TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perempuan Bali yang Tak Siap Nyaleg 'Diburu' Untuk Penuhi Kuota Partai

Sesungguhnya jika diberikan kesempatan, perempuan juga mampu

Para caleg saat di Pelatihan Calon Legislatif Perempuan Kota Denpasar. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Denpasar, IDN Times - Para calon legislatif (Caleg) kini gencar merebut hati rakyat. Tidak hanya laki-laki, caleg perempuan turut serta dalam kontestasi politik di pemilihan legislatif (pileg) 2019. Undang-undang bahkan memuat kebijakan, di mana partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Saat ini keikutsertaan perempuan Bali untuk menjadi caleg terbilang cukup banyak. Di Kota Denpasar saja, ada 115 caleg perempuan dari 16 partai politik ikut bertarung baik di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota maupun DPRD Provinsi, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dapil Bali.

Namun di balik banyaknya caleg perempuan yang ikut bertarung, ada dilema tersendiri. Menurut Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali Sruthi, Dr Luh Riniti Rahayu, sebagian caleg perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap administratif atau memenuhi kuota partai poltik. Sebab jika kuota 30 persen caleg perempuan itu tidak terpenuhi, maka partai politik yang bersangkutan tidak akan lolos pileg 2019.

Maka tak jarang pula perempuan yang lolos menjadi wakil rakyat masih sangat minim. Data yang diungkap LSM Bali Sruthi, perempuan Bali yang mampu menembus kursi DPR tidak sampai 10 persen. Di Kota Denpasar saja bahkan hanya satu perempuan yang lolos pada pileg 2014 lalu.

Baca Juga: KPU: Caleg Perempuan Bali Harus Berjuang Sampaikan Program Masuk Akal

1. Dari pileg tahun 2004, perempuan yang lolos jadi anggota dewan hanya 4,5 persen dari total keseluruhan kursi legislatif

Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali Sruthi, Dr Luh Riniti Rahayu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Riniti Rahayu mengungkapkan, dari total 415 kursi legislatif di Bali (Gabungan DPRD tingkat kabupaten/kota dan provinsi) pada pileg tahun 2004, keterwakilan perempuan hanya terpenuhi 4,5 persen. Jika disebutkan angkanya, maka tidak lebih dari 20 orang. Itupun tidak merata ada di setiap kabupaten/kota. Bahkan waktu itu kabupaten/kota ada yang tidak memiliki wakil perempuan.

Menurut Riniti, persentase ini sangat rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan provinsi lain seperti Sulawesi Utara, keterwakilan perempuannya hampir mencapai 40 persen. Melihat kenyataan itu, ia bersama aktivis perempuan lainnya tergerak untuk mendorong caleg perempuan supaya maju dalam pileg.

Tahun 2009 lalu, LSM Bali Sruthi mendatangi partai-partai untuk melakukan pelatihan kepada caleg perempuan. Para caleg ini diajarkan strategi untuk meraih suara maupun mengamankan suara. Sebab suara bisa hilang di tengah jalan. Caleg perempuan diminta waspada pada saat pemungutan suara maupun penghitungan suara.

"Tahun 2009 keterwakilan perempuan mampu meningkat menjadi 7,5 persen dari keseluruhan kursi yang ada. Nah, di tahun 2014 ternyata sistemnya tarung bebas. Sistem ini juga cukup menyulitkan perempuan untuk meraih suara. Jadinya tahun 2014 hanya mampu 7,3 persen," jelasnya.

2. Sebagian hanya dijadikan sebagai pelengkap administrasi. Para caleg laki-laki 'berburu' perempuan yang tidak siap

Tutik Kusuma Wardhani, anggota DPR RI Komisi XI dari Partai Demokrat yang menggantikan Jro Wacik. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Menurut Riniti, tidak bisa dipungkiri jika dalam kontestasi politik, caleg perempuan kadang-kadang hanya dipakai sebagai pelengkap administratif saja. Karena pileg adalah 'pertarungan' merebut suara, caleg laki-laki pun tak ingin kehilangan suara. Maka dipilihlah caleg-caleg perempuan yang tidak siap maju untuk mencalonkan diri.

"Kalau kuotanya yang 30 persen perempuan itu tidak terpenuhi, bisa dicoret partainya gak bisa ikut pemilu. Makanya banyak yang tidak siap maju buat nyalon, itu yang diburu. Karena kalau caleg perempuannya kuat dan siap maju, mereka (Caleg laki-laki) malah takut direbut suaranya," katanya.

Karena banyaknya yang tidak siap maju, membuat kemungkinan keterwakilan perempuan di kursi legislatif semakin minim. Sebut saja di Kota Denpasar. Hanya satu perempuan saja yang lolos menjadi anggota DPRD Kota Denpasar tahun 2014, yaitu Putu Metta Dewinta Wandy dari partai Golkar.

Sedangkan di tingkat DPR RI, dua politisi perempuan Bali pun hanya berstatus Penggantian Antar Waktu (PAW). Yakni Tutik Kusuma Wardhani, anggota DPR RI Komisi XI dari Partai Demokrat yang menggantikan Jro Wacik; dan I Gusti Agung Putri Astrid, anggota DPR RI Komisi VIII dari Partai PDI Perjuangan yang menggantikan I Wayan Koster.

3. Namun tidak semua perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap. Ada juga para perempuan Bali yang benar-benar berjuang dari nol dan terpilih

Unsplash/Arnaud Jaegers

Meski banyak yang dijadikan sebagai pelengkap administratif, namun menurut Riniti banyak juga caleg perempuan yang benar-benar berjuang dari nol dan akhirnya terpilih. Caleg perempuan seperti ini yang diharapkan lebih banyak mewarnai kontestasi politik tahun ini.

“Sesungguhnya jika perempuan juga diberikan kesempatan, perempuan itu mampu. Kami berharap makin banyak yang terpilih. Karena bilamana terpilih, itu artinya mewakili suara kaum perempuan," kata Riniti.

4. Meski hanya menjadi pelengkap sekalipun, perempuan harus tetap memanfaatkan peluang untuk belajar meraih suara

IDN Times/Irma Yudistirani

Riniti berharap, meskipun hanya dijadikan sebagai pelengkap administrasi, caleg perempuan harus mampu memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Dari peluang itu, caleg perempuan harus belajar bagaimana merebut suara rakyat. Jangan justru berpikir "Toh cuma jadi pelengkap", sehingga setengah hati untuk bergerak mencari suara.

"Justru ini adalah peluang besar untuk belajar. Semakin banyak yang bisa meyakinkan masyarakat, maka semakin banyak yang bisa lolos ke kursi dewan. Ingat, caleg perempuan adalah wakil dari perempuan untuk memperjuangkan hak dan keadilan perempuan di kursi legislatif," jelas Riniti.

5. Mengapa tak banyak perempuan Bali yang terjun politik?

IDN Times/Diantari Putri

Menurut Riniti Rahayu, ada beberapa faktor mengapa perempuan enggan terjun ke dunia politik. Pertama, karena biaya kampanye yang cukup mahal. "Jadi wakil rakyat, jadi ASN (Aparatur Sipil Negara) itu gak mungkin kaya. Oleh Negara pasti hidup cukup. Nah, kalau untuk menuju jadi wakil rakyat masih dengan sistem seperti itu (Biaya besar), pasti yang nyaleg harus kaya dong, kan?" ujarnya.

Meski tidak mau menyebutkan berapa nominal biaya kampanye yang keluar dalam satu kali tarung pileg, namun Riniti menilai perempuan pasti akan berpikir seribu kali untuk mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit.

"Inilah yang menyebabkan perempuan tambah sulit. Masih mikir seribu kali akan nyaleg kalau keluar uang banyak sekali," terangnya.

Faktor kedua adalah dari diri sendiri. Meski caleg perempuan telah diberikan dukungan oleh keluarga, namun jika dari dirinya sendiri kurang mampu, maka ini juga menjadi masalah. Menurut Riniti, perempuan terbiasa dididik untuk bekerja domestik, dan tidak dididik berorganisasi sejak dini.

"Mana dia juga cukup sulit keluar dari komunitas keluarganya untuk bisa eksis. Kalaupun sudah didorong oleh keluarga, dirinya sendiri belum tentu mampu. Ini karena dari kecil tidak dididik berorganisasi. Hanya dididik untuk kerja domestik saja," ungkapnya.

Sedangkan faktor ketiga, karena pendidikan dan kesadaran politik perempuan masih rendah. Contohnya saja, ketika perempuan akan memilih seorang caleg, harus bertanya dulu pada keluarganya.

"Bilamana kesadaran politik sudah meningkat dan perempuan menjadi pemilih yang mandiri, saya kira keterwakilan perempuan akan bertambah. Kalau sekarang lihat perempuan kalau mau milih kan mesti tanya suami atau bapaknya dulu, siapa yang harus dipilih," tutupnya.

Baca Juga: Inilah Aturan Memasang Bendera Parpol di Rumah Tetangga

Berita Terkini Lainnya