TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal Kesetaraan Gender di Kampus, Begini Suara Mahasiswa Unud

Bagaimana dengan kampus kamu?

unud.ac.id

Penulis: Ufiya Amirah

Menciptakan tatanan sosial yang ramah gender, tidak bisa hanya dibebankan pada individu semata. Diperlukan sebuah lembaga untuk mensistematiskan anti diskriminasi. Dalam hal ini, kampus memiliki peran penting dalam upaya pembentukan norma baru untuk merekonstruksi nilai-nilai ketimpangan gender menjadi adil gender.

Perguruan tinggi perlu merealisasikan pengarusutamaan gender guna menciptakan masyarakat yang setara. Bagaimana pandangan mahasiswa Universitas Udayana terhadap realitas kesetaraan gender dan fenomena kekerasan seksual di kampus?

Baca Juga: Mahasiswa UNUD Bali Kecewa Dua Tuntutan Mereka Tak Disetujui Rektorat

1. Tingkat partisipasi perempuan dalam organisasi himpunan mahasiswa di program studi cukup tinggi

www.instagram.com/info.udayana

Perjuangan melawan dominasi laki-laki dalam kontestasi politik kampus kian menguat sejak keberanian para perempuan untuk menuntut haknya mendapatkan posisi sentral dalam kepemimpinan berorganisasi ataupun di pergerakan. Padahal sebelumnya, dapat kita telaah bersama, bagaimana pengaruh maskulinitas dalam kepemimpinan politik kampus mengakibatkan sempitnya ruang gerak perempuan.

Menurut mahasiswi Fakultas Pariwisata (FPAR) Unud, Putriatre Krimasusini Senudin, organisasi di fakultasnya telah merealisasikan nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan pengarusutamaan gender. Hal ini terbukti dari tingginya partisipsi perempuan duduk dalam jabatan penting organisasi.

"Di Fakultas Pariwisata, saya melihat dalam berbagai kegiatan kepanitiaan, tidak jarang perempuan menjadi ketuanya. Selain itu, tingkat partisipasi perempuan dalam organisasi himpunan mahasiswa di tiga program studi sangatlah tinggi. Di dalam kelas pun hak untuk berbicara tidak diberatkan pada laki-laki saja, namun keduanya seimbang," jelas Atre, Kamis (24/02/2022).

2. Mayoritas kursi jabatan dekanat diduduki laki-laki sehingga rentan kebijakan tak ramah gender

www.instagram.com/info.udayana

Bali yang masih kental dengan idealisme patriarki, telah mengantarkan aktor-aktor perguruan tinggi yang masih menganut nilai-nilai superioritas laki-laki dalam pengimplementasian kekuasaan, baik dari sisi kursi kepemimpinan maupun kebijakan. Realitas ini dapat dilihat dari minimnya jabatan politik perempuan di dalam birokrasi kampus.

Representasi perempuan dalam kursi politik di perguruan tinggi memiliki urgensitas yang sama dengan pentingnya jabatan politik perempuan di lembaga trias politik negara. Urgensitas tersebut dilatar belakangi oleh perlunya pertimbangan-pertimbangan yang ramah gender untuk memenuhi unsur keadilan dalam penetapan suatu kebijakan.

Mahasiswa Fakultas Hukum Unud, Riski Dimastio, memandang bahwa adanya domino kekuasaan politik laki-laki dalam kursi jabatan dekanat di kampus dapat berindikasi pada rentannya kebijakan dan keputusan politik yang tak ramah gender.

"Dalam konteks partisipasi politik perempuan, kursi dekanat mayoritas masih diduduki laki-laki, bahkan hampir semuanya. Padahal partisipasi perempuan menjadi penting dalam konteks jabatan struktural agar nantinya kebijakan-kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan lebih ramah gender," jelas Tio, Jumat, (25/02/2022).

3. Minimnya pemahaman konsensualitas jadi penyebab rentan terjadinya kasus kekerasan seksual

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Menolak edukasi seksual karena tabu adalah sikap yang fatal. Mengapa demikian? Karena melalui pendidikan seks, seseorang dapat memahami bagaimana cara menghargai tubuh, menghindari perilaku seksis, serta lebih mengerti tentang kesehatan reproduksi. Paling penting sesungguhnya adalah edukasi seks dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual, khususnya melalui pemahaman tentang prinsip konsensus dalam berhubungan seks.

Apabila ada pihak-pihak tertentu yang justru menyalahkan korban kekerasan seksual, maka ada kemungkinan, pihak yang menyalahkan korban tersebut belum paham prinsip konsen. Begitu pula di perguruan tinggi, tak jarang ada orang yang tidak memiliki perspektif korban karena belum paham soal konsen tersebut.

Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud, Verni Valentini, memandang bahwa kurangnya pemahaman soal konsen karena kosongnya Standard Operating Procedure (SOP) di Unud. Hal itu bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual.

"Kurangnya pemahaman tentang consent sih. Sama karena gak ada SOP yang jelas tentang gimana ngadepin kalau ada kasus kekerasan seksual," ucap Verni, Kamis, (24/02/2022).

4. Selain isu kekerasan seksual, perundungan berbasis gender juga kerap terjadi di Unud

Foto hanya ilustrasi. (pixabay.com/lu94007)

Memandang perempuan lebih rendah dibanding laki-laki seringkali menyebabkan munculnya perbuatan agresif. Pandangan subordinasi tersebut dapat memicu interaksi toxic antara gender yang berbeda. Perilaku bullying berbasis gender kerap terjadi karena sifat misoginis (kebencian laki-laki terhadap perempuan) di kalangan mahasiswa.

Perundungan di kampus merupakan isu yang cukup sering dibicarakan. Namun aturan perundungan masih kosong di Unud. Akibatnya, apabila terjadi perundungan, mahasiswa kebingungan harus melapor ke mana untuk meminta perlindungan dan penuntutan sanksi.

Dalam wawancara daring IDN Times dengan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Desimawaty Natalia Hutabarat, diungkapkan bahwa nihilnya pemahaman mahasiswa tentang konsep gender telah menyebabkan diskriminasi gender yang berujung bullying.

"Umumnya kurangnya pemahaman persamaan gender antar mahasiswa, berujung pada bullying dan biasanya korbannya perempuan. Secara gak langsung perempuan tomboy sering ditanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada bully," ungkap Desi, Jumat, (25/02/2022).

Berita Terkini Lainnya