Derita dan Minimnya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bali

Segera sahkan RUU PPRT

“Dia [majikan] bilang goblok kamu ya. Dia sering bilang begitu dengan suara tajam dan keras hingga urat-urat di lehernya kelihatan,” ujar Rara di Kota Denpasar, 13 April 2023.

Denpasar, IDN Times - Rara, bukan nama sebenarnya, merupakan satu di antara pekerja rumah tangga yang kerap mengalami kekerasan verbal dari majikannya yang menghuni perumahan elit di Kota Denpasar. Bosnya, turis asing asal Asia Selatan, itu seringkali mengomel, marah-marah, dan mencari kesalahan Rara.

Dia mencontohkan saat mencuci tomat dan menaruh sayur ke dalam baskom berisi air, majikannya tiba-tiba marah. Majikan perempuan itu melemparkan tomat ke baskom.

Tahun 2020, Rara merantau dari Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Provinsi Bali untuk mencari penghidupan yang layak. Sebagai tulang punggung keluarga dan karena tekanan ekonomi, Rara mencari lowongan kerja PRT di Facebook.

Saat memasuki tahap wawancara, majikan menjelaskan tugas Rara sebagai asisten koki di dapur. Tanpa pembekalan dan pelatihan pra-kerja, perempuan berusia 24 tahun itu bersedia menerima pekerjaan tersebut. Begitu sudah bekerja, Rara menilai pernyataan majikannya di awal sangat berbeda. Ia dipekerjakan tak sesuai dengan perjanjian kerja.

“Saat interview itu, [majikan] bilang cuma bantu saja, awasi dapur. Saya langsung tertarik. Saat masuk kerja, semua koki dipecat, salah sedikit dipecat. Jadi akhirnya saya sendiri harus belajar banyak, bahkan dari piring saja. Piring makan itu beda-beda, belum lagi yang masak-masak,” ungkapnya.

Rara kerap menangis setiap menerima perlakuan semena-mena majikan. Majikannya terus melakukan kekerasan verbal. Ia pernah dimaki-maki tuan rumah lantaran bosnya menganggap dia keliru membuat teh. Padahal, ia sudah mengikuti resep teh yang dibuat majikannya.

“Contoh kecil, dia [majikan] kan pagi harus minum teh yang dibuat dari rempah-rempah. Nah, saya sudah ikutin contoh, bahkan cara dia yang sudah ajar itu, saya sudah tulis di buku, dan saya sudah ikutin semua. Tapi, kata dia kelebihan rempah,” kata perempuan lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu.

Sebagai buruh rumah tangga, waktu kerja Rara jauh lebih panjang dari jam kerja normal. Ia bekerja selama 16 jam per hari dari pukul 06.00 pagi hingga 22.30 Wita. Rara cukup kesulitan mencari waktu istirahat karena selalu dipantau oleh majikan melalui closed circuit television (CCTV). Bahkan untuk ke kamar mandi saja, ia harus izin ke majikan. Dalam satu minggu, ia wajib full bekerja setiap hari tanpa cuti libur.

Semula Rara masuk kerja pukul 05.30 Wita, mengurus anak majikannya, dan kerap tidak sempat sarapan. Dia bekerja hingga pukul 22.30 Wita, dan tidak mendapatkan waktu istirahat. Bosnya hanya memberikan waktu 15 menit untuk makan.

Karena waktu istirahat yang sangat pendek dalam jangka waktu 16 jam kerja, Rara bahkan harus ke gudang hanya untuk sekadar memakan biskuit dan minum kopi. Duduk sebentar untuk mengumpulkan kembali tenaga setelah seharian bekerja.

Satu hal yang paling membuat Rara semakin tertekan di rumah turis tersebut adalah ia tidak pernah diizinkan keluar rumah selama 10 bulan bekerja. Pandemi COVID-19 menjadi alasan majikannya tidak memberikan cuti libur dan melarang Rara menemui keluarganya.

“Satu kali saja, itu pun baru awal masuk, masih baik-baik. Saya dikasih izin keluar ketemu kakak di jalan raya sekalian saya mau pilih peralatan mandi gitu. Keluar ke depan rumah aja enggak boleh. Paling saya ke depan pagar beli sayur. Selama sepuluh bulan sudah tidak lagi [mendapatkan cuti] sampai saya keluar,” jelasnya.

Upah yang diterima Rara di bawah standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Denpasar tahun 2020 yakni sebesar Rp2.770.260. Ia diupah Rp2.500.000 per bulan tanpa pesangon. Suatu hari upah Rara pernah dipotong Rp500.000 karena majikannya menuduh dia salah merendam kacang merah.

Rara mencampur air panas dan air dingin untuk merendam kacang merah. Pada hari itu jadwal Rara untuk mendapatkan upah. Pada pukul 21.00 Wita, majikan mendatanginya di dapur dan melihat rendaman kacang. Selang 30 menit kemudian, dia mengambil Rp500.000 upah dia sebagai potongan.

Pada saat sakit, Rara juga tidak mendapatkan waktu pemulihan yang maksimal. Majikan hanya memberi waktu istirahat hanya setengah hari, dan esoknya Rara wajib kembali bekerja.

Enggak pernah kecuali saya sakit kayak demam. Itu pun saya tidak bisa bergerak, baru saya tidak masuk. Tapi biasanya saya bangun, lap muka, masuk dapur, dan tunggu miss bangun. Baru setelah itu, saya kasih tahu kalau sakit. Tapi kalau sakit biasa tetap harus masuk memakai masker. Selesai mereka sarapan, saya boleh istirahat, mereka kasih obat. Saya dikasih istirahat tapi tidak full sehari. Besoknya itu sudah pasti harus kerja,” katanya.

Walaupun Rara rentan mengalami pelanggaran hak-haknya sebagai buruh rumah tangga, bahkan tidak mendapatkan keadilan selama bekerja, ia tidak pernah berniat melaporkan apa yang dialaminya ke aparat penegak hukum. Menurutnya, berurusan dengan polisi itu ribet.

Ia berharap negara dapat memberikan payung hukum untuk melindungi para PRT. Menurutnya, dengan adanya regulasi yang menjamin kesejahteraan buruh rumah tangga, maka PRT tidak akan diremehkan lagi khususnya oleh majikan.

“Harapannya pemerintah berusaha untuk mengeluarkan peraturan untuk semua majikan agar tidak semena-mena dan tidak meremehkan pekerja rumah tangga,” kata Rara.

PRT rentan dibebani kerja ganda namun upah di bawah UMK

Derita dan Minimnya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bali(Dokumentasi pribadi/Vina)

Kisah Rara bukan satu-satunya. Pekerja lainnya, Vina, bukan nama sebenarnya juga mengalami ketidakadilan serupa. Tahun 2020, ia merantau ke Bali dari NTT untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarga. Naasnya, ia dihadapkan pada musibah, anak Vina diculik oleh bapak biologisnya.

Setahun setelah berjuang mencari anaknya ke beberapa daerah dan berhasil bertemu sang anak, ia kembali ke Bali. Untuk menghidupi keluarga kecilnya, ia mencari lowongan kerja PRT di Facebook. Ia bekerja dengan tuan rumah yang memiliki bisnis pabrik daging, usaha salon, dan restoran di Denpasar.

Sebagai PRT, Vina tidak memiliki batas durasi kerja yang pasti. Waktu kerja disesuaikan dengan kemauan majikan. Vina bekerja 9 atau 10 jam penuh dalam satu hari, mengikuti waktu kerja majikan.

“Kerja sejak pagi sekitar jam 09.00 hingga 18.00. Kadangkala hingga pukul  19.00, tergantung majikan karena kebanyakan kerjanya di salon. Kalau banyak customer, biasanya agak lama,” tuturnya.

Dalam seminggu, ia bekerja selama 6 hari dengan cuti libur satu hari di setiap akhir pekan. Waktu libur itu ia gunakan untuk beribadah di gereja. Perempuan berusia 34 tahun ini tak hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia juga harus bekerja di  salon majikannya.

“Kadang bantu di salon, misalnya butuh bantu catok. Di rumah, mengurus  anak-anak mereka,” kata Vina.

Vina juga memperoleh upah yang tidak layak karena tidak sesuai standar UMK. Upahnya hanya Rp1.800.000. Dia juga tak pernah menerima komisi.

Di luar pekerjaannya, dia kerap menerima ucapan yang rasis. Orang-orang yang bertemu dengannya merasa heran mengapa perempuan Timur memiliki kulit putih dan rambut lurus padahal justru sebaliknya. Hal itu membuat Vina tidak nyaman dan merasa kesal.

“Sering diolok sebagai orang Sumba. Orang bilang, ih kulitnya kok nggak item (hitam). Ngejek-ngejek gitu. Saya jadi kesal,” kata dia.

Upah rendah dan minim komisi menjadi alasan Vina memutuskan berhenti bekerja. Saat ini, Vina bekerja di Kabupaten Tabanan dengan majikan yang baru. Berbeda dengan sebelumnya, ia saat ini tinggal di dalam rumah bersama majikan. Dia bekerja pada pukul 08.00 hingga 16.00 Wita.

Ia berharap pemerintah bisa memberikan jaminan perlindungan kepada PRT untuk memastikan kesejahteraan buruh. Vina menjadi tulang punggung keluarga karena harus mengurus anak. Dia tumbuh dalam keluarga yang bekerja sebagai petani.

PRT membutuhkan pengakuan kerja dan perlindungan hukum negara

Derita dan Minimnya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bali(Dokumentasi pribadi/Vina)

Menurut I Putu Rasmadi Arsha Putra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud), PRT dapat dikategorikan sebagai tenaga kerja mengingat terdapat hubungan antara pemberi dan penerima kerja. Namun, sesuai UU Ketenagakerjaan, pekerja rumah tangga diklasifikasikan sebagai pekerja informal. Ada pun, aturan tersebut hanya mengatur tenaga kerja di sektor formal seperti perusahaan atau industri. Dampaknya PRT luput dari peraturan yang menjamin hak-haknya.

“Nah, karena itulah yang menyebabkan pekerja rumah tangga sering tidak mendapatkan hak-hak mereka, misalnya pengupahan, tunjangan, asuransi, dan lain-lain,” tegas Rasmadi saat dihubungi secara daring melalui panggilan video WhatssApp, pada Selasa (23/5/2023).

Selain belum diakui sebagai tenaga kerja, PRT yang mayoritas perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis gender. Ahli Hukum Administrasi Negara itu menyebutkan, penegak hukum mengalami kesulitan saat menindaklanjuti kasus pelanggaran hak-hak PRT karena tidak ada landasan hukum yang jelas. Implikasinya adalah kepastian hukum bagi PRT menjadi sulit.

“Jika nanti kasusnya meningkat ke proses penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan harus mengacu pada aturan yang mana? Situasi ini juga membuat para PRT yang menuntut keadilan cukup sulit sehingga PRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan,” jelasnya.

Rasmadi berharap pemerintah mempercepat pengesahan RUU PPRT. Aturan itu memberikan jaminan kepastian hak-hak PRT dan kewajiban pemberi kerja. Payung hukum itu melindungi PRT bila mengalami kekerasan atau kejahatan lainnya.

Ia juga menilai undang-undang tersebut perlu memuat aturan buruh migran yang bekerja sebagai PRT di luar negeri. Keberadaan mereka penting karena menyumbang pajak devisa. Mereka berhak mendapatkan umpan balik dari negara. 

Celakanya, dalam pengamatan Rasmadi, sejauh ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali belum punya langkah serius untuk memberikan perlindungan kepada PRT.

Kepala Bidang Bina Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Bali, Meirita, menyebutkan Disnaker Bali tidak mengawasi PRT karena hanya menangani pekerja dalam kategori penerima upah. Pekerja yang dimaksud statusnya berbadan hukum. Ada pun, PRT belum diatur dalam hukum negara.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Ufiya Amirah Photo Community Writer Ufiya Amirah

Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Udayana

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya