TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kebijakan Berubah-ubah, Beginilah Keluh Kesah Pedagang Arak di Bali

Para petani arak ikut menjerit karena sepinya pembeli

Ilustrasi arak Bali. (IDNTimes/Wayan Antara)

Denpasar, IDN Times - Empat provinsi di Indonesia sempat menjadi prioritas untuk investasi minuman keras (miras) yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia, sebelum akhirnya dibatalkan pada Selasa (2/3/2021). Daerah tersebut di antaranya Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Pemerintah Indonesia memutuskan mencabut Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan miras.

Di tengah kebijakan yang berubah-ubah tersebut, pengusaha arak sudah dihadapkan dengan kondisi sulitnya menjual arak, terhitung sejak awal pandemik COVID-19. Sebagaimana yang dialami oleh seorang pedagang arak asal Kota Denpasar, I Wayan Budi Arsana (51). Berikut ini wawancara IDN Times dengan pedagang tersebut.

Baca Juga: [BREAKING] Jokowi Resmi Cabut Lampiran Perpres Investasi Miras

Baca Juga: Investasi Miras Disebut Bisa Genjot Sektor Pariwisata, Benarkah?

1. Penjualan arak sebelum pandemik mencapai 30 liter per hari

Ilustrasi perajin arak Bali. (IDN Times/Wayan Antara)

Menurut keterangan Arsana (51) asal Sanur, sebelum pandemik COVID-19, dalam satu hari ia mampu menjual 30 liter arak asli Karangasem. Arak tersebut ia ambil dari kelompok taninya di Kabupaten Karangasem.

“Lumayan sih, satu jerigen itu habis satu hari. 30 liter lah,” ungkapnya.

Arak Bali bagi masyarakat Bali telah turun temurun dari nenek moyang. Diakui Arsana, minum arak sudah menjadi tradisi yang biasanya dikonsumsi usai pulang kerja. Tujuannya, agar kualitas tidur lebih bagus dan esok harinya kembali bisa giat bekerja.

2. Penjualan arak selama pandemik lesu

Ilustrasi perajin arak Bali. (IDN Times/Wayan Antara)

Sejak wabah COVID-19 masuk ke Indonesia dan menyebabkan tutupnya hotel dan restoran, Arsana merasakan penjualan semakin menurun. Per harinya hanya bisa menjual dua sampai tiga liter saja. Apalagi ditambah ketatnya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat ini, sehingga mengurangi mobilitas masyarakat.

“Penjualan lagi lesu, langganan saya pada pulkam. Apalagi ada PPKM tambah berkurang, petani saya di sana pada menjerit juga. Akibat daya beli masyarakat pada menurun,” ungkapnya.

Selama pandemik ini para pekerja banyak yang dirumahkan dan memilih pulang kampung. Sebagai imbas dari minimnya pendapatan para pembeli, daya beli minuman arak pun jadi semakin menurun.

3. Arak Bali bukan sekadar minuman lalalele

Sentra pembuatan arak di Bali. (IDNTimes/Wayan Antara)

Arsana mengungkapkan bahwa arak Bali adalah minuman yang sudah ada sejak nenek moyang dan dikonsumsi bukan hanya sekedar untuk mabuk atau disebutnya Lalalele (bahas Bali). Ia mencontohkan, saat pandemik ini, meskipun banyak kebijakan yang membatasi namun arak tidak digunakan untuk menghilangkan kejenuhan dengan mabuk-mabukkan.

“Walaupun mereka dalam keadaan bingung dengan keadaan sekarang, ini mereka ndak menjadikan minuman keras itu untuk menghilangkan rasa jenuhnya mereka gitu. Kenyataannya di tempat saya kan seperti itu,” ungkapnya.

4. Kebijakan investasi miras bisa berdampak kepada keaslian arak

(Ilustrasi Arak Bali) IDN Times/Imam Rosidin

Menyikapi kebijakan pemerintah saat ini, baik dari Pemerintah Provinsi Bali maupun dari Pemerintah Pusat, ia mengaku sebenarnya senang dengan adanya kebijakan terkait arak. Terlebih lagi kebijakan yang baru saja dibatalkan tersebut. Meskipun begitu, ia mengaku kondisi saat ini sangat sulit untuk berjualan.

“Kami kan menyambut baik. Karena tradisi kami dari dulu ya seperti itu,” jelasnya.

Di sisi lain, ia juga mengaku khawatir terkait dengan kebijakan investasi tersebut. Apabila diterapkan, justru berdampak kepada keaslian arak. Namun menurutnya, melihat tata kelola produksi arak Bali yang ada saat ini dengan membentuk kelompok petani arak, proses produksinya bisa diawasi.

“Kami itu takutnya ya gimana ya. Yang namanya arak itu bahannya dari tuak. Bukan dari yang lain. Kadang-kadang sekarang ini investasi ini kok bisa dari inilah dari itulah dijadiin arak. Namanya juga arak. Arak ya arak, bukannya sulingan dari tebu. Sulingan dari apa itu,” tegasnya.

Berita Terkini Lainnya