena kita tidak pernah melihat apa yang bisa terjadi jika kebaikan itu hilang.

Kebutuhan akan kontras: perenungan tentang moralitas

foto hanya ilustrasi (freepik.com/freepik)
foto hanya ilustrasi (freepik.com/freepik)

Meskipun kebaikan mungkin ada secara independen, dalam pengalaman manusia sehari-hari, kontras antara kebaikan dan kejahatan sering kali diperlukan untuk memberikan makna yang lebih dalam. Saat kita melihat atau mengalami ketidakadilan, kita lebih menghargai keadilan. Saat kita menghadapi kekejaman, kasih sayang menjadi lebih bermakna. Konsep ini, meski agak pesimistis, menggambarkan bahwa pengalaman buruk membuat kita lebih menghargai yang baik.

Filsuf Friedrich Nietzsche menyarankan bahwa penderitaan dan kesulitan adalah bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan manusia. Menurut Nietzsche, individu hanya bisa benar-benar berkembang jika mereka melewati tantangan dan kesulitan. Dalam konteks ini, kejahatan, penderitaan, atau kesulitan tidak hanya memberi kita perspektif tentang apa itu kebaikan, tetapi juga menjadi sarana untuk pertumbuhan moral.

Memahami kebaikan dari sudut pandang ideal

Di sisi lain, filsafat idealis sering memandang kebaikan sebagai sesuatu yang absolut dan tidak memerlukan kejahatan untuk diukur. Plato, misalnya, percaya pada adanya "Bentuk Kebaikan" yang sempurna, yang melampaui dunia fisik dan segala dualitas. Dalam pandangan ini, kebaikan adalah kebenaran yang mutlak, sesuatu yang tidak perlu dibayangi oleh kejahatan untuk dikenali atau dihargai.

Dalam dunia di mana hanya ada kebaikan, mungkin kesadaran kita tentang apa yang baik menjadi berbeda dari yang kita ketahui sekarang. Namun, itu tidak berarti kebaikan akan kehilangan nilainya. Kita hanya akan memahami kebaikan dalam konteks yang berbeda—tanpa bayangan kegelapan yang biasanya menyertainya.

Mencari harmoni dalam dualitas

Meskipun kita mungkin tidak membutuhkan kejahatan untuk mengenal kebaikan, realitas kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa kedua konsep ini sering kali terjalin erat. Kita belajar menghargai kebaikan ketika kita melihat atau mengalami hal-hal yang tidak baik. Namun, apakah itu berarti kita memerlukan kejahatan untuk memahami dan mengalami kebaikan? Tidak selalu.

Mungkin tantangan bagi kita bukanlah menghilangkan kejahatan sepenuhnya, tetapi belajar memahami dan menghargai kebaikan dalam segala bentuknya, baik di tengah-tengah tantangan maupun dalam keadaan damai. Dalam perjalanan hidup, kita bisa memilih untuk mencari cahaya, bahkan ketika kegelapan ada di sekitar kita—karena dalam diri kita, ada potensi untuk mengenali dan merayakan kebaikan yang tidak bergantung pada apapun selain dari kebaikan itu sendiri.

Share
Topics
Editorial Team
Muhammad Rizky Fajar
EditorMuhammad Rizky Fajar
Follow Us