Dua Kelompok WNA di Bali Jadi Fokus Pengawasan Keimigrasian

Badung, IDN Times - Sektor pariwisata Bali saat ini menghadapi banyak permasalahan. Pelaku usaha penginapan vila di Legian yang berinisial LW menceritakan sering menemukan pemandangan keributan dan kejadian lainnya. Pada umumnya para tamu yang berpasangan dan menginap terlibat pertengkaran kerap berteriak-teriak. Baik bagi mereka yang berpasangan sesama WNA maupun WNA-WNI. Sedangkan tamu teenager cenderung akan ribut ketika mereka mabuk. Tapi keributan tersebut tidak berlangsung lama.
"Biasanya gak lama, paling pas mereka pulang aja dari club," terangnya.
Kondisi lain yang ia hadapi selama bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia properti adalah party yang berujung pada keracunan. Kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 2018. Kala itu pasangan yang akan menikah menggelar pesta dengan mengundang teman-temannya untuk minum santai di vila. Seorang tamu perempuan yang baru selesai datang dari bar lokal kemudian mendatangi pasangan tersebut. Tidak berselang lama, tamu tersebut dikabarkan keracunan setelah meneguk sedikit minuman di acara pesta tersebut.
"Langsung kejang-kejang. Keracunan. Padahal bukan tamuku," ungkap LW, pada Minggu (7/12/2025).
1. Keimigrasian mengakui banyak potensi pelanggaran WNA di wilayah Bali

Situasi tersebut menggambarkan kondisi sektor pariwisata Bali yang rentan dengan berbagai pelanggaran. Pelaksana Teknis (Plt) Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, juga mengakui Bali tengah menghadapi masalah utama, yakni penyalahgunaan izin tinggal, overstay, pelanggaran hukum, hingga pelanggaran adat istiadat setempat.
Peningkatan signifikan angka kunjungan wisatawan kendati menggerakkan perekonomian lokal, namun di sisi lain juga melahirkan sejumlah persoalan krusial.
"Bali mencatatkan angka kunjungan kumulatif orang asing sebanyak 5.297.869 jiwa per September 2025, yang diproyeksikan menembus 7 juta kunjungan hingga akhir tahun," katanya.
2. Keimigrasian fokus Digital Nomads dan eksodus geopolitik di Bali

Menurut Plt Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman, keimigrasian kini tengah menyoroti dua kelompok orang asing yang kini menjadi fokus pengawasan. Kelompok pertama merupakan Digital Nomads (Nomaden Digital). Yaitu para pekerja daring yang masuk dengan visa turis, namun menjalankan kegiatan profesional dan mengambil pasar kerja lokal seperti pengajar yoga, tour guide dadakan, menciptakan grey area yang sulit dijangkau oleh penegakan hukum konvensional. Praktik ini dinilai sebagai bentuk predatory business yang menggerus pendapatan UMKM lokal.
“Kemudahan akses yang ditawarkan untuk menunjang pariwisata sering kali disalahgunakan, menciptakan kerentanan hukum, ekonomi, dan sosial,” ujarnya.
Selanjutnya kelompok kedua adalah eksodus geopolitik, di mana Bali kini menjadi tujuan utama eksodus orang asing dari negara-negara konflik seperti Rusia dan Ukraina. Meskipun banyak yang legal, kenaikan tajam kedatangan ini menuntut kemampuan analisis risiko yang lebih tajam dari Imigrasi terhadap isu-isu internasional, status pencari suaka, atau individu yang terkait dengan rezim politik.
3. Keimigrasian menyoroti tantangan kedaulatan ekonomi dan budaya

Yuldi Yusman mengatakan, tiga tren pelanggaran utama yang mengancam kedaulatan hukum dan ekonomi lokal Bali yakni penyalahgunaan visa untuk bekerja. Lalu rang asing masuk dengan Visa Kunjungan (VoA/B211) namun menjalankan bisnis dan mencari nafkah tanpa Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
"Overstay kronis. Istilah ini digunakan karena denda Rp1 juta per hari. Bagi sebagian orang asing dengan penghasilan tinggi masih dirasa ringan," ujarnya.
Berikutnya adalah pelanggaran norma sosial dan budaya oleh orang asing seperti bertindak tidak sopan di tempat suci, atau melakukan perbuatan asusila meresahkan publik dan bertentangan dengan visi pariwisata berbasis budaya Bali. Selain itu, isu investasi asing ilegal melalui perjanjian nominee (pinjam nama) menjadi tantangan terberat. Praktik ini merugikan WNI dan mengindikasikan pelanggaran prinsip kedaulatan ekonomi.
















