Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Opini Publik yang Sangat Menakutkan, Berdampak Pada Hidup

ilustrasi opini (pexels.com/Yan Krukau)

Pernah merasa ketakutan bukan karena hukuman hukum, tapi karena takut dihujat publik? Dalam era digital kayak sekarang, opini orang bisa lebih kejam dari pengadilan mana pun. Sekali kamu salah langkah, dunia bisa langsung menghukummu, tanpa tanya, tanpa ampun.

Nah, ini dia 5 opini publik yang paling ditakuti orang, dan gimana cara kita bisa bertahan dan tetap jalan ke depan. Yuk simak!

1. Diadili netizen: belum apa-apa, sudah dicap bersalah

ilustrasi opini (pexels.com/Anete Lusina)

Media sosial itu kayak ruang sidang terbuka, tapi hakimnya jutaan orang yang cuma lihat sepenggal cerita. Begitu ada isu viral, orang langsung menilai, bikin opini, dan nyebar hujatan. Gak peduli kamu salah atau nggak, kamu bisa langsung dihukum. Dalam hitungan jam, hidupmu bisa jungkir balik. Dipecat, dihujat, dan dijadikan contoh "Jangan seperti dia." Padahal, banyak orang gak tahu konteks lengkapnya.

Kalau udah jadi sasaran publik, tekanan mentalnya luar biasa. Banyak yang sampai depresi, cemas berat, bahkan trauma. Lalu yang paling menyakitkan adalah internet gak pernah lupa. Nama kamu bisa terus dicari, terus diungkit, bertahun-tahun kemudian. Cara mengurangi dampak buruk ini adalah mulai dari kita sendiri. Stop nge-judge tanpa tahu cerita lengkap. Media sosial juga harus punya sistem yang membantu untuk melindungi orang dari serangan digital. Kalau kamu jadi korban, penting banget punya support system yang kuat.

2. Takut di-cancel: semua orang bisa jadi target

ilustrasi opini (pexels.com/RDNE Stock project)

Cancel culture itu kayak pisau bermata dua. Tujuannya sih buat tanggung jawab, tapi sering kali ujungnya malah kejam. Orang bisa di-cancel cuma karena kesalahan lama, atau karena pendapat yang gak sesuai mayoritas. Ini bikin banyak orang takut ngomong apa pun. Jadi serba salah, ngomong diserang, diam dibilang gak peduli.

Ketakutan ini bikin orang menahan diri, takut disalahpahami. Padahal, semua orang pasti pernah salah. Harusnya ada ruang buat belajar dan berubah, bukan cuma dihukum. Yang dibutuhin sekarang adalah keseimbangan. Beda antara kritik yang membangun dan cancel yang brutal. Kita butuh lebih banyak diskusi, bukan pembantaian online. Namun yang paling penting, kasih kesempatan orang buat memperbaiki diri.

3. Body shaming: komentar pedas yang menakutkan

ilustrasi orang gemuk (pixabay.com/jarmoluk)

Komentar soal tubuh itu kelihatannya sepele, tapi dampaknya bisa parah banget. Body shaming bikin banyak orang merasa nggak cukup baik, gak cantik, gak layak. Semua itu bisa menghancurkan mental seseorang perlahan-lahan. Di medsos, standar kecantikan itu gak realistis. Semua serba filter, serba edit. Orang membandingkan dirinya dengan versi palsu orang lain, dan akhirnya merasa rendah diri. Apalagi kalau dihujat karena bentuk tubuh atau penampilan.

Tekanan ini paling kuat dirasain anak muda. Mereka jadi gak percaya diri, stres, bahkan bisa kena gangguan makan. Komentar negatif bisa terus terngiang dan bikin trauma jangka panjang. Kalau kita mau stop body shaming, mulainya dari konten yang kita konsumsi dan bagikan. Dukung media yang nunjukkin keberagaman tubuh. Edukasi soal penerimaan diri juga penting banget, terutama buat anak-anak muda yang masih mencari jati diri.

4. Stigma kesehatan mental: masih banyak yang takut ngomong

ilustrasi konsultasi psikolog (pexels.com/cottonbro studio)

Meskipun udah banyak kampanye soal kesehatan mental, nyatanya masih banyak yang takut ngomong. Takut dikira lemah, takut dijauhi, atau takut dicap gila. Akhirnya banyak yang diam, padahal butuh bantuan. Opini publik masih banyak yang salah soal isu ini. Kadang ada yang bilang “ah itu cuma kurang iman” atau “cuma cari perhatian”. Komentar kayak gini justru bikin orang makin tertutup dan menderita sendiri.

Kalau terus-terusan dianggap tabu, orang gak bakal berani cari pertolongan. Padahal masalah mental itu nyata, dan bisa makin parah kalau dibiarkan. Solusinya adalah edukasi. Kampanye yang bikin orang paham pentingnya kesehatan mental. Lingkungan kerja, sekolah, dan keluarga juga harus jadi tempat aman buat ngomongin hal ini. Jangan sampai orang merasa sendirian dalam perjuangannya.

5. Tekanan sosial: harus sesuai standar atau dianggap gagal

ilustrasi opini (pexels.com/cottonbro studio)

Masyarakat punya standar yang gak tertulis, tapi bikin orang tertekan. Harus sukses di usia muda, harus menikah di umur tertentu, harus punya anak, harus ini, harus itu. Kalau beda dikit, langsung dikomentari. Media sosial bikin semuanya tambah rumit. Semua orang pamer pencapaian, gaya hidup, dan kebahagiaan mereka. Tanpa sadar, kita jadi ngerasa harus ikutin semua itu, meskipun sebenarnya gak cocok buat kita.

Akibatnya, banyak yang hidup bukan karena mau, tapi karena takut dikatain gagal. Padahal, tiap orang punya jalan sendiri. Gak semua harus sama. Supaya gak terus kejebak, penting buat kenal diri sendiri. Tentuin apa yang benar-benar bikin kamu bahagia, bukan cuma buat menyenangkan orang lain. Kalau lihat orang lain, cukup dukung tanpa membandingkan.

Opini publik bisa jadi sangat menakutkan, bahkan lebih dari hukuman resmi. Dari digital shaming sampai tekanan untuk hidup ideal, semua bisa bikin kita kehilangan arah. Tapi bukan berarti kita gak bisa bangkit. Mulai dari berani jadi diri sendiri, jaga empati, dan jangan mudah nge-judge. Hidup ini sudah cukup berat, jangan saling jatuhin. Kita semua pantas buat hidup tenang, belajar dari kesalahan, dan terus maju.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us