TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pembunuhan Sadis oleh Remaja di Kintamani, Kriminolog: Seharusnya Tak Sekejam Itu

Para pelaku harus diperiksa oleh psikolog

Ahli Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH. (IDN Times//Irma Yudistirani)

Denpasar, IDN Times - Kasus penganiayaan yang menewaskan Nyoman Rai (36), di Desa Belandingan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, pada Rabu (4/1/2023) lalu, mendapat perhatian dari berbagai pihak. Terlebih mengingat pelaku penganiayaan merupakan kedua keponakannya yang masih remaja, yakni Gede Darmawan (19) dan I Made Ariawan (18).

Nyoman Rai dihabisi secara sadis di depan anaknya yang berusia 2,5 tahun. Kriminolog Universitas Udayana, Dr Gde Made Swardhana, mengamati peristiwa ini dari beberapa sisi. Mulai dari tindakan sadis dua orang remaja yang nekat menganiaya pamannya hingga meninggal dunia. Termasuk psikologis anak korban yang melihat langsung ayahnya dihabisi. Berikut penjelasan Swardhana terkait kasus penganiayaan di Desa Belandingan tersebut:

Baca Juga: Laki-laki di Kintamani Dihabisi depan Anak yang Masih Balita

1. Emosional pelaku cukup tinggi dan tidak menyadari perbuatannya berbahaya

Ilustrasi Pelaku Pidana (IDN Times/Mardya Shakti)

Kasus penganiayaan yang menewaskan Nyoman Rai (36) terjadi bertepatan dengan Hari Raya Galungan, Rabu (4/1/2023) lalu. Kejadian ini sangat menggemparkan warga setempat karena Nyoman Rai ditemukan sudah tidak bernyawa di dasar jurang.

"Tentu keluarga sangat terpukul. Apalagi saat upacara Hari Raya Galungan yang seharusnya disadari perbuatannya melawan adharma, malah berbuat keji dan kejam," ujar Swardhana, Selasa (10/1/2023).

Swardhana menilai pemicu dari peristiwa itu sebenarnya sepele karena ada dugaan kedua pelaku menanam alpukat di lahan milik korban. Namun para pelaku yang merupakan kakak beradik yang masih remaja, justru melakukan aksi keji dengan menganiaya secara membabi buta, sampai berupaya menghilangkan jejak dengan melempar korban ke jurang.

"Pelaku perlu diperiksa psikolog untuk mengetahui kenapa dari hal sepele, membuat pelaku yang masih remaja begitu membabi buta melakukan perbuatan dari membacok dan dibantu saudaranya berupaya menghilangkan jejak dengan melempar ke jurang," jelas Swardhana.

Menurutnya secara kriminologis dikaitkan dengan perbuatan kedua tersangka yang masih remaja, seharusnya tindakannya tidak sampai sekejam itu.

"Apa yang dilakukan, apalagi anak masih remaja, di mana emosionalnya cukup tinggi dan mereka tidak menyadari akan perbuatannya telah merengkuh masa depan mereka sendiri," ungkap Swardhana.

2. Anak korban perlu mendapat pendampingan psikologis secara berkesinambungan

ilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Swardhana juga menyoroti penganiayaan yang dilakukan kedua pelaku, yang disaksikan oleh anak korban yang masih berusia 2,5 tahun. Menurutnya, usia anak 2,5 tahun secara fisik dan mental sudah bisa mengingat apa yang dilihatnya. Hal ini tentu akan selalu terngiang dan berdampak panjang terhadap kondisi psikologis anak.

"Jangan sampai ini berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak ke depan. Tidak menutup kemungkinan, cerita-cerita kejadian ini sampai ke telinga anak ini pada usia anak-anak atau remaja nantinya," ujar Swardhana.

Menurut dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana tersebut, anak korban harus mendapat pendampingan psikolog berkelanjutan ke depannya. Pendidikan terbaik juga harus diberikan untuk tumbuh kembang anak korban. Dengan begitu, kejadian ini tidak menjadi trauma atau gangguan ke psikologis anak ke depannya.

"Dalam proses penyidikan maupun persidangan nanti, sebaiknya anak seusia dini tersebut untuk tidak dilibatkan, walaupun sebagai saksi mata sekalipun," jelas Swardhana.

Berita Terkini Lainnya