TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Tradisi Unik di Bali, Ari-ari Bayi Digantung di Kuburan

Tradisi ini masuk ke dalam warisan budaya tak benda lho

disparda.baliprov.go.id

Sebanyak 11 macam kebudayaan Bali belum lama ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2020 oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI). Satu di antaranya tradisi Ari-ari megantung yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Keunikan dari tradisi ini adalah ari-ari bayi milik masyarakat Desa Adat Bayunggede tidak ditanam di pekarangan rumah. Melainkan digantung di pohon daerah kuburan khusus ari-ari (Setra Ari-ari) Desa Adat Bayunggede. Mengutip dari hasil penelitian serangkaian pengusulan tradisi Ari-ari Megantung menjadi WBTB Indonesia, berikut fakta tradisi Ari-ari Megantung:

Baca Juga: 64 Budaya Bali Jadi Warisan Budaya Tak Benda Selama 7 Tahun

Baca Juga: Fenomena Pernikahan Beda Kasta di Bali & Perawan Tua, Diskriminasikah?

1. Ari-ari dari bayi yang baru lahir dilarang dikubur di pekarangan rumah menurut kepercayaan Desa Adat Bayunggede

Pexels.com/rawpixel.com

Lazimnya, masyarakat Bali yang baru memiliki bayi, ari-arinya dikubur di pekarangan rumah. Biasanya ditanam di samping pintu masuk menuju dapur. Namun lain halnya dengan tradisi Ari-ari Megantung yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Adat Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Adat Bayunggede, tidak diperbolehkan atau dilarang untuk mengubur ari-ari (Plasenta) bayi yang baru lahir di dalam pekarangan rumah. Hal ini karena masyarakat Desa Adat Bayunggede sangat menghormati Ibu Pertiwi. Seluruh pekarangan perumahan yang ada di desa tersebut merupakan kawasan yang disucikan. Karena itu, menanam ari-ari di pekarangan rumah dianggap akan menyebabkan leteh atau kotor secara rohani.

Sekadar diketahui, tradisi Ari-ari Megantung ini telah dilaksanakan jauh sebelum datangnya orang-orang Majapahit ke Bali. Hal itu diketahui melalui sejarah berdirinya Desa Adat Bayunggede, yang telah ada sebelum Bali dipengaruhi oleh Majapahit. Sistem pemerintahan adatnya menggunakan sistem Pemerintahan Adat Uluapad, yang biasanya dijalankan oleh masyarakat Bali Aga atau Bali Mula.

Baca Juga: Mengenal Ilmu Leak, Paling Ditakuti di Bali Tapi Diminati Orang Eropa

2. Ari-ari bayi yang baru lahir tidak dikubur. Melainkan digantung dalam tempurung kelapa di pohon daerah kuburan khusus ari-ari (Setra Ari-ari)

Pexels.com/cottonbro

Jika lazimnya dikubur di pekarangan rumah, namun ari-ari bayi di Desa Adat Bayunggede tidak dikubur. Melainkan digantung dalam tempurung kelapa di pohon daerah kuburan khusus ari-ari Desa Adat Bayunggede. Proses membawa tempurung kelapa berisi ari-ari ke Setra Ari-ari tersebut harus dilakukan oleh ayah si bayi.

Ari-ari terlebih dahulu dibersihkan dengan air, lalu dimasukkan ke dalam tempurung kelapa (Kau) yang sudah dibelah menjadi dua bagian simetris. Pada bagian atas ari-ari tersebut, ditambahkan kelengkapan seperti abu dapur, anget-anget (ketumbar, mesui, jebugarum, cengkeh), serta tengeh (Campuran kunyit yang diparut atau ditumbuk dengan pamor atau kapur sirih).

Setelah semua bahan itu dimasukkan, tempurung ditutup rapat-rapat. Pada bagian yang terbelah dioleskan pamor atau kapur sirih untuk menghindari kebocoran. Dioleskan berbentuk tapak dara yang mirip simbol plus (+). Kemudian tempurung tersebut diikat menggunakan salang tabu (Tali pengikat dari kulit bambu).

3. Saat membawa tempurung kelapa berisi ari-ari ke Setra Ari-ari, si ayah harus membawanya menggunakan tangan kanan

pataprodigy.org

Setelah prosesi memasukkan ari-ari dan mengikat tempurung kelapanya dengan kuat sudah selesai, selanjutnya ayah si bayi bersiap-siap untuk membawa tempurung kelapa tersebut ke Setra Ari-ari yang terletak di hilir desa. Selama perjalanan, ayah si bayi harus memegang tempurungnya pakai tangan kanan.

Hal ini mengandung harapan agar si anak kelak akan terbiasa menggunakan tangan kanan (Tidak kidal) dan bersikap baik, ramah, dan sopan jika ada yang menyapa selama perjalanan ke setra ari-ari. Selain memegang pakai tangan kanan, si ayah juga harus membawa tah (Alat semacam sabit) yang diselipkan di pinggang.

Sesampainya di Setra Ari-ari, ayah bayi harus memilih dan menentukan cabang atau batang kayu bukak (carbera manghas), yang akan digunakan untuk menggantung tempurung kelapa yang berisi ari-ari. Setelah menemukan cabang pohon bukak yang dirasa baik, tempurung kemudian digantungkan pada batang yang terlebih dahulu ditancap dengan menggunakan tah. Pada saat menggantung ari-ari, Ayah bayi juga harus menggunakan tangan kanan.

4. Keluarga yang baru memiliki bayi memiliki pantangan masuk ke dalam pura dan bertemu pemimpin desa selama kurun waktu tertentu, sesuai status bayi sebagai anak pertama atau kedua dan seterusnya

pixabay.com/hans

Selesai menggantung tempurung ari-ari, ayah sang bayi mencari beberapa batang daun pakis untuk di bawa pulang ke rumah. Sampai di depan rumah, ayahnya harus meletakkan daun pakis tersebut pada batang bambu yang telah dipersiapkan. Daun pakis ditempatkan di pintu depan rumah sebagai pertanda, bahwa keluarga yang bersangkutan sedang cuntaka (Kotor).

Keluarga yang sedang cuntaka karena baru saja memiliki bayi, memiliki pantangan tidak boleh melakukan aktivitas tertentu seperti ke pura (Tempat suci) atau ke rumah Jro Kebayan Mucuk (Pemimpin desa) selama 42 hari untuk anak pertama, dan selama 12 hari untuk anak kedua, dan seterusnya.

Berita Terkini Lainnya