Mempertanyakan Arogansi dan Teror di People’s Water Forum

Denpasar, IDN Times – Pembubaran tanpa dasar kegiatan diskusi People’s Water Forum (PWF)--yang digelar selama tiga hari pada 20-23 Mei 2024 lalu--menguak arogansi organisasi masyarakat (ormas) dan pemerintah. Pembubaran ini juga diwarnai oleh kekerasan fisik maupun pelecehan seksual verbal yang dialami sejumlah aktivis di Hotel Oranjje, Jalan Hayam Wuruk, Kota Denpasar. Aksi ini terekam video secara jelas dan tersebar di media sosial (medsos). Termasuk perlakuan sekelompok pria yang melakukan pelecehan seksual verbal, dan video ini diunggah di Instagram Solidaritas Perempuan.
Tak hanya peserta, narasumber juga dihalangi masuk ke area diskusi di antaranya Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Dewa Palguna, dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Centre (LBH BWCC), Ni Nengah Budawati. Apa tanggapan mereka dan para instansi terkait yang seharusnya memberikan rasa aman untuk berpendapat?
1.Apa yang ditakutkan orang-orang ini sampai harus menolak People's Water Forum?

Dewa Palguna yang dikonfirmasi, Jumat (24/5/2024), sangat menyesalkan peristiwa itu harus terjadi. Niat baiknya tidak terwujud akibat arogansi pihak-pihak yang tidak bekenan acara tersebut diselenggarakan.
“Saya menyesalkan peristiwa itu, sebab saya berniat baik. Tapi niat baik itu jadi tak terwujudkan,” ungkapnya.
Sementara Direktur LBH BWCC, Ni Nengah Budawati, mengatakan pihaknya terlibat aktif dalam kepesertaan kegiatan diskusi ini. Awalnya berjalan lancar. Namun pada hari kedua, aparat dan ormas bersikap arogansi mempora-porandakkan pelaksanaan diskusi. Buda mempertanyakan apa yang mereka khawatirkan, dan siapa yang menyuruh melarang diskusi tersebut? Selama di lokasi, tidak ada yang bisa menjawab dan saling melempar tanggung jawab.
“Hari pertama itu biasa saja. Memang ada yang berjaga tetapi tidak terlalu banyak. Kami mengikutinya juga lumayan leluasa,” katanya.
Budawati menyatakan, kebebasan bersuara, berkumpul, dan berserikat untuk mencari solusi itu nyata dilakukan oleh para komunitas dampingan. Misalnya masyarakat yang tidak dapat mengakses air hingga sanitasi memang benar-benar terjadi di Indonesia.
“Perilaku-perilaku ini (Arogansi penolakan) tidak boleh dilakukan. Apa pun alasannya,” terang Buda.
2.Arogansi ormas terjadi di hari kedua diskusi, dan melakukan pelecehan seksual verbal

Sementara itu Ketua Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, mengatakan pada 21 Mei 2024 sekitar pukul 10.00 Wita, sebanyak tujuh orang anggotanya mengalami pelecehan seksual verbal yang dilakukan oleh Patriot Garuda Nusantara (PGN) di depan hotel. Satu anggota ormas juga melakukan gestur menggoyangkan pantatnya kepada para aktivis tersebut.
“Mereka malah diolok-olok. Kita dibilang berapa maharmu dan kau memakai perhiasan apa, dan sebagainya. Mereka ada yang bilang, kamu kalau tidur sama aku mau gak? Seperti itulah,” katanya.
Atas kejadian ini, pihaknya akan bersurat ke World Water Council, dan menyatakan bahwa situasi yang terjadi kepada perempuan baik melalui intimidasi, pembungkaman ekspresi, pembungkaman demokrasi adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ini juga melanggar prinsip-prinsip HAM, PBB, dan CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women).
“Kami (berencana) akan melaporkan resmi ke Polda Bali atau Mabes Polri,” jelasnya.
3.Siapa yang bertanggung jawab atas arogansi pembubaran PWF?

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar, Anak Agung Ngurah Bawa Nendra, telah menerjunkan delapan anggotanya untuk mengamankan PWF saat peristiwa itu terjadi. Tidak hanya anggota Satpol PP Kota Denpasar, pengamanan gabungan ini melibatkan Satpol PP Provinsi Bali. Dikonfirmasi terkait siapa yang bertanggung jawab atas perintah pembubaran diskusi tersebut, Bawa mengaku tidak tahu.
“Mohon maaf kami tidak tahu masalah itu. Kami hanya menjaga keamanan saja,” ucap Bawa.
Sementara itu Kepala Satpol PP Bali, I Dewa Nyoman Rai Darmadi, mengatakan atas kejadian tersebut Penjabat (Pj) Gubernur Bali, SM Mahendra Jaya, sudah memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihaknya mendukung apabila korban pelecehan seksual verbal melaporkan secara resmi ke pihak terkait.
“Rasanya sudah jelas,” ungkapnya.
Sebelumnya, Pj Gubernur Bali, SM Mahendra Jaya, menyatakan tidak pernah memberikan arahan lisan maupun tertulis kepada pihak mana pun untuk membubarkan agenda PWF. Forum Air untuk Rakyat yang digelar oleh Pro Demokrasi (Prodem) Bali tersebut, menurutnya tidak perlu dipermasalahkan apalagi ada upaya pembubaran. Forum tersebut merupakan hak warga negara untuk berekspresi.
“Kami tidak melarang kegiatan untuk berekspresi menyampaikan pendapat. Apalagi dilakukan dalam forum akademik, karena agenda PWF tersebut sebenarnya sejalan dengan agenda WWF, yaitu sama-sama bertujuan menjaga ketersedian air untuk kelangsungan kehidupan,” kata Mahendra.