TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bali Bersama Bisa Luncurkan LISA Layanan 24 Jam Pencegahan Bunuh Diri 

Bersama-sama kita saling support yuk

LISA (IDNTimes/Ayu Afria)

Tabanan, IDN Times - Belum lama ini, tepatnya pada Minggu (28/3/2021), Bali Bersama Bisa mengenalkan program LISA Helpline di Desa Pangkung Tibah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. LISA merupakan singkatan dari Love Inside Suicide Awareness dan program ini didedikasikan untuk menghentikan keinginan seseorang bunuh diri. Layanan pencegahan bunuh diri dan kesehatan mental pertama di Bali ini telah dimulai pada Selasa (6/4/2021).

Pemilihan nama LISA terinspirasi dari partner Bali Bersama Bisa, seorang expatriate yang lari ke Bali dan meninggal karena bunuh diri. Bali Bersama Bisa beranggotakan 10 plus satu Non Government Organization (NGO) yang bergerak dalam isu-isu kesehatan mental dan orang-orang terpinggirkan.

Ketua Yayasan Bali Bersama Bisa, Wayan Eka Sunya Antara, menyampaikan dengan hadirnya LISA, diharapkan dapat menolong dan mengedukasi masyarakat Indonesia dan di Bali khususnya, yang masih tabu dengan kesehatan jiwa.

“Biasanya masyarakat kita terhenti untuk meminta bantuan karena terhalang rasa malu tersebut. Dengan adanya LISA, diharapkan masyarakat lebih paham dan bisa saling menolong satu sama lain,” jelasnya.

Baca Juga: Mengenal Komunitas Bipolar Bali, ODB Kamu Tidak Sendirian   

1. Kesehatan mental adalah sesuatu yang kronis

Pixabay.com/Wokandapix

Psikiater di Klinik Utama Sudirman Medical Center (SMC) Denpasar, dokter kesehatan jiwa dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, mengatakan pelayanan kesehatan jiwa ini untuk siapa saja dan dalam kondisi apapun.

"Semua berhak mendapatkan kesehatan mental. Apalagi di masa pandemik ini, data dari WHO mengatakan 93 persen sebenarnya mental health services ya. Layanan kesehatan jiwa di dunia itu shutdown," ungkap dr. Rai yang juga Founder Rumah Berdaya dan pegiat kesehatan jiwa di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Bali. 

Rumah sakit umum yang melayani kesehatan mental saat pandemik ini sepi. Di tempat praktiknya, di Rumah Sakit Wangaya yang biasanya melayani sekitar 24 orang, saat pandemik ini hanya 5 sampai 6 orang per harinya.

"Artinya kan kesehatan mental itu sesuatu yang kronis. Tidak tiba-tiba kemudian orang sembuh. Maka peluang yang paling terjadi adalah putus pengobatan," ungkapnya.

Kondisi ini juga dirasakan oleh orang-orang asing yang saat ini masih ada di Bali. Mereka tidak bisa kembali ke negaranya dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas.

"Berapa kali kami sudah mendampingi. Ya dari Bali Bersama Bisa mendampingi beberapa kasus yang ada, tiga orang expatriate yang mau bunuh diri. Jadi mengalami mental depresi tidak punya biaya. Tidak ada yang membantu, mau gimana?" ungkapnya.

Nah, dalam kondisi itulah, ia ungkapkan, LISA bisa membantu orang yang berkeinginan bunuh diri. Ada sebanyak 35 orang support body atau volunteer yang akan melayani, baik orang lokal maupun expatriate.

"Jadi layanan ini bilingual. Ketika ada seperti itu, minimal kami datangi. Kami assessment. Apa yang dibutuhkan," ungkapnya.

2. Angka bunuh diri terbesar dilakukan saat yang bersangkutan mengalami gangguan tidur

unsplash.com/joshrh19

Angka kasus sebelum pandemik, 6 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional. Tetapi hanya 9 persen dari total itu yang mendapatkan penanganan. Banyak orang yang tidak bekerja dan produktivitasnya buruk, seharusnya mendapatkan penanganan.

"Artinya remaja, katakanlah gangguan cemas dan gangguan depresi untuk usia di atas 18 tahun itu 6 persen," jelasnya.

Beberapa gejala depresi yang biasanya timbul, di antaranya hilang minat dan kegembiraan, energi yang menurun sehingga cepat lelah dan mudah larut dalam kesedihan. Ditambah yang lainnya, misalkan merasa masa depan suram, perubahan pola makan, dan gangguan tidur. Angka bunuh diri terbesar dilakukan saat yang bersangkutan mengalami gangguan tidur. 

Berita Terkini Lainnya