Sejarah Kabupaten Karangasem Bali, Dulunya Pusat Perkantoran
Karangasem begitu lekat dengan Gunung Agung
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kabupaten Karangasem, sebagaimana kabupaten lainnya di Bali, juga memiliki sejarah yang panjang. Selama ini Karangasem memang dikenal memiliki sumber daya alam (SDA) yang mengagumkan, termasuk pesona Gunung Agung dan Taman Ujung Karangasem. Hanya saja sepertinya tak banyak yang tahu bagaimana sejarah terbentuknya kabupaten di timur Bali ini.
Tahukah kamu, sebelum bernama Amlapura, awalnya Ibu Kota Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem lho. Amlapura diresmikan menjadi Ibu Kota Karangasem pada 17 Agustus 1970 di Lapangan Candra Bhuwana oleh Bupati Karangasem kala itu, yaitu Anak Agung Gede Karang. Perubahan itu berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 284 Tahun 1970, namanya berubah.
Nama Amlapura terinspirasi dari seorang tokoh Puri Kelodan di wilayah Batu Aya Karangasem, yaitu I Dewa Karang Amlapura, yang waktu itu menjadi penguasa. Selain itu, di Karangasem banyak terdapat pohon asam yang juga bermakna Amlapura. Kata Amlapura terjemahannya juga berarti Karangasem. Sebelumnya, Kota Amlapura sempat bernama Amlanegantun, yang merupakan pusat pemerintahan Raja Karangasem dan Puri Agung Karangasem. Dulu, tempat itu menjadi pusat pemerintahan Raja Karangasem.
Informasi tersebut tertulis dalam catatan Rencana Aksi Kota Pusaka, serangkaian kegiatan fasilitasi dan sosialisasi Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), oleh Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Tulisan tersebut dibuat pada masa kepemimpinan Bupati I Wayan Geredeg. Sebagaimana diketahui, I Wayan Geredeg menjadi Bupati Karangasem selama dua periode yakni 2005-2010 dan 2010-2015.
Baca Juga: Asal Usul Nama Denpasar, Pertama Kali Disebut oleh Orang Belanda
1. Pusat perkantorannya pernah hanyut ditelan lahar letusan Gunung Agung
Tim penulis dari Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud) juga pernah membuat tulisan berjudul Kota Amlapura, Dari Ibu Kota Imperium Karangasem Sampai Ibu Kota Kabupaten Karangasem, 1611—2013. Tulisan yang mengulas sejarah Karangasem tersebut dapat diakses melalui laman Pemerintah Kabupaten Karangasem v2.karangasemkab.go.id.
Dalam tulisan tersebut, menyebutkan pada awal masa pemerintahan Bupati Anak Agung Gde Karang ada pertemuan-pertemuan informal secara intensif di Griya Pidada Karangasem, tempat tinggal Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karangasem kala itu, Ida Wayan Pidada. Pertemuan yang juga dihadiri oleh sulinggih (Ida Padanda), tokoh-tokoh puri, dan tokoh masyarakat tersebut membahas soal lokasi pembangunan pusat pemerintahan dan nama ibu kota Kabupaten Karangasem.
Dua bulan sebelum 17 Agustus 1970, akhirnya disepakati bahwa lokasi “Kota Baru” diputuskan di Subak Sudi. Kota Baru merupakan daerah baru pengganti kompleks perkantoran yang hanyut ditelan lahar letusan Gunung Agung. Di sanalah kompleks perkantoran Bupati, Gedung DPRD Kabupaten Karangasem, Kantor Pengadilan, Kejaksaan, Lapangan Chandra Bhuana, dan lainnya dibangun. Sementara penentuan titik nol ditetapkan tetap berada di perempatan yang menyilang antara Puri Kelodan, Puri Kawan, Lapangan Chandra Bhuana, dan Puri Gede.
Mengacu pada nama Puri Kelodan sebelumnya, yaitu Puri Amlaraja, akhirnya nama Ibu Kota Karangasem diputuskan memakai nama Amlapura. Selain itu, berdasarkan pertimbangan di dalam kolofon naskah lontar Negarakretagama atau Desa Warnana yang terdapat di Griya Pidada Karangasem, disebutkan bahwa lontar tersebut selesai ditulis di Amlanegantun.
Ada pula pertimbangan lainnya, yakni dalam Babad Dalem menyebutkn Kota Baru harus dibangun pada saat itu karena sebagian besar kompleks perkantoran yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda telah musnah ditelan banjir lahar letusan Gunung Agung pada tahun 1963. Sejak saat itu, melalui Perda Kabupaten Karangasem, daerah aliran lahar letusan Gunung Agung diitetapkan sebagai Daerah Bencana.