TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jelang Pilkada, Dewa Palguna Singgung Siluman Pemilu di Indonesia

Iya juga sih. Kalau menurutmu gimana?

Ilustrasi pilkada. IDN Times/Reza Iqbal

Denpasar, IDN Times – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 23 September 2020 mendatang mendapat tanggapan dari Mantan Hakim Konstitusi MK (Mahkamah Konstitusi), Dr I Dewa Gede Palguna. Hal tersebut ia sampaikan di hari pertamanya kembali masuk ke kampus Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud), Selasa (14/1) kemarin. Ia menyebut, masih banyak siluman dalam dunia perpolitikan Indonesia.

“Kalau di MK itu kan sudah jelas kewenangannya adalah tentang hasil pemilu. Tapi orang coba-coba saja di situ. Kalau mau melihat hantu, datang saja saat kegiatan pemilu. Banyak siluman di situ. Ada pemilih siluman, suara siluman TPS (Tempat Pemungutan Suara). Banyak-banyak siluman, melebihi cerita-cerita film Cina itu. Tapi tidak ada kakak kedua, kakak pertama,” sentilnya.

Berikut penjelasan terkait maksud siluman di atas:

1. Siluman ini ada karena budaya politik

(IDN Times/Arief Rahmat)

Dewa Palguna menilai, penyebab sulitnya siluman tersebut hilang karena ini persoalan budaya politik, yang juga merupakan persoalan kedewasaan dari partai-partai politik di Indonesia.

2. Proses rekrutmen politik dipertanyakan. Partai politik tidak memakai prinsip meretrokasi dalam perekrutan

(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Dewa Palguna justru mempertanyakan tentang pelaksanaan fungsi politik di Indonesia. Terutama dalam hal fungsi rekrutmen politik. Menurutnya, partai politik di Indonesia tidak ada prinsip meritrokasi dalam proses perekrutan.

Sekadar diketahui, meritrokasi artinya sistem yang memberikan kesempatan seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan lainnya.

“Sudah melaksanakan fungsi politiknya dengan baik apa belum? Itu yang terjadi. Khususnya fungsi rekrutmen politik. Kalau sudah tahu orang buruk, masak yang begitu yang direkrut yang dicalonkan jadi ini. Artinya kan tidak ada prinsip meritokrasi dalam proses rekrutmen politik di partai-partai politik itu. Dari sekian juta orang, masak orang yang segitu buruknya yang dicalonkan. Masak nggak ada sih yang lebih baik?” ulasnya.

3. Banyak calon yang dipilih karena faktor kedekatan saja

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Dewa Palguna menyampaikan, banyak para calon yang diajukan oleh partai politik, dipilih berdasarkan faktor kedekatan saja.

Calon terbaik, menurut Dewa Palguna, seharusnya berdasarkan penilaian masyarakat yang integritas dan kompetensinya ada. Namun sejauh ini, bukan calon-calon seperti itu yang dipilih oleh partai politik.

“Faktor kedekatan saja. Makanya saya bilang ada faktor Oligarki partai di situ. Bukan karena hasil survei, orang ini memang yang terbaik menurut publik. Gitu kan,” jelasnya.

Berita Terkini Lainnya