Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Kamu Takut Ditinggal Orang Lain, Harus Gimana?

ilustrasi ketakutan (pixabay.com/ambermb)
ilustrasi ketakutan (pixabay.com/ambermb)

Pernah gak sih kamu merasa panik cuma karena orang yang kamu sayang lama gak balas chat, atau tiba-tiba kelihatan beda? Rasanya kayak ada yang nyangkut di dada, bikin gelisah, dan pikiran jadi ke mana-mana. Nah, perasaan itu ternyata wajar banget dan lebih sering terjadi dari yang kita kira. Takut ditinggalin bukan cuma masalah sepele, itu bisa menyeret kamu ke dalam kebiasaan yang bikin capek secara emosional.

Tapi kabar baiknya, rasa takut ini bisa dipahami dan dikelola. Di artikel ini, kita bahas satu-satu alasan kenapa kamu bisa takut banget kehilangan seseorang, gimana dampaknya ke hidupmu, dan yang paling penting, cara menghadapi rasa itu dengan lebih sehat. Yuk simak, dilansir dari berbagai sumber!

1. Luka dari pola asuh waktu kecil

ilustrasi diskusi keluarga (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi diskusi keluarga (pexels.com/cottonbro studio)

Hubungan pertama kita dengan orangtua atau pengasuh waktu kecil sebenarnya punya pengaruh besar terhadap cara kita menjalin hubungan saat dewasa. Kalau dulu kamu punya pengalaman diasuh oleh orang yang mood-nya berubah-ubah, kadang hangat, kadang dingin, kamu bisa tumbuh jadi seseorang yang cemas dalam hubungan. Pikiranmu otomatis jadi waspada, selalu takut orang akan pergi tiba-tiba. Dan itu bukan salah kamu. Otak kita terbentuk berdasarkan pengalaman awal, termasuk soal rasa aman dan cinta. Kalau yang kamu alami dulu adalah ketidakpastian, maka kamu bakal tumbuh dengan pola pikir bahwa hubungan selalu penuh risiko ditinggalin.

Perasaan ini sering kali gak disadari, tapi bisa muncul dalam bentuk kecemasan berlebihan, takut ditolak, atau jadi terlalu bergantung sama orang lain. Bahkan dalam situasi biasa, kayak teman gak bales pesan atau pasangan yang lagi sibuk, bisa bikin kamu merasa kayak ada bahaya besar. Jadi, wajar kalau kamu merasa takut ditinggal, itu respons yang terbentuk dari masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.

2. Pernah kehilangan atau mengalami trauma emosional

ilustrasi trauma (pexels.com/RDNE Stock Project)
ilustrasi trauma (pexels.com/RDNE Stock Project)

Kehilangan orang yang kamu sayang, entah karena perceraian, meninggal dunia, atau putus cinta, bisa bikin luka dalam yang efeknya terasa sampai bertahun-tahun kemudian. Trauma seperti ini bikin otak kamu ‘belajar’ bahwa kehilangan itu menyakitkan banget, dan karena itu kamu mulai merasa was-was setiap kali merasa dekat sama seseorang. Setiap hubungan baru bisa jadi pemicu rasa takut yang lama, apalagi kalau kamu belum pernah benar-benar memproses perasaan sedih atau marah yang muncul dari kehilangan tersebut.

Banyak orang gak sadar kalau luka emosional yang belum sembuh bisa muncul dalam bentuk rasa cemas berlebihan, susah percaya sama orang lain, atau jadi gampang curiga. Kadang bahkan kamu bisa merasa gak layak untuk dicintai, dan itu bikin kamu bertahan dalam hubungan yang gak sehat karena takut lebih sakit kalau harus ditinggal. Trauma ini bisa datang dari satu momen besar atau dari banyak kejadian kecil yang terakumulasi. Yang pasti, rasa takut ditinggal itu tumbuh subur di tanah yang penuh luka lama yang belum benar-benar kamu sembuhkan.

3. Pola hubungan yang gak aman di masa dewasa

ilustrasi huhungan toksik (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)
ilustrasi huhungan toksik (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Kalau kamu sering merasa gak tenang dalam hubungan, terus-menerus butuh kepastian, atau malah suka menjauh duluan sebelum merasa terlalu deket, itu bisa jadi tanda kamu punya attachment style yang gak aman. Misalnya, kamu mungkin tipe yang cemas, yang selalu mikir pasangan bakal pergi dan butuh terus diyakinkan. Atau sebaliknya, kamu mungkin tipe yang cenderung menghindar, yang menutup diri duluan karena takut disakiti.

Kedua tipe ini, walaupun beda cara, sama-sama berakar dari rasa takut ditinggal. Yang satu takut kehilangan dan jadi terlalu lengket, sementara yang satu lagi takut dekat karena takut dikecewakan. Di balik semua itu, ada satu hal yang sama, yaitu kepercayaan yang rapuh terhadap stabilitas hubungan. Dan ini bisa bikin kamu merasa terus-menerus waspada atau bahkan curiga, meskipun pasanganmu sebenarnya gak ngapa-ngapain. Akhirnya, hubungan kamu bisa terasa kayak naik roller coaster emosi, intens, capek, dan gak stabil.

4. Dampaknya ke kesehatan emosional dan kehidupan sehari-hari

ilustrasi cemas (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi cemas (pexels.com/RDNE Stock project)

Rasa takut ditinggal bisa bikin kamu merasa gak tenang terus, seolah-olah ada ancaman yang gak kelihatan. Ini bisa bikin kamu mengalami kecemasan, stres berlebihan, bahkan depresi ringan sampai berat. Kamu mungkin jadi orang yang terlalu peka terhadap nada bicara, ekspresi wajah, atau sikap orang lain, padahal bisa jadi mereka cuma lagi capek atau sibuk.

Kamu juga bisa mengalami pola perilaku yang destruktif, kayak jadi people pleaser demi gak ditinggal, sering overthinking soal hal-hal kecil, atau jadi terlalu cepat curiga. Hal-hal ini bukan cuma bikin kamu capek secara mental, tapi juga bisa merusak hubungan dengan orang-orang terdekatmu. Dalam pekerjaan pun, kamu mungkin jadi kurang percaya diri, sering merasa perlu validasi dari atasan atau rekan kerja, dan kesulitan menerima kritik. Semua ini pelan-pelan bikin kamu kehilangan kendali atas hidup sendiri, karena rasa takut itu jadi pusat dari semua keputusanmu.

5. Secara gak sadar kamu justru menjauhkan orang lain

ilustrasi hubungan toksik (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi hubungan toksik (pexels.com/Alena Darmel)

Ironisnya, rasa takut ditinggal malah sering bikin kamu melakukan hal-hal yang justru mendorong orang untuk pergi. Misalnya, kamu mungkin jadi terlalu posesif, mudah curiga, atau suka ‘ngetes’ pasangan untuk lihat apakah mereka beneran sayang. Tapi semua itu justru bisa bikin pasangan merasa tertekan dan gak nyaman, yang akhirnya bikin mereka menjauh. Tingkah laku kayak gini muncul karena kamu berusaha mengambil alih situasi sebelum orang lain punya kesempatan buat meninggalkanmu.

Kamu pikir kalau kamu yang menjauh duluan, atau kamu yang marah duluan, setidaknya kamu yang pegang kendali. Tapi sebenarnya, itu cuma cara kamu melindungi diri dari rasa sakit yang kamu takutkan. Sayangnya, pola ini bikin kamu terjebak dalam lingkaran yang sama terus-menerus, kamu takut ditinggal, lalu bertindak berlebihan, lalu hubungan jadi renggang, dan akhirnya kamu merasa ditinggal lagi. Siklusnya berulang, dan makin susah buat keluar kalau kamu gak sadar bahwa kamu juga punya peran di dalamnya.

6. Cara menghadapi rasa takut ditinggal dengan sehat

ilustrasi deep talk (unsplash.com/Priscilla Du Preez 🇨🇦)
ilustrasi deep talk (unsplash.com/Priscilla Du Preez 🇨🇦)

Kalau kamu udah sadar punya rasa takut ditinggal, langkah selanjutnya adalah belajar buat menanganinya dengan cara yang sehat. Hal pertama yang penting banget adalah kenali pola dan perasaanmu. Coba luangkan waktu buat refleksi, kenapa kamu takut banget kehilangan seseorang? Apakah ada momen di masa lalu yang belum selesai kamu terima atau sembuhkan? Menulis jurnal bisa bantu banget buat melacak kapan kamu mulai ngerasa cemas, apa yang memicu perasaan itu, dan gimana reaksi kamu saat itu. Dengan cara ini, kamu jadi lebih sadar dan bisa mulai mengontrol, bukan cuma bereaksi otomatis.

Selanjutnya, penting banget buat mulai membangun rasa aman dari dalam diri sendiri. Gak semua hal bisa kamu kontrol, termasuk apakah orang bakal tinggal atau pergi. Tapi kamu bisa kontrol bagaimana kamu meresponsnya. Terapis bisa bantu kamu mengurai trauma masa lalu dan membimbingmu buat bangun cara pikir yang lebih sehat dan realistis. Kalau kamu belum bisa atau belum siap ke terapi, kamu bisa mulai dari bikin rutinitas self-care seperti olahraga, tidur cukup, makan teratur, dan melakukan hobi yang kamu suka. Kegiatan-kegiatan ini membantumu merasa berharga, bahkan ketika kamu sendirian. Kamu juga bisa coba teknik mindfulness buat latih pikiran biar gak lari kemana-mana setiap kali kamu merasa takut.

Untuk menghadapi rasa takut ditinggal adalah kamu bisa belajar bikin batasan yang sehat dan komunikatif dalam hubungan. Misalnya, kamu bisa bilang ke pasangan, “Aku butuh tahu kalau kamu sibuk supaya aku gak overthinking,” daripada diem dan mikir yang enggak-enggak sendiri.

Kamu juga perlu belajar buat gak selalu nyalahin diri sendiri atau orang lain saat ada konflik. Kadang kita mikir, “Dia marah, pasti karena aku salah,” padahal bisa jadi memang situasinya saja yang lagi rumit. Coba belajar komunikasi yang asertif, yang jelas tapi tetap sopan dan terbuka. Jangan cuma berharap orang ngerti perasaanmu tanpa kamu ngomong apa-apa. Dengan punya batasan yang jelas dan komunikasi yang baik, kamu jadi punya rasa kendali dalam hubungan. Kamu tahu kapan harus mendekat, kapan harus memberi ruang. Ini juga bikin kamu lebih tenang karena tahu bahwa hubungan kamu gak semata-mata bergantung pada kamu harus selalu ada atau selalu benar.

Untuk mengenali dan mengganti pikiran negatif kamu bisa mencoba untuk sadar setiap kali pikiran negatif itu muncul. Jangan langsung percaya pikiranmu, tapi tanyakan dulu, “Apakah ini beneran fakta, atau cuma asumsi?” Setelah itu, coba ganti pikiran itu dengan versi yang lebih realistis, misalnya, “Dia mungkin lagi sibuk kerja, bukan berarti dia mau ninggalin aku.” Latihan ini memang butuh waktu, tapi kalau dilakukan terus-menerus, otak kamu akan mulai terbiasa buat gak langsung lompat ke kesimpulan buruk. Kamu juga bisa bantu proses ini dengan afirmasi positif. Coba ucapkan pada diri sendiri kalimat seperti, “Aku layak dicintai,” atau “Aku tetap berharga walaupun orang lain pergi.” Kedengeran sepele, tapi ini bisa membantumu membangun kepercayaan diri dan mengurangi kebutuhan buat validasi dari luar.

Takut ditinggal bukan sesuatu yang harus kamu lawan sendirian. Perasaan itu valid, dan kamu punya alasan kenapa kamu merasakannya. Tapi bukan berarti kamu harus hidup terus dalam bayang-bayang rasa takut itu. Ingat, kamu gak sendirian, dan setiap langkah kecil yang kamu ambil adalah kemenangan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us