TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Belajar Hukum: Boleh Gak Sih Melawan Pencuri yang Menyerang Kita? 

Berkaca dari anak mencuri dan bunuh teller bank di Bali

Olah TKP pembunuhan pegawai Bank di Denpasar (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Denpasar, IDN Times – Pulau Bali pernah dihebohkan oleh kasus pembunuhan seorang teller bank berinisial NPW (25) di Kota Denpasar, pada 28 Desember 2020. Pelakunya adalah seorang remaja berusia 14 tahun berinisial Putu AHP.

Ia divonis tujuh tahun enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (28/1/2021) lalu. Dalam persidangan, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hari Supriyanto, menyatakan bahwa terdakwa secara sah melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Yaitu pencurian yang mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

"Menjatuhkan pidana penjara selama tujuh tahun enam bulan kepada terdakwa," ucap Majelis Hakim, dalam sidang putusan yang berlangsung virtual beberapa hari lalu.

Kalau dilihat dari kasus ini, muncul banyak pertanyaan. Pertama, apa yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan kejahatan? Kedua, bagaimana peran orangtua jika anaknya yang masih di bawah umur sedang melakukan permasalahan? Ketiga, apa yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat ketika ada pencuri masuk ke dalam rumah?

Sekadar diketahui, orangtua Putu AHP juga diusir oleh masyarakat setempat. Terpidana adalah seorang buruh bangunan. Ia tinggal di kos-kosan kawasan Denpasar yang tak jauh dari Tempat Kejadian Perkara (TKP). Putu tinggal di kos tersebut bersama ayah kandung, ibu tiri, dan tiga adik tiri.

Baca Juga: Pelaku Pembunuhan Pegawai Bank di Denpasar Ditangkap, Masih 14 Tahun

1. Vonis terpidana sesuai tuntutan JPU

Pelaku pencurian dan pembunuhan pegawai bank pada saat dihadirkan di hadapan media. (Dok.IDN Times/Polresta Denpasar)

Vonis hukuman penjara selama tujuh tahun enam bulan terhadap Putu AHP sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ni Putu Widyaningsih. Dilansir dari Antaranews.com, Humas Pengadilan Negeri Denpasar, I Made Pasek, menyampaikan vonis terdakwa conform yang berarti sama dengan tuntutan.

“Tidak ada pengurangan maupun penambahan,” ujarnya.

Setiap sidang online tersebut digelar, terpidana selalu didampingi oleh orangtua, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Denpasar, dan pihak terkait lainnya.

2. Hal yang memberatkan dan meringankan hukuman terpidana:

Ilustrasi palu hakim (IDN Times/Sukma Shakti)

Hal-hal yang memberatkan hukuman terpidana di antaranya perbuatan yang dilakukannya menarik perhatian masyarakat, menyebabkan korbannya hilang nyawa dan harta benda. Sementara hal yang meringankan adalah terpidana bersikap sopan selama mengikuti persidangan.

3. Pembunuhan terjadi pada saat terpidana kepergok mencuri

IDN Times/Sukma Shakti

Dalam persidangan, terungkap bahwa terpidana menyelipkan pisau di pinggangnya ketika menuju ke rumah korban. Ia masuk ke dalam rumah dengan memanjat pagar tembok di sisi sebelah timur setinggi lebih dua meter. Saat itu, pintu depan rumah korban juga tidak terkunci.

Aksi pencurian itu kemudian diketahui oleh korban. Terpidana sedang berada di lantai bawah dan mencari barang-barang berharga. Korban selanjutnya naik ke lantai dua, dan dibuntuti oleh terpidana.

Korban berteriak "Maling" sebanyak lima kali. Terpidana mendorong korban ke belakang hingga jatuh ke atas kasur. Terdakwa membekap mulutnya menggunakan tangan kiri. Ketika korban berusaha melepas bekapan, terpidana mengambil pisau yang sudah disiapkan dan menusukkannya ke arah korban. Korban meninggal dunia di lokasi kejadian.

4. Tidak perlu mengatakan "Jangan buat orangtua malu" kepada anak yang bermasalah

Diskusi kasus Putu AHP di Kantor Forkomwil Puspa Provinsi Bali, Jumat (7/1/2021) lalu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Seperti diketahui, masyarakat menghakimi orangtua Putu AHP dengan mengusirnya dari kosan-kosan. Ketua Divisi Psikiatri Forensik Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana (Unud) sekaligus Spesialis Kejiwaan Rumah Sakit umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, dokter Lely Setyawati Kurniawan SpKj, menyayangkan sikap itu. Tidak adil apabila masyarakat mengusir orangtuanya. Mereka memiliki hak adat dan lainnya. Kalau diusir, mereka harus bagaimana dan ke mana.

"Padahal keluarga dalam hal ini juga stres. Mungkin sudah dari sekian tahun keluarga capek. Mungkin anak ini juga bermasalah. Keluarga yang menanggung. Sebagai preventif ke depan, kita tidak ingin ada lagi hal ini terjadi," ungkap Lely ketika diskusi di Kantor Forkomwil Puspa Provinsi Bali, Jumat (7/1/2021) lalu.

Ketika tahu bahwa anaknya sedang bermasalah, orangtua tidak perlu mengatakan "Jangan buat orangtua malu." Sebab anak tidak tahu bagaimana rasanya menjadi orangtua. Jadi, sebagai upaya preventif dalam kasus anak yang melakukan pelanggaran atau bermasalah, orangtua tidak perlu segan untuk membawanya ke tempat layanan anak.

"Seperti P2TP2A. Jadi masyarakat jangan alergi dengan hal yang berbau kejiwaan, untuk mengetahui apa yang akan terjadi dan terapi apa yang akan diberikan."

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC), Ni Nengah Budawati, menyatakan orangtua juga perlu lebih cepat mendeteksi anaknya, apakah bermasalah atau tidak. Segeralah untuk konsultasi ke psikolog, psikiater atau pihak terkait jika diperlukan.

"Bila anak konsultasi, itu bukan berarti anak gila," ujarnya.

5. Perekonomian juga bisa memicu seseorang untuk melakukan kejahatan. Apalagi jika ia adalah tulang punggung keluarganya

Diskusi kasus Putu AHP di Kantor Forkomwil Puspa Provinsi Bali, Jumat (7/1/2021) lalu. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Banyak hal yang dapat memicu seorang anak di bawah umur melakukan kejahatan. Mulai dari pola asuh, tidak mendapat kasih sayang yang cukup, pendidikan rendah, pergaulan, hingga gaya hidup. Berkaca dari kasus ini, Putu AHP adalah seorang buruh bangunan. Ia menjadi tulang punggung keluarganya. Putu AHP juga ikut menanggung beban tersebut sehingga turut bekerja keras untuk menghidupi keluarga.

"Nah, secara ekonomi berarti sudah parah. Seharusnya anak seusia seperti ini bisa belajar dengan baik. Kalau dengan adanya kejadian seperti ini, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan si anak. Jangan sampai ada lagi anak yang mengalami seperti ini. Pengawasan lingkungan itu menjadi sangat penting," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) sekaligus advokat, Ni Putu Eka Susilawati SH.

Putu AHP juga akan menghabiskan usia produktifnya di dalam penjara selama tujuh tahun enam bulan. Usianya yang kini 14 tahun, ketika bebas nanti akan berusia sekitar 21 tahunan. Eka menyoroti bagaimana nasibnya ketika ia bebas. Khawatir akan mendapatkan pergaulan dan ilmu selama di dalam penjara. Sehingga memerlukan pendampingan yang kontinyu agar anak tersebut memiliki masa depan.

"Begitu juga dengan orangtua korban. Bagaimana trauma kehilangan anak. Itu juga perlu pendampingan. Yang bisa dilakukan adalah pencegahan, jangan sampai terjadi lagi hal seperti ini. Pencegahan ini bisa dengan lebih aware dengan lingkungan di sekeliling," lanjut Eka.

Ketua Forkomwil Puspa Provinsi Bali, Tjok Istri Putri Hariyani Sukawati, yang juga hadir dalam diskusi itu menekankan bahwa betapa pentingnya masyarakat untuk lebih mengetahui kondisi di lingkungan sekitar. Sehingga peristiwa seperti itu ke depannya bisa dicegah sedini mungkin.

"Begitu pula untuk area kos-kosan. Pemilik harus tahu dan melakukan pendataan dengan benar, termasuk latar belakang mereka yang tinggal di sana," tegasnya.

Berita Terkini Lainnya