Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Topik yang Memicu Perdebatan dengan Orangtua

Ilustrasi perkumpulan keluarga (pexels.com/MART  PRODUCTION)
Ilustrasi perkumpulan keluarga (pexels.com/MART PRODUCTION)

Mengobrol sama orangtua kadang terasa kayak beli kucing dalam karung. Melibatkan risiko dan ketidakpastian pada outcome yang didapat. Niatnya biar gak diam-diaman, malah dikira mau mengajak bertengkar. Pengennya bertukar pikiran, malah dianggap salah pemikiran. Kalau lagi gak mood, rasanya langsung malas melanjutkan obrolan dan memilih setuju aja meskipun aslinya gak begitu. Bukannya menormalisasi berbohong, tapi takut dosa juga kalau melawan orangtua. Serba salah, deh.

Sebagai anak, kadang ingin rasanya didukung sama orangtua. Curhat dengan santai tanpa berpura-pura karena takut dihakimi. Tentunya ada beberapa topik yang bisa dibicarakan secara terbuka. Gak jarang orangtua adalah biggest supporter dari keputusan kita. Tapi kalau lagi punya pendapat yang berbeda, sengitnya udah mengalahkan kejuaraan piala dunia. Berikut enam hal yang bisa berpotensi memicu perdebatan kalau dibahas bareng orangtua.

1. Preferensi tempat tinggal

Ilustrasi Ibu dan Anak (pexels.com/ Anastasia  Shuraeva)
Ilustrasi Ibu dan Anak (pexels.com/ Anastasia Shuraeva)

Akhir-akhir ini, pilihan kabur dulu aja ramai diperbincangkan. Jadi pertimbangan banyak anak muda untuk mencobanya. Satu alasan yang menghambat keputusan sebagian dari mereka, yakni terhalang restu orangtua. Mereka mungkin mendengar paribahasa, “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”  Daripada dipakai membayar sewa di luar negeri, lebih baik dibelikan rumah di kampung sendiri.

Jenis tempat tinggal juga suka jadi permasalahan. Banyak orangtua menganggap gak nyaman rasanya untuk tinggal di apartemen. Rumah adalah bangunan yang menapak di atas tanah. Seolah apartemen dibangun secara menggantung tanpa ada lantai dasar. Atau ketika memilih untuk kontrak. Kenapa gak membangun rumah kecil dulu atau cari lokasi rumah yang murah? Jawabannya adalah karena banyak alasan yang gak harus selalu diketahui atau bisa dipahami oleh orangtua. Mungkin ada prioritas hidup lain yang masih ingin disimpan sendiri dulu.

2. Pilihan karier

Ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/SHVETS production)
Ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/SHVETS production)

Masih banyak orangtua yang berpikir kalau kerja itu idealnya yang pasti-pasti aja. Cari yang ada pensiunannya, gak terlalu berat kerjaannya, atau kalau bisa yang dekat dengan mereka aja penempatannya. Ketika nilai “aman” dan “passion gak sejalan, argumen pun tak terhindarkan. Memang gak semua orangtua berpikiran begini. Bisa tergantung dari pengalaman kerja yang mereka punya sendiri juga.

Orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan kalau bisa lebih baik dari mereka. Tujuan mereka baik, mengarahkan kita ke career path yang lebih aman dan nyaman. Tapi yang kadang menjengkelkan adalah ketika kita menginginkan risiko juga. Lelah dengan rasa aman dan rasa nyaman yang diberikan orangtua. Bukannya gak bersyukur, tapi ingin merasa memiliki atas hidup kita sendiri. Pendapat mereka tetap penting, hanya berharap diberi kesempatan untuk membuat keputusan akhir.

3. Cara mengelola stres

Ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/Ron Lach)

Nonton serial TV seharian di kamar pas weekend bukan karena kita adalah pemalas yang gak mau beres-beres rumah. Kadang kita cuma stres setelah seminggu kerja dan butuh waktu sebentar untuk kabur dari realitas lewat nonton drama korea.

Di kasus yang lain, mencari pertolongan ahli saat stres masih dianggap kurang penting. Padahal ketika kita coba curhat ke orangtua, gak jarang malah terasa seperti lagi diceramahi. Beberapa orangtua tumbuh dengan prinsip “disimpan sendiri aja” atau “jangan bikin malu”. Sementara anak zaman sekarang lebih terbuka ngomongin soal mental health, trauma, atau burnout.

Hal-hal yang normal untuk kita, kadang terkesan berlebihan untuk mereka. Kalau dulu cuma bisa curhat ke orang yang dikenal, anak zama sekarang bisa lebih nyaman curhat sama strangers. Gak seperti yang mungkin orangtua khawatirkan, para anak juga sadar untuk memerhatikan keamanan.

4. Pemilihan gaya berpakaian atau berdandan

Ilustrasi Ibu dan Anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi Ibu dan Anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sejak kecil kita mungkin terbiasa untuk dipilihkan pakaian oleh orang tua. Mana yang pantas untuk acara itu, mana atasan yang cocok dengan bawahan ini, mana jenis baju yang boleh dipakai dan mana yang gak, sampai di kisaran harga berapa baju yang bisa kita beli.

Makin dewasa, sering kali semua standar itu berubah. Kita bisa tiba-tiba menemukan bahwa selera baju kita gak sama dengan yang selama ini di-mix and match oleh orangtua. Alasan sederhananya, beda zaman beda selera. Hal sesederhana kayak model rambut, aksesoris kaki, dan posisi tindikan anting bisa memicu perdebatan Panjang. Orangtua sering mengaitkannya dengan nilai moral atau citra keluarga, sementara anak menganggapnya sebagai bentuk ekspresi diri.

5. Pandangan tentang menikah dan punya anak

Ilustrasi Perkumpulan Keluarga (pexels.com/fauxels)
Ilustrasi Perkumpulan Keluarga (pexels.com/fauxels)

Susah menjelaskan alasan kenapa belum ingin menikah atau kenapa gak ingin punya anak kepada seseorang yang menjadikan itu sebagai pengalaman pokok dalam perjalanan hidupnya. Gak semua orang yang memutuskan untuk gak menikah atau gak ingin memiliki keturunan menyimpan suatu trauma. Keputusan itu bisa jadi hasil dari keinginan atau observasi mereka pribadi aja. Bisa jadi gak ada kaitannya sama sekali dengan peran orangtua dalam membesarkan mereka.

Saat memilih keputusan seperti ini, bukan berarti seorang anak gak merasa bersalah sama sekali. Bagaimanapun, mereka mungkin merasa gagal untuk memenuhi harapan dan cita-cita orang tuanya. Kalau dibahas bersama tanpa ada pengertian, anak dan orangtua bisa sama-sama tersakiti. Perlu kompromi atas keinginan masing-masing. Apakah fokus pada kebahagian dan kebaikan, atau sekadar menuruti ego.

6. Pemilihan teman

Ilustrasi pertemanan (unsplash.com/A.C)
Ilustrasi pertemanan (unsplash.com/A.C)

Baik dan buruknya seseorang tergantung pada cara kita memandang mereka. Kita perlu teman yang bantu kita berkembang jadi orang yang lebih baik. Tapi kita juga butuh teman yang gampang untuk diajak ngetawain hal-hal receh. Bahkan, teman bisa terasa lebih dekat dari saudara. Untuk dapat persetujuan orangtua, mencari teman seringnya sesulit cari pasangan. Harus diperhatikan bibit dan bobotnya. Seolah kita akan selalu terombang-ambing dan berubah menyesuaikan orang lain. Padahal, pengaruh berlaku dua arah. Gimana kalau ternyata justru kita yang bawa pengaruh buruk buat teman kita dan bukan sebaliknya. Rasanya ingin menggiring orangtua untuk mengerti hal itu tapi tentunya gak gampang.

Perdebatan dengan orangtua sering kali tidak ada pemenangnya. Karena masing-masing berbicara dari kepercayaan dan sudut pandang yang berbeda. Setiap orangtua pasti punya gaya tersendiri dalam berkomunikasi dengan anaknya. Perbedaan pendapat bisa muncul karena perbedaan pengalaman hidup juga. Namun yang bisa dilakukan adalah tetap saling mendengar dan menjaga komunikasi. Demi kebaikan bersama, bukan satu pihak aja. Capek sih, tapi begitulah proses belajar saling memahami lintas generasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us