Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktu

Mengenali efeknya bisa membantu seseorang menjalani hidup

Denpasar, IDN Times - Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan gangguan mental yang mengakibatkan penderitanya sulit memusatkan perhatian. Orang dengan ADHD umumnya sering menghadapi hubungan bermasalah, rendah diri, hingga kesulitan di sekolah maupun melaksanakan pekerjaan.

Seorang penderita ADHD di Denpasar, Retno Widowati (27), mengetahui kondisinya tersebut setelah mengalami Drop Out (DO) dari sebuah universitas di Yogyakarta. Ia kemudian rutin menemui psikiater pada 2021 hingga 2022. Berikut cerita singkat Retno yang berjuang menghadapi ADHD-nya.

Baca Juga: 5 Tanda yang Mungkin Terjadi Apabila Menderita ADHD

1. Baru tahu menderita ADHD saat kuliah

Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktuilustrasi tulisan ADHD (pexels.com/Tara Winstead)

Retno merupakah penderita ADHD yang baru-baru ini mengetahui kondisi mentalnya. Ia mendalami pengetahuan tentang ADHD pada 2018 saat menjadi mahasiswa. Pengetahuan dan informasi yang ia dapatkan membuat Retno mencurigai kondisi mentalnya sendiri. Apalagi hingga pendidikannya tidak selesai karena drop out, membuatnya memutuskan datang ke psikiater untuk konseling selama setahun.

“Sudah lama curiga, tapi mulai serius mendalami tentang ADHD saat masuk proses mengerjakan skripsi S1 tahun 2018,” ungkapnya.

Setelah mengetahui bahwa ia menderita ADHD, Retno pun memutuskan terbuka dengan kondisinya, baik kepada keluarga maupun orang-orang terdekat.

“Keluarga inti memahami hal ini. Malah berusaha mendukung cara hidup saya di luar struktur linier perempuan pada umumnya,” ungkapnya.

Baca Juga: 5 Cara ADHD Memengaruhi Kehidupan Seksual Orang Dewasa

2. Sering berhadapan dengan ilusi waktu hingga pola tidur yang berantakan

Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktuilustrasi sulit tidur (freepik.com/jcomp)

Dengan ADHD, Retno mengaku mengahadapi beragam gangguan dalam beraktivitas sehari-hari. Ia berusaha berdamai dengan kondisinya tersebut. Perempuan yang tinggal di Kelurahan Panjer ini, mengaku sering menghadapi ilusi waktu.

Ia memiliki kebiasaan suka menunda dan menyepelekan waktu, lalu mengalami regulasi perasaan, dan bersikap impulsive, berpikir terus atau inattentive ADHD. Bahkan ia bermimpi dalam kondisi sadar (vivid dream), hingga polda tidur yang tidak teratur.

Ia suka menuntut kesempurnaan pada diri sendiri untuk mewujudkan suatu hal (idealis). Sikap malas mengerjakan hal yang tidak menarik dan tidak menantang, kemudian semuanya mengakibatan kerugian finansial.

“Cara mengatasinya, ya, dinikmati saja kekacauan dan adrenalinnya. Karena semua strategi manajemen waktu sudah dilakukan, tapi tidak ada yang berhasil,” ungkapnya.

Lalu bagaimana Retno men-treatment ADHD? Ia lantas mengonsumsi tontonan yang datar sebelum tidur atau menyederhanakan hal. Upaya ini diakui efektif untuk mendapatkan durasi tidur yang cukup.

3. Belajar dari para ahli otak dan mental lewat internet

Penderita ADHD di Bali Ungkap Sering Menghadapi Ilusi Waktuunsplash.com/thoughtcatalog

Retno mengatakan tidak mengikuti terapi khusus, apalagi pergi rutin ke dokter untuk melakukan konseling. Ia berasalan kurang percaya dengan tenaga medis mental dan otak di Indonesia. Ditambah lagi kurangnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap isu neurodivergent dan kesehatan mental.

“Makanya tidak ada terapi langsung jangka panjang yang saya ikuti. Hanya belajar dari para ahli otak dan mental yang progresif melalui internet,” ungkapnya.

Dari pengalamannya itu, ia mengingatkan orangtua yang memiliki anak penderita ADHD agar tidak saling menyalahkan atas kondisi tersebut. Terlebih jika yang menghadapai permasalahan ADHD ini merupakan keluarga dengan ekonomi kelas menengah ke bawah.

“ADHD merupakan komposisi otak melalui evolusi alami yang memiliki fungsi dalam masyarakat. Bukan salah anak dan bukan salah kamu, tapi salah sistem ekonomi negeri dan global saja yang tidak memprioritaskan kesejahteraan, kebahagiaan individu, dan masyarakat yang adil atau setara. Kita perlu mengubah sistem yang lebih memanusiakan keberbedaan ragam otak serta cara hidup manusia,” ungkapnya.

Baca Juga: Studi: Konsumsi Sayur dan Buah Bantu Anak dengan ADHD

Topik:

  • Deryardli Tiarhendi

Berita Terkini Lainnya