TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat Diskriminasi

Pulau Dewata harus menjadi ruang aman bagi transpuan

Fashion Show yang dilakukan transpuan pada acara bertajuk "Bangga di Bali" (doc.instagram/Angel Frenzia)

“Kalau masalah dikatain itu sudah asam garam kehidupan, setiap hari ada yang meludahi, melempar batu ke saya. Paling parah itu dengan sengaja melempar air kencing dia yang ditaruh di plastik ke kita,” tutur Yuni (bukan nama sebenarnya), transpuan asal Banyuwangi yang bekerja sebagai pekerja seks di satu sudut Kota Denpasar.

Denpasar, IDN Times - Selama 30 tahun menetap di Bali dan bekerja sebagai pekerja seks, Yuni terus merasakan diskriminasi dan tindak kekerasan karena identitas gendernya. Perlakuan itu terjadi hampir setiap hari. Tindakan kekerasan biasanya dilakukan secara bergerombol dengan pola yang sama.

“Kadang yang di depan berpura-pura panggil saya tante-tante, yang ada di belakang lempar gitu. Biasanya gak sendiri, ada tempat sepeda motor gitu untuk trek-trekan dekat saya, jadi ada tiga motor atau empat motor kan kompak sama teman-temannya. Habis lempar ya kabur, kalau kita enggak hati-hati kan kena ke kepala kita?” ungkapnya.

Menjadi transpuan di Indonesia lebih sulit, terlebih kondisi masyarakat dengan norma heteronormatif. Tidak sedikit dari transpuan di Indonesia mengalami kekerasan dan diskriminasi dari lingkungannya sejak kecil. Padahal lingkungan terdekat idealnya menjadi support system, terlebih pada saat proses penerimaan diri yang dihadapi transpuan.

Kurangnya penerimaan dari keluarga dan lingkungan, serta penolakan dari sistem pendidikan dan pekerjaan formal, menjadi faktor banyak transpuan memilih bekerja sebagai pekerja seks. Pekerjaan tersebut menjadi pilihan terakhir demi melanjutkan hidup. Diskriminasi secara struktural tersebut telah terjadi bertahun-tahun, transpuan dianggap tidak memiliki kompetensi yang setara. Bekerja sebagai pekerja seks merupakan pekerjaan yang mempertaruhkan hidup.

Bekerja sebagai pekerja seks rentan mendapatkan tindakan kejahatan, terlebih diskriminasi. Banyak yang tidak melaporkan pada pihak berwajib, sebagian merasa bahwa perlakuan tersebut merupakan risiko dari pekerjaannya. Yuni adalah termasuk transpuan yang memilih tidak membawa kasusnya ke jalur hukum. Bagi Yuni, perlakuan itu sudah biasa karena terlalu sering dialaminya.

“Pernah kalau ketangkap yang melempar ke saya, tapi kan gak sampai dibawa ke jalur hukum, cuma dikasih tahu aja jangan gini jangan gitu. Kadang ada yang masih mengulangi lagi, pelakunya kadang sama," tambah Yuni.

Lantas apakah transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks telah mendapatkan rasa aman? Bagaimana dengan diskriminasi yang dialami selama tinggal di Bali?

Baca Juga: Derita dan Minimnya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bali

Baca Juga: 5 Cara Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos

Bali menjanjikan kehidupan baru bagi transpuan, rasa dapat memanusiakan manusia lebih terasa

Potret Transpuan Pekerja Seks Daerah Denpasar (Dok.pribadi/Desimawaty Hutabarat)

Sejumlah laporan mencatat bahwa transpuan kerap mendapat diskriminasi dan persekusi. Laporan yang dirilis oleh Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) mencatat telah terjadi 6 kasus pembunuhan pada transpuan sepanjang tahun 2019. Kasus tersebut terjadi di Tangerang, Yogyakarta, Padang, Lubuk Linggau, Palembang dan Biak. Sedangkan di Bali sendiri sedikit berita yang menuliskan kekerasan terhadap transpuan, laporan mengenai kekerasan yang terjadi pun terhitung rendah.

Berbicara mengenai Bali tentu akan mengingat tingginya tingkat toleransi masyarakat. Tidak terbatas pada perbedaan agama, ras dan etnis, tetapi Bali terbuka dalam menerima keberagaman gender. Hal tersebut terlihat ketika banyak pemerintah daerah mewacanakan kebijakan diskriminatif, terlebih menjelang Pemilu. Arus Pelangi mencatat terdapat 45 rancangan peraturan daerah anti-LGBT sepanjang 2019. Satu daerah bahkan telah menyebut kotanya anti-LGBT, namun Bali tidak mengeluarkan peraturan serupa, menjadikannya daerah yang relatif lebih aman bagi komunitas transpuan.

Didukung oleh sektor pariwisata, banyak tempat di Bali yang menjadi surga kecil bagi transpuan untuk memperoleh uang. Di beberapa tempat akan mudah menemukan transpuan yang hidup berdampingan bersama masyarakat.

Menurut beberapa transpuan di Kota Denpasar, potensi pariwisata di Bali telah memberikan kemudahan dalam mengakses pekerjaan. Tipe masyarakat Bali yang tidak terlalu ingin tahu urusan pribadi orang dianggap sebagai keunggulan dibanding daerah lain.

“Kenapa memilih Bali? Karena kan Bali salah satu tempat wisata. Terus habis itu banyak pendatang,” jelas Risma (bukan nama sebenarnya), Ketua Komunitas Waria Cantik Kota Denpasar.

Selain potensi pariwisata yang menguntungkan, faktor penerimaan di lingkungan berpengaruh bagi transpuan. Masyarakat Bali lebih terbuka dan memiliki rasa untuk menghormati privasi orang lain yang tinggi. Aturan yang diterapkan di beberapa wilayah Indonesia tidak dipermasalahkan oleh Bali, selama tidak merugikan lingkungan.

“Habis itu kalau di Bali itu berbeda dengan aturan di Jawa. Kalau di Jawa itu contohnya laki dengan perempuan itu misalnya sampai satu rumah lewat dari jam 12.00 kan udah digerebek, sementara yang mau di Bali di kos-kosan kan welcome. Kalau di sini kan memang benar-benar aman, untuk pekerjaan masih gampang,” jelasnya lagi.

Selain dari keterbukaan masyarakatnya, di Bali sendiri sektor pekerjaan bagi transpuan lebih luas. Identitas diri transpuan tidak memengaruhi sistem perekrutan. Sektor pekerjaan dinilai berdasarkan kemampuan, sehingga transpuan mampu bersaing.

“Di pabrik-pabrik pun paling kan cuma satu dua yang diterima. Pun rata-rata aku melihat bukan secara fisik dia, body di sini mereka melihat kayak rambut pendek seperti itu, walaupun masih ngondek-ngondekan, masih diterima. Tapi kalau yang secara 100 persen aku melihatnya kalau yang untuk perempuan, yang sudah benar-benar menjadi perempuan atau trans seperti itu, di ruang publik Indonesia belum dapat diterima. Kalau di sini kan (Bali) memang benar-benar aman, untuk pekerjaan masih gampang,” lanjutnya.

Serupa dengan alasan Risma, dalam pandangan Annisa (bukan nama sebenarnya) yang pernah merantau ke ibu kota, ia memilih kembali ke Bali karena memang menjadi rumah ternyaman. Kontrakan kecil tersebut memberikan kehangatan, tidak ada yang mempermasalahkan pekerjaannya.

“Baik-baik aja tetangga di sini, mereka tahu saya kerja malam. Kadang kalau ada makanan lebih aku kasih mereka, mereka juga kasih ke aku,” kata Annisa.

Masyarakat di sekitar kontrakannya menerima identitas gender Annisa. Menurutnya dibandingkan dengan di ibu kota, Bali masih menghormati kehadiran dirinya dalam lingkup sosial, masyarakat menerima dan memperlakukan serupa dengan yang lainnya. Tetangga di sekitar tempat tinggal Annisa memberikan pengertian pada anak-anaknya untuk melihat dan memperlakukan dirinya secara sopan. Tak ada yang memberikan pandangan merendahkan saat melihat dan berbicara padanya.

Annisa dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial dan diberikan kewajiban yang sama dengan masyarakat terkait administrasi kepada pihak bendesa adat. Pihak bendesa adat juga menjalin komunikasi yang baik dengan Annisa, terlebih pada saat Covid.

Belum lagi dalam memperoleh tempat tinggal. Menurut Annisa, kota sebesar Jakarta justru masih memberikan stigma dan kurang menerima keberadaannya.

“Waktu 2014 sama 2016 aku ke Jakarta, untuk nyari tempat tinggal aja udah susah. Kalau di sini masih aman dan di sini kalau masyarakatnya itu masih menghargai,” ujar Annisa transpuan asal Jawa Barat.

“Beda dengan di Jakarta, stigma kami transpuan yang bekerja di dunia malam itu kalau di sono (sana) kan kadang-kadang masyarakatnya nyindir gitu, kadang-kadang kan kita gimana gitu, kurang enaklah gitu,” tambahnya.

Masih terjadi fenomena diskriminasi pada transpuan. Kekerasan itu nyata ada dan terasa

foto hanya ilustrasi (pexels.com/Anete Lusina)

Keterbatasan transpuan dalam mengakses pekerjaan yang layak merupakan dampak domino diskriminasi gender. Dalam masyarakat patriarkis yang membatasi gender pada pilihan laki-laki dan perempuan, transpuan masih dianggap tabu. Banyak yang sudah menerima, namun tidak juga mendukung keberadaan transpuan.

“Pada beberapa kesempatan diundang memberi materi tentang gender dan seksualitas, saya selalu menekankan bahwa akar diskriminasi terhadap kelompok gender minoritas itu karena ada pandangan heteronormatif. Masyarakat heteronormatif memiliki anggapan tidak ada variasi gender di luar maskulin dan feminin,” ungkap Angel, yang merupakan Pegiat Isu Gender dan Transpuan dari GSHR Udayana.

“Ada kultur permisif kekerasan sebagai hukuman kepada siapa saja yang menyalahi konstruksi gender yang diciptakan oleh masyarakat ini. Misalnya laki-laki berpenampilan dan bertindak feminin, atau sebaliknya, atau seseorang berpenampilan dua gender sekaligus. Ya bentuknya itu bisa pelabelan atau stigma negatif, diskriminasi, hingga kriminalisasi,” tambahnya.

Transpuan tidak hanya dikucilkan dari lingkungan sekitarnya, tetapi juga mengalami kesulitan dalam mengakses kesehatan, perbankan, sektor pekerjaan formal, dan pendidikan. 

Padahal, transpuan juga warga negara, memiliki hak mutlak dalam mendapatkan kemudahan untuk mengakses karena telah dijamin oleh negara. Tetapi banyak transpuan mengalami hambatan dalam menjalani pendidikan, seperti dikucilkan. Padahal pendidikan mampu meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup kedepannya.

“Ada ya bully waktu sekolah, dari kelas 4 SD sampai SMP, terus waktu SMA gara-gara krisis moneter 98 akhirnya keluar. Sekarang ini yang akan aku lakukan mau kejar paket C, tapi belum. Karena masih mau menghubungi temanku. Nanti yang akan menjadi tantangan ya nama sesuai ijazah, fisik kan dulu masih laki-laki,” ujar Risma.

Bentuk fisik transpuan yang berubah menjadi penghalang untuk diterima di tengah masyarakat. Transpuan yang mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan, akan sulit juga dalam mengakses pekerjaan. Pilihan menjadi pekerja seks adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus bertambah. Annisa mengungkapkan keinginan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pekerja seks, tetapi kemampuan menjadi penghambat.

“Ada nyoba jahit tapi gak masuk, ilmunya sudah susah masuk ke otak. Belajar buat tas, tapi gak masuk dan salah terus,” ujar Annisa.

Selain Annisa, Risma, dan Yuni, banyak transpuan dari berbagai kota di Indonesia memutuskan mengadu nasib di Pulau Dewata. Banyaknya wisatawan dan pendatang yang menetap di Bali memberikan pengaruh pada besaran tarif jasa. Hal tersebut mendatangkan harapan lebih bagi transpuan untuk hidup lebih nyaman di Bali. Namun, menjadi pekerja seks nyatanya belum mampu memberikan kehidupan sesuai harapan. Transpuan pekerja seks justru mendapatkan diskriminasi.

Niat melapor untuk melindungi diri, tetapi yang didapat justru ketakutan

foto hanya ilustrasi (pexels.com/Lucas Pezeta)

“Ada yang ngatain-ngatain aja, ada yang melempar batu. Ada juga yang lempar telur-telur bekas dipakai dari sembahyang, kadang dilempar ke kita, ada air got, air kencing mereka, bahkan tainya sapi. Gak tau gimana mereka masukin itu ya?" kata Risma.

Tindakan diskriminatif berulang itu sampai menimbulkan luka pada tubuh transpuan, terkhususnya di bagian kepala. Luka fisik tersebut dilakukan oleh anak muda yang melemparkan batu di lokasi transpuan biasanya bekerja. Banyak yang berusaha menghindari lemparan tersebut, tetapi situasi yang tiba-tiba menyebabkan transpuan menjadi target, sehingga tidak dapat menghindarinya.

“Pernah yang sampai menimbulkan luka fisik, sering sih kalau yang sampai luka berdarah begitu. Sering kena kepala ini, tapi enggak ada tanggung jawab. Ditinggal aja, kan tidak ada pakai tutup kepala. Gak ada yang datang dan minta maaf. Kalau ada kasus gitu-gitu, mau lapor lapor ke mana?” cerita Yuni dengan ekspresi wajah kecewa dan tampak marah.

Kasus lain yang pernah Risma lihat adalah peristiwa rekannya yang mangkal hingga menjelang pagi mendapat ancaman dan amarah. Padahal, menurut penuturannya, lokasi mangkal dan rumah warga tidak terlalu berdekatan. Rekannya mendapatkan lontaran kata-kata dengan ancaman “Jangan mangkal di sini mbak, tak tembak nanti kamu!” kata Risma sembari mengingat ketakutan yang dialami rekannya.

Sebagai ketua, Risma kerap dipanggil oleh pihak berwajib karena kasus yang dialami rekannya. Beberapa kasus terjadi karena pertengkaran sesama transpuan, dan antara masyarakat tertentu. Respon yang didapatkan justru mengarah pada tindakan diskriminatif, meskipun disertai oleh nasihat. Banyak kasus yang berakhir damai, sehingga Risma sendiri tidak ingin memperpanjang kasus.

“Di kantor polisi kejadiannya. Kayak 'kalian ini pendatang, tolong yang solid, memangnya kalian mau saya ciduk?'. Ada lagi kejadian dinasihati 'kalian ini lho udah laki-laki tapi dandan perempuan, udah di sini kalian sama-sama pendatang, sama-sama nyari makan. Coba kalau aku jahat udah aku ciduk kalian semua. Kalian pikir aku gak bisa nyiduk kalian? Janganlah kalian macam-macam, janganlah kalian bikin ribut-ribut, polisi aja kamu lawan',” kata Risma menirukan ucapan polisi.

Selain diskriminasi, transpuan yang bekerja di dunia prostitusi rentan menjadi korban kekerasan seksual. Pada dasarnya jenis kekerasan seksual banyak, beberapa terjadi karena adanya ketimpangan kuasa. Tidak sedikit klien merasa ketika membayar, dia telah membeli dan berhak atas diri transpuan tersebut. Kejadian serupa pernah dilihat oleh Pegiat Gender, Angel, selama mendampingi transpuan korban kekerasan seksual.

“Tahun 2021, saya dikabarkan oleh seorang rekan bahwa ada transpuan yang mengalami kekerasan seksual dan butuh bantuan pendampingan. Pekerjaannya kala itu sebagai penampil (menyanyi menari impersonate) di beberapa bar di Bali. Sebelumnya dia juga sempat bekerja sebagai pekerja seks dengan sistem open booking,” ujarnya.

“Semasa pandemi, dia kembali menjadi pekerja seks karena bar dan tempat hiburan ditutup. Pascamengalami kekerasan seksual, Wini (bukan nama sebenarnya) tidak mau melakukan visum, apalagi melaporkan kejadian itu. Menurutnya, aparat kepolisian tidak akan menanggapi dan menangani laporannya, karena dia seorang transpuan dan pekerja seks,” kenang Angel saat mengingat pengalaman advokasi yang dilakukannya.

Writer

Desimawaty Hutabarat

Mahasiswa Ilmu Politik Biasa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya