TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Keistimewaan Penglipuran Hingga Jadi Desa Paling Bersih di Indonesia

Satu-satunya di Bali nih. Hebat, kan?

IDN Times/Imam Rosidin

Lulung nampak ceria saat mengambil foto bersama istri dan kedua anaknya berlatar barisan penjor serta rumah-rumah penduduk yang tertata rapi di Desa Penglipuran, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli. Wisatawan asal Jember, JawaTimur ini mengaku kagum dengan apa yang disaksikannya.

"Sangat takjub dengan desa yang mampu menjaga kebersihannya dan tata ruangnya yang begitu asri ini," katanya kepada IDN Times tak lama ini.

Ya, Desa Penglipuran terpilih sebagai desa paling bersih di Indonesia. Lantas bagaimana sejarahnya sehingga Desa ini dikenal sebagai desa paling bersih di Indonesia?

Baca Juga: 5 Ribu Tembakan Kembang Api Akan Diluncurkan di Pantai Kuta

1. Sejarah itu berawal dari abad ke-13

IDN Times/Imam Rosidin

I Wayan Supat, Bendesa Adat Penglipuran, menjelaskan bagaimana sejarah panjang desanya. Dahulu sekitar abad ke-13, leluhurnya berasal dari Desa Bayung Gede yang berada di Kintamani. Pada zaman dahulu, raja Bangli memerintahkan warganya di Bayung Gede untuk mengerjakan proyek di Desa Kubu.

Setelah itu, mereka diberikan tanah yang kemudian diberi nama Desa Bayung Gede. Setelah lama tinggal di Kubu, lama kelamaan namanya berubah menjadi Desa Penglipuran.

"Diperkirakan abad 13 sudah diajak ke sini. Anggaplah setengah abad dalam membentuk tatanan Desa. Jadi diperkirakan berganti nama menjadi Desa Penglipuran pada abad 14," jelasnya.

2. Apa sih arti Penglipuran?

IDN Times/Imam Rosidin

Ia menjelaskan, Penglipuran berasal dari kata penglipur yang maknanya adalah menghibur atau menyenangkan orang. Artinya, di Desa ini dulunya masyarakat bertugas untuk membantu dan membuat sang raja terhibur.

Selain itu, juga bermakna sebagai pengeling pura. Eling artinya ingat dan Pura itu artinya dalam makna yang luas yaitu tanah leluhur. Jadi masyarakat di sini dalam membangun tatana desanya dengan mengingat keberadaan tanah leluhurnya yang ada di Bayung Gede.

"Semuanya memang hampir sama. Baik dari budaya fisik dan non fisiknya," jelasnya.

3. Bagaimana desa ini bisa bersih?

IDN Times/Imam Rosidin

Terkait kebersihan desa, Wayan Supat menjelaskan, hal ini sudah termaktub dalam awig-awig (Aturan) desa yang sangat dipatuhi penduduknya. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari filsafat hidup desa adat yang berbunyi Tri Hita Karana atau tiga sumber untuk hidup harmonis.

"Untuk mencapai itu (Harmonis), dibuat aturan adat yang mana menjabarkan aspek parahiyanga di bidang Ketuhanan, Pawongan hubungan sesama manusia, dan ketiga Palemahan yakni hubungan manusia dengan alamnya atau lingkungan," lanjutnya.

Palemahan dalam hal ini adalah perlakuan manusia dalam menjaga alam lingkungannya. Hal tersebut merupakan kunci manusia dalam mencapai kebahagiaan.

"Sejahtera kan bukan karena uang, tapi lebih ke masyarakatnya yang sehat, bahagia, dan senang. Jadi, aturannya jangan membuang sampah sembarangan dan membuang limbah ke got umum," ucapnya.

Jadi satu kunci kebahagiaan manusia yang sebenarnya adalah menerapkan konsep Tri Hita Karana, yakni keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya.

"Ini sudah dari dulu sejak desa kami ada. Setiap wilayah harus menjaga desanya dengan bersih. Kesehatan bisa diraih dengan kebersihan. Ini bukan sebuah keinginan lagi tapi sudah menjadi kebutuhan," tegasnya.

4. Tata ruangnya juga diatur

IDN Times/Irma Yudistirani

Ia menambahkan, pada tahun 1980-an, Desa Penglipuran sudah melakukan konservasi di bidang tata ruang dengan konsep Tri Mandala. Hal tersebut untuk penataan pertamanan dan pelestarian desa adat.

"Ini memang sudah menjadi sebuah konsesus bagi kita atau kesepakatan menuju ke tri hita karana," jelasnya.

Tri Mandala bermakna pembagian ruang menjadi tiga bagian lokasi. Secara makro atau luas, ruang di Desa dibagi menjadi tiga zona. Pertama, zona palong utara atau disebut sebagai utama mandala sebagai tempat ibadah, yakni Pura. Kedua adalah Madya Mandala yang merupakan pemukiman penduduk, dan terakhir adalah Nista Mandala sebagai tempat pekuburan.

"Kemudian secara lebih kecil adalah rumah yang kita tempati, utama mandala tempat ibadah, madaya rumah keluarga, nista mandala adalah toilet," sambungnya lagi.

Tak hanya itu, desa ini juga memiliki rumah adat yang beratap bambu. Untuk melestarikannya, warga yang melakukan pemugaran akan diberikan subsidi sebesar Rp5 juta.

"Ini upaya untuk memberdayakan masyarakat. Bangunan ini masih sama seperti yang awal," ungkapnya.

Rumah adat ini biasanya digunakan sebagai dapur dan tempat tidur, balai tiang enam untuk ritual dalam acara adat, kemudian angkul-angkul atau gerbang masuk.

Berita Terkini Lainnya