Musisi Indonesia Penting Punya Perspektif Lingkungan dalam Berkarya

Gianyar, IDN Times - Krisis iklim dan sederet tantangan lingkungan menjadi pegangan bagi 15 musisi dari berbagai daerah untuk menguatkan perspektif lingkungan dalam berkarya. Musisi berbagai genre ini kembali berkumpul dalam sebuah lokakarya yang diadakan oleh IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) selama lima hari.
Mereka mendalami berbagai isu tentang krisis iklim dan kaitannya terhadap musik, kreativitas, dan refleksi masing-masing. Mereka membahas tentang penyebab krisis iklim, peran seni, dan budaya dalam mendorong aksi, serta merumuskan langkah kolaboratif untuk mendorong perubahan nyata. Siapa saja para musisi itu dan bagaimana langkah mereka selanjutnya? Berikut informasi selengkapnya.
1. Musisi mempertanyakan peran di tengah krisis ekologi

Ada 15 orang musisi bergabung dalam serangkaian lokakarya IKLIM seperti Kunto Aji, Reality Club, Teddy Adhitya, Sukatani, dan sejumlah nama lainnya. Para musisi menjalin kolaboratif dan pembelajaran lintas generasi untuk menjawab tantangan krisis iklim melalui musik dan seni. Menurut Kunto Aji, isu iklim beresonansi kuat secara personal. Kunto bercerita, Ia dan keluarga kecilnya tinggal di Tangerang Selatan harus bergelut menghadapi kualitas udara yang buruk.
“Saya punya dua anak kecil, dan saya ingin mereka tumbuh dengan udara yang layak, lebih baik dari yang mereka hirup hari ini,” ujar Kunto.
Kunto menyebutkan, udara gratis ini tak dapat dinikmati dengan baik. Menurutnya, setiap orang tahu penyebab dan solusi atas kualitas udara buruk, tapi tak ada tindakan konkrit.
“Di situlah saya merasa perlu bertanya: sebagai musisi, apa yang bisa saya lakukan?” kata dia.
IKLIM juga mempersatukan para musisi dari berbagai daerah dan lintas genre di Indonesia lainnya, termasuk Ave The Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Majelis Lidah Berduri, Manja, Peach, Scaller, The Brandals, The Melting Minds, Usman and The Black Stones.
2. Para musisi membahas gerakan #SaveRajaAmpat

Adanya persoalan tambang di Raja Ampat juga jadi bahasan bersama para musisi. Masalah tambah terhadap lingkungan ini memicu gerakan #SaveRajaAmpat. Dalam kasus ini, musisi diajak membedah adanya ekspansi pertambangan nikel di Morowali, deforestasi, hingga ketergantungan Indonesia terhadap batu bara yang masih tinggi.
Gerakan IKLIM telah berjalan sejak 2023, hingga kini telah melibatkan 43 musisi. Sejumlah musisi sebelumnya terlibat dalam album Sonic/Panic dan gerakan IKLIM pada 2023 dan 2024. Para musisi tahun lalu terlibat sebagai fasilitator dalam berbagai sesi untuk membagikan pengalaman pribadi mereka terlibat dalam IKLIM.
Mereka sebagai fasilitator dalam lokakarya IKLIM seperti Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Iga Massardi, Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa, Petra Sihombing, Tuantigabelas, Stephanus Adjie dari Down For Life, Farid Stevy dari FSTVLST, Nova Ruth, dan Gede Robi dari Navicula.
Gitaris Sukatani, Cipoy, mengungkapkan berbagai pemaparan dan diskusi selama lokakarya, membuatnya semakin memahami bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan atau ekosistem. Namun, juga berdampak pada manusia, kebudayaan, dan struktur sosial.
“Penting bagi kami untuk turut merespons isu ini, karena pada akhirnya, perubahan iklim juga memengaruhi kami secara langsung, baik sebagai individu maupun sebagai seniman,” ujar Cipoy.
3. Setelah lokakarya IKLIM, musisi akan terlibat dalam kampanye No Music On A Dead Planet

Bagi Faiz Novascotia, vokalis, gitaris sekaligus penulis lagu dari band Reality Club, pengalaman selama lokakarya ini tak hanya menginspirasi karya, tapi juga memantik refleksi personal yang mendalam.
“Setelah mendapat banyak hard truth selama lokakarya, saya merasa terdorong untuk mulai mengubah hal-hal dalam hidup saya secara perlahan tapi konsisten,” kata Faiz.
Ia ingin membagikan kesadaran iklim dan lingkungan kepada orang-orang di sekitarnya seperti fans, teman, dan keluarga. Menurutnya, penting untuk saling mengingatkan soal peran kita dalam menjaga lingkungan. Para musisi akan menerjemahkan pengalaman dan refleksi mereka selama lokakarya ke dalam karya musik baru. Lagu-lagu ini akan dihimpun dalam sebuah album kompilasi yang direncanakan rilis pada akhir 2025.
Karya ini adalah bagian dari kampanye ‘No Music On A Dead Planet’ atau Tak Ada Musik di Planet yang Mati. Music Declares Emergency sebagai penggagas kampanye ini. Gerakan global ini juga didukung oleh sejumlah musisi dunia seperti Billie Eilish, Massive Attack, dan Tame Impala. Para musisi dunia tersebut meyakini bahwa kekuatan musik untuk menyuarakan urgensi krisis iklim dengan cara yang kreatif, inklusif, dan menggugah.