Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Spirit Merawat Bahasa Daerah untuk Menjaga Ruang Demokrasi

Suasana toko majalah di Denpasar pada 28 Desember 2024. (IDN Times/Yuko Utami)

Gianyar, IDN Times - Majalah Gumi Bali Sarad. Mungkin tidak banyak yang tahu soal majalah ini. Namun, IDN Times pertama kali mengenalnya saat di bangku sekolah menengah atas (SMA) kala bergabung di ekstrakulikuler (ekskul) jurnalistik. Pembina ekskul meminta setiap anggota redaksi membaca dan menelaah majalah tersebut.

Tampak depan, seperti majalah pada umumnya. Namun, saat membalik halaman sampul depan ke daftar isi, seluruhnya menggunakan Bahasa Bali. Contohnya paruman (musyawarah atau pertemuan), sasuluh (pedoman), nyama braya (persaudaraan), cakepan (Seberkas; lontar yang sudah bertulis), dan sebagainya.

Beberapa rubrik lainnya juga tidak lepas dari Bahasa Bali. Misalnya liputan khusus dengan rubrik paruman berjudul “Subak Magpag Toya, Kota Makpak Yeh”. Apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi "Subak Memberi Mata Air, Kota Memakan Air". Laporan utama ini menyingkap praktik-praktik eksploitasi sumber daya air di Bali demi menghidupi bisnis pariwisata seperti hotel.

Paruman secara harfiah bermakna pertemuan. Menurut Ketut Sumarta, rubrik paruman bertujuan mempertemukan gagasan-gagasan kritis untuk kebaikan bersama Bali di masa depan. Rubrik paruman sama dengan laporan utama. Keberadaan Sarad pada masa itu, ingin memberikan alternatif berupa solusi dan kebijakan untuk perbaikan strategis kondisi Bali mendatang.

Ketut Sumarta adalah Pemimpin Redaksi (Pimred) Majalah Gumi Bali Sarad. Bersama rekan sejawat, Sumarta sebenarnya berupaya agar Bahasa Bali tetap terawat. Januari 2000, edisi pertama majalah ini terbit. Majalah Sarad lahir karena inisiatif bersama pegiat kebudayaan Bali.

“Ada modal intelektual dan bermacam-macam. Gabung itu semangatnya. Istilahnya, kelompok penghobi sama-sama suka sama budaya Bali,” ucap Sumarta pada Senin, 9 Desember 2024.

Ide menyusun majalah kebudayaan dengan pendekatan jurnalistik tidak terlepas dari latar belakang Sumarta sebagai jurnalis. Perlahan kariernya menanjak, dari redaktur hingga menjadi direktur di Harian Nusa Tenggara pada 1999. Kini Harian Nusa Tenggara, yang kini berganti nama Nusa Bali, menjadi ruang kreasinya Sumarta.

Beberapa nama rubrik di harian tersebut juga menggunakan Bahasa Bali. Misalnya rubrik Tamiang Bali dan Bali Jani. Pemahamannya terhadap bahasa dan sastra Bali, membuat Sumarta percaya diri untuk memasukkan idiom khas Bali ke dalam produk jurnalistik, terutama saat menuliskan topik adat budaya dan tradisi kearifan lokal Bali. 

“Pertama, idiom itu untuk dicarikan padanannya langsung ke dalam Bahasa Indonesia. Tidak mudah. Kedua, memang ada terminologi yang khas. Dia tidak diwadahi oleh Bahasa Indonesia,” tutur lelaki berusia 60 tahun itu.

Kosakata dalam Bahasa Bali tidak secara otomatis ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Sumarta mencontohkan kata nénggél  yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Namun, kosakata ini dapat dijelaskan sesuai konteks frase atau kalimatnya seperti "hampir jatuh" atau "tidak tertahankan".

Ada pula frase berupa idiom Bahasa Bali dalam Bahasa Indonesia, juga tidak ada padanannya. Misalnya prinsip adat "gilik-saguluk, parasparo salunglung sabayantaka sarpana ya." Idiom ini merupakan satu kesatuan yang runut dan prinsipal. Kalau harus diterjemahkan, mungkin hanya bisa dijelaskan secara umum. Yaitu setara dengan "musyawarah mufakat, saling berbagi, setia sehidup semati senasib sepenanggungan."

Cover Majalah Gumi Bali Sarad. (IDN Times/Yuko Utami)

Nama Sarad diambil dari simbol Bumi beserta isinya. Sarad adalah panganan dalam ritual Hindu di Bali. Sehingga kehadiran majalah ini sebagai satu padu karya jurnalistik yang meramu aktivitas, budaya, hingga masalah yang ada di Bali.

"Sarad sebagai majalah kebudayaan Gumi (Bumi) Bali memang dimaksudkan sebagai ruang diskusi kritis atas permasalahan fundamental adat-istiadat, tradisi, sosial, seni-budaya, alam lingkungan," jelas Sumarta.

Sarad terbit melalui Yayasan Gumi Bali, mencetak majalah edisi pertamanya sebanyak 3.000 eksemplar. Beberapa tahun berikutnya hingga 2010, oplah majalah meningkat hingga 12 ribu. Menurut Sumarta, untuk majalah bertemakan kebudayaan, jumlah oplah itu termasuk banyak karena peredarannya di seluruh Indonesia.

Strategi pemasarannya menyasar umat Hindu di Bali yang merantau ke seluruh pelosok negeri. Kala itu, pihak redaksi Sarad juga membuat laman blogspot sebagai pengarsipan dan silaturahmi dengan pembaca secara digital. Bak sedang di Bali, masyarakat Bali di rantauan pun banyak yang berlangganan majalah ini. Bahkan ada pelanggan yang telah membayar hingga setahun penuh.

Tak hanya mencuri atensi dan kerinduan nak (orang) Bali terhadap tempat kelahirannya, sejumlah pembaca dari luar negeri turut membaca majalah ini. Seperti Jaap Erkelens, sebagai Perwakilan KITLV Jakarta pada 2000, menjadi pelanggan tetap Sarad pada masa itu.

Bergaya jurnalisme sastrawi, liputan isu tetap relevan

Sumarta mengungkapkan, media cetak pada era 2000-2010, dalam bentuk apa pun, belum memiliki kekuatan dampak langsung seperti media sosial (medsos) belakangan ini.

"Jika kini ada info viral, dapat respons kencang dan ramai-ramai dari netizen, bisa berdampak langsung akibat desakan publik netizen," ungkap Sumarta.

Ia memandang kondisi sekarang sangat berbeda dengan media-media cetak konvensional era 2000-2010, apalagi majalah kebudayaan Gumi Bali Sarad. Dampaknya jauh lebih substantif, yaitu reflektif bagi pembaca kritis yang kebanyakan kelompok kelas menengah dan terdidik.

Refleksi atas permasalahan-permasalahan fundamental sosial-budaya dan ekologi Bali yang disajikan dalam liputan ataupun tulisan, kebanyakan masih relevan sampai beberapa dasawarsa ke depan. Misalkan isu alih kepemilikan dan alih fungsi lahan yg masif, persampahan, kemacetan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS), profanisasi adat, tradisi, budaya Bali, dan lainnya.

Sepanjang membersamai Sarad, Sumarta dan teman-temannya tidak pernah menerima tekanan dari penguasa maupun pihak lainnya. Gumi Bali Sarad digarap dalam proses jurnalistik yang profesional. Redaksi menghormati dan menjunjung tinggi prinsip cover both side, bahasa redaksional yang santun dan bersastra.

"Sama sekali tidak ada tekanan dari pihak penguasa atau pihak-pihak mana pun. Posisi Sarad sebagai majalah kebudayaan yang terbit sebulan sekali itu sangat netral dan independen," katanya.

Sarad tidak sepenuhnya berbahasa Bali. Dalam penulisan liputan dan rubrik lainnya, majalah ini memakai multibahasa, Bahasa Indonesia dengan paduan Bahasa Bali. Istilah-istilah tertentu yang khas Bahasa Bali tetap akan diserap dalam judul maupun batang tubuh tulisan.

Dulu pernah ada media yang total berbahasa daerah, yaitu majalah sastra berbahasa Bali. Misalnya Burat Wangi (Karangasem), Kulkul (Denpasar), dan sebagainya. Sisipannya dipenuhi Bahasa Bali seperti Bali Orti (Bali Post); Tamiang Bali (Nusa Tenggara/NUSA), termasuk program berbahasa Bali di beberapa stasiun radio. Sarad pernah bekerja sama dengan RRI Denpasar dan Radio Yuddha untuk membuat program berbahasa Bali setiap seminggu sekali. Program ini berisi dialog interaktif tentang adat-istiadat, agama tradisi, budaya, dan kearifan lokal Bali.

Ruang kolaborasi lintas media telah terjalin sejak sepuluh tahun lalu. Kolaborasi dan sinergi inilah yang menguatkan misi redaksi Sarad dalam menjaga kemerdekaan berekspresi. Namun, sepuluh tahun sejak berdiri, tepat 1 dekade kemudian Sarad berhenti beredar pada Oktober 2010. Niat mulia memperkenalkan idiom khas Bali lewat Sarad berakhir, karena para penggagasnya ingin berupaya pada jalan masing-masing. Sumarta meyakini, 10 tahun menulis persoalan Bali telah cukup. Ia butuh beraksi dan bergerak. 

“Saya sendiri kemudian melihat yang paling strategis adalah membenahi dan menguatkan desa adat itu sendiri. Sehingga saya lebih fokus melakukan penguatan desa adat lewat majelis desa adat,” tutur Sumarta.

Radio merupakan media massa elektronik yang fungsinya menyampaikan informasi hingga edukasi satu arah ke masyarakat. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Sempoyongan merebut hati pembaca muda, hingga mencari penutur bahasa daerah

Menurut Sumarta, majalah kebudayaan dengan pendekatan jurnalistik membutuhkan semangat berkarya sebagai landasan utama, bukan memprioritaskan laba. Hal seperti ini semestinya tetap diberikan porsi untuk idealisme. Sumarta juga menilai, generasi muda mengalami kesenjangan teks. Mereka tidak akrab dengan Bahasa Bali karena ada kesenjangan antara bahasa dan aksara Bali.

“Ya sudah tidak akrab. Jadi cita rasanya itu gak didapat, sementara dunia jurnalistik itu kan dunia cita rasa. Cita rasa tidak hanya (tentang) kuliner,” ungkap Sumarta.

Kesenjangan bahasa generasi muda ini dialami oleh Panjebar Semangat. Minat pembaca majalah berusia 91 tahun ini banyak yang beralih ke lain hati. Tentu mencari yang lebih up to date. Pelanggan tua mulai berpamitan, keturunannya tidak bisa meneruskan. Kata Staf Redaksi Panjebar Semangat, Kukuh Wibowo, pelanggannya tersisa pensiunan pegawai negeri, guru, hingga TNI/Polri. Intinya, pelanggannya lebih banyak yang berusia lanjut karena tahu dari orangtua mereka.

Panjebar Semangat merupakan majalah Bahasa Jawa tertua di Surabaya, Jawa timur. Muatan isinya tak jauh berbeda seperti Sarad. Ada reportase kebudayaan, sejarah, sastra Jawa, cerita wayang, cerpen Bahasa Jawa, fiksi, nonfiksi, hingga dongeng. Saking Jawanya, Kedutaan Besar Suriname untuk Indonesia meminta 200 sampai 300 cetakan setiap enam bulan sekali. Majalahnya kemudian dibagikan gratis, agar keturunan Jawa di Suriname tetap melestarikan budaya Jawa.

Saat ini, mereka sempoyongan merebut hati pembaca muda, padahal sudah mengikuti perkembangan zaman. Mereka membuat majalah digital. Dari yang semula didistribusikan dengan aplikasi, sekarang pengirimannya melalui email. Meski begitu, tim redaksi berpegang teguh pada pesan Sukarno yang terpajang di dinding Kantor Panjebar Semangat, agar majalah ini tetap lestari.

"Lama-lama kecintaan terhadap Bahasa Jawa pudar, dijauhi. Tidak seperti dulu," kata Kukuh.

Selain pembaca muda, untuk mencari penutur bahasa daerah juga tidak mudah. Misalnya Radio Republik Indonesia (RRI) Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka kekurangan penutur bahasa daerah. Selama ini, RRI memiliki program siaran pedesaan menggunakan tiga bahasa daerah sejak 1970-an. Yaitu Bahasa Sasak, Bahasa Sumbawa, dan Bahasa Bima. Tetapi hanya Bahasa Sumbawa dan Bahasa Sasak yang bertahan.

RRI Mataram pernah bekerja sama dengan Kantor Bahasa NTB untuk mendatangkan penutur bahasa daerah. Tetapi biayanya juga tidak sedikit untuk mendatangkan mereka setiap hari. Sehingga strateginya hanya menghadirkan bahasa daerah dalam iklan layanan masyarakat, obrolan, dan drama, bukan sebagai bahasa pengantar untuk siaran sehari-hari.

Menurut Statistik Kebahasaan dan Kesastraan 2024 Volume 6 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Indonesia mempunyai 805 bahasa daerah. Namun, yang berhasil divalidasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berjumlah 718 bahasa. Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri memiliki 11 bahasa, yang terdiri dari Bajo, Bali, Bima, Bugis, Jawa, Madura, Makassar, Mandarin Ampenan, Melayu, Sasak, dan Sumbawa. Dari 11 bahasa ini, tentu saja dialeknya juga berbeda-beda.

RRI Mataram bahkan juga tidak berani menggunakan Bahasa Sasak sepenuhnya. Menurut Kepala Bidang Siaran RRI Mataram, I Nengah Sudarita, radio yang berkantor di Jalan Langko Nomor 83 ini kesulitan menggunakan dialek apa nantinya. Ia khawatir para pendengar akan menangkap persepsi yang berbeda jika keliru memakai dialek. Akhirnya RRI Mataram memutuskan memakai Bahasa Sasak reramputan alias campuran. Itu berarti, penuturannya disampaikan secara multibahasa.

“Kami campur komunikasinya dengan Bahasa Indonesia,” ujar Sudarita.

Apa pun permasalahannya, adaptasi adalah kunci

Digitalisasi media berhasil mengubah analog (fisik) menjadi perangkat lunak (digital). Mau tak mau media massa, termasuk media alternatif sekalipun yang masih mempertahankan bahasa kedaerahannya, harus mengikuti peradaban modern. Perintis Suara Saking Bali, I Putu Supartika, misalnya. Ia tidak mempunyai dana untuk melanjutkan majalah cetak bulanan. Makanya ia menerbitkan e-majalah yang dapat diunduh gratis di download.suarasakingbali.com. Tentu saja e-majalah ini tidak dibiarkan mengendap begitu saja. Untuk menjangkau pengguna, pria berusia 30 tahun ini mendistribusikannya ke Facebook dan Instagram, termasuk ke pesan WhatsApp. Majalahnya kini memasuki edisi 97.

Sebelum mengubah majalah digitalnya menjadi gratisan seperti sekarang, delapan tahun lalu, Supartika iseng membuat blog berbahasa Bali di tengah mengerjakan skripsi. Blog ini untuk merawat para penulis Sastra Bali Modern (SBM) yang menyukai cerpen, puisi, hingga artikel. Oktober 2016, alumnus Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha ini membuat majalah SBM dengan nama Suara Saking Bali. Majalah ini dibangun bersama para penulis SBM, dan didukung oleh seorang Sastrawan Indonesia dan Bali Modern, IDK Raka Kusuma, yang telah berpulang 5 Agustus 2023 lalu.

Perjalanannya tidak selalu mulus. Ia terkena dampak pandemi covid-19. Setoran karya dari penulis lama semakin sedikit, karena jarang menulis. Semangatnya mengendur. Tetapi lambat laun, ia menemukan para penulis baru dari kalangan siswa dan mahasiswa, meskipun tidak rutin mengirim tulisan.

“Pasti ada yang mengirim puisi, cerpen,” ujar laki-laki asal Desa Selumbung, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem ini.

Ia juga mengaktifkan dirinya melalui workshop, festival, diskusi, kritik sastra, lomba cerita pendek (cerpen), hingga pameran arsip Suara Saking Bali pada September 2024 lalu.

Hasil riset Indonesia Gen Z Report 2024 memberikan wawasan yang sangat menarik. Data pada halaman satu menunjukkan, kebiasaan Generasi Z (Gen Z) cukup berbeda dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Ketimbang berlangganan koran, 50 persen Gen Z beralih ke media sosial (medsos) dan portal berita daring untuk mendapatkan berita di pagi hari. Sementara, 24 persen Gen Z masih membaca buku fisik, dan 19 persen menyukai buku elektronik (digital). Bahkan 2 persen Gen Z memilih buku audio.

Sementara pada halaman dua, Instagram masih menjadi media sosial (medsos) yang sering digunakan oleh Gen Z Indonesia. Yaitu laki-laki 53 persen, dan perempuan 52 persen. IDN Research Institute berpendapat, Instagram merupakan wadah distribusi konten yang serbaguna untuk foto, video, dan artikel. Namun, medsos yang diakuisisi oleh Facebook tersebut tidak boleh berbesar hati.

Sebab, daya tarik TikTok kini sedang meningkat. Platform asal China ini cukup menarik perhatian 36 persen responden perempuan, dan 29 persen laki-laki. Kesuksesan TikTok terletak pada format video pendek yang ringkas dan penuh informasi. Cocok buat Gen Z yang berorientasi pada visual dan haus konten.

Rasanya jika melihat hasil survei di atas, media-media yang merawat kearifan lokalnya perlu gencar mendistribusikan produknya menjadi konten. Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Udayana (Unud), Calvin Damasemil, mengungkapkan saat ini sedang marak istilah “newsfluencer”. Istilah ini adalah kolaborasi antara content creator atau influencer dan jurnalistik, karena masyarakat cenderung senang menerima informasi melalui gawainya.

Newsfluencer ini dipercaya oleh masyarakat karena penyampaian informasi yang sederhana, menarik, dan sesuai dengan tren yang berkembang di masyarakat. Fenomena ini bisa dijadikan sebuah strategi untuk menstimulasi produksi jurnalistik dengan perpaduan bahasa daerah,” papar Calvin saat dihubungi Kamis, 12 Desember 2024.

Ia mencontohkan Bali. Sudah banyak content creator yang menggunakan bahasa daerah dalam membahas hal-hal seputar Bali. Bagi Calvin, komunikasi dua arah dalam konten tersebut sangat baik. Keberagaman wadah untuk menyampaikan pesan sudah tersedia dan sangat beragam bentuk penyampaiannya, mulai dari medsos hingga laman. 

“Alangkah baiknya jika media-media di Bali bisa memproduksi hal serupa dengan cara-cara yang populer dan disenangi, agar masyarakat semakin terliterasi dengan informasi yang seharusnya mereka dapatkan. Karena tanggung jawab dari proses jurnalistik adalah kepada masyarakat,” jelasnya.

Senada seperti tanggapan Calvin, masa emas media yang merawat Bahasa Bali mampu diraih kembali dengan adaptasi. Ia menyarankan agar penggunaan Bahasa Bali memasuki ke media-media baru, seperti medsos dengan konsep konten yang segar dan kekinian.

“Kebudayaan Bali spiritnya kita ambil. Tetapi pembahasaan ya kita gunakan bahasa milenial, bahasa Gen Z,” ucap Sumarta.

Penulis: Ni Komang Yuko Utami, Khusnul Hasana, Muhammad Nasir, Ayu Afria, Irma Yudistirani

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
3+
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us