TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Cerita yang Berkaitan dengan Hari Suci Hindu

Dari kisah pemburu hingga Bhatara Kala

Ilustrasi upacara adat di Bali. (pixabay.com/jovanel)

Setiap agama memiliki hari suci. Demikian juga dengan Agama Hindu yang memiliki banyak hari suci. Umat Hindu banyak merayakan hari suci untuk meningkatkan Sraddha dan Bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, menumbuhkan ketenteraman secara lahir batin, menciptakan keharmonisan terhadap lingkungan dan sesama, serta mampu menjalankan ajaran Hindu secara nyata.

Berikut ini 5 cerita yang berkaitan dengan hari suci Hindu.

Baca Juga: Selingkuh dalam Ajaran Hindu, Dilarang Ingat Wajah Mantan

Baca Juga: Sejarah Canggu, Desa Wisata yang Super Populer di Bali

1. Hari Suci Purnama dan Tilem

Ilustrasi bulan purnama. (unsplash.com/Sanni Sahil)

Hari Suci Purnama dirayakan ketika bentuk bulannya penuh. Sebaliknya, Tilem dirayakan ketika bulannya tidak terlihat. Kedua hari suci ini diceritakan berawal dari kisah Dewa Candra yang menikahi 27 putri dari Daksa (putra Dewa Brahma).

Dari 27 orang itu, Dewa Candra lebih menyayangi Rohini. Hal ini membuat iri istri-istri yang lain, dan melaporkannya kepada sang ayah, Daksa.

Daksa mengutuk Dewa Candra yang membuat kekuatan dan sinarnya berkurang. Dewa Candra meminta tolong kepada Dewa Siwa. Lalu Dewa Siwa meletakkan Dewa Candra di kepalanya.

Anak-anak Daksa kebingungan karena kehilangan Dewa Candra, dan meminta tolong kepada ayah untuk mengembalikannya. Daksa pergi ke Dewa Siwa dan memohon untuk mengembalikan Dewa Candra. Namun Dewa Siwa menolak. Alhasil, Daksa marah yang kemudian ditenangkan oleh Sri Kresna.

Dewa Candra akhirnya dibagi dua. Setengah bagian dibawa oleh Daksa, dan setengahnya lagi dibawa oleh Dewa Siwa. Hal ini menyebabkan bulan akan bersinar selama 15 hari (Purnama) dan tidak akan bersinar selama 15 hari Tilem.

2. Hari Raya Galungan

Tradisi Ngerebeg di Desa Penglipuran. (YouTube.com/Gede Partha Wijaya)

Hari Galungan dikaitkan dengan kisah Mayadanawa, seorang raja dari Balingkang (sebelah utara Danau Batur) yang sombong dan angkuh karena memiliki kesaktian tinggi. Ia sangat ditakuti di sana. Raja Mayadanawa lalu memerintahkan rakyat Bali untuk memuja dirinya dan dilarang menyembah Ida Sang Hyang Widhi. Ia juga menyuruh pasukannya untuk menghancurkan tempat-tempat suci kala itu.

Rakyat berada di bawah bayang-bayang ketakutan. Banyak hasil sawah dan kebun yang rusak karena terserang wabah penyakit. Melihat hal ini, Mpu Kul Putih melakukan yoga samadhi di Pura Besakih, memohon petunjuk untuk membebaskan rakyat dari belenggu Raja Mayadanawa.

Mpu Kul Putih akhirnya mendapatkan petunjuk, bahwa hanya Dewa Indra yang dapat mengalahkan Raja Mayadanawa. Mpu Kul Putih lalu memuja Dewa Indra untuk memohon bantuan mengalahkan Raja Mayadenawa. Dewa Indra mengabulkan permohonannya, dan bersedia membunuh Raja Mayadanawa.

Kematian Raja Mayadanawa disambut suka cita oleh rakyat Bali. Kekalahan Raja Mayadanawa ini diperingati sebagai hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan) atau sebagai Hari Raya Galungan yang jatuh setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Rabu, Budha Kliwon, Wuku Dungulan.

3. Hari Siwaratri

Ilustrasi Dewa Siwa. (unsplash.com/Gúŕú śàí Pŕàkèśh)

Siwaratri kerap dikaitkan sebagai hari peleburan dosa. Siwaratri jatuh pada malam sehari sebelum tilem kepitu (bulan ketujuh), yang dirayakan setiap setahun sekali.

Cerita yang dikaitkan dengan Hari Siwaratri adalah kisah seorang pemburu bernama Lubdaka. Lubdaka adalah pemburu yang sangat tekun dan selalu mendapatkan hasil setiap kali berburu. Hewan buruan tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Suatu hari ia berburu ke hutan. Namun hingga menjelang petang, ia belum mendapatkan hewan buruan. Ia lalu memutuskan untuk mencari tempat berlindung dari hewan buas. Lubdaka menemukan Pohon Bila yang rindang dan tinggi, lalu naik ke atasnya.

Agar selalu terjaga dan tidak terjatuh, ia memetik daun Pohon Bila dan membuangnya ke bawah. Ia melakukannya sambil merenungi diri, bahwa pekerjaan berburunya adalah dosa. Ia berjanji untuk tidak lagi melakukan pekerjaan berburu. Tak terasa hari sudah terang, Lubdaka turun dari Pohon Bila, dan kembali ke rumahnya.

Lubdaka beralih menjadi petani hingga akhir hidupnya. Saat meninggal, Dewa Siwa mengantar rohnya Lubdaka ke surga karena ia telah menyesali dosa-dosanya selama di atas Pohon Bila.

Cerita Lubdaka ini dikarang oleh Mpu Tanakung. Siwaratri disebut sebagai malam Dewa Siwa beryoga samadhi. Umat Hindu merayakan Siwaratri untuk memohon ampun atas segala dosa yang pernah dilakukan, dan sebagai malam instrospeksi diri.

4. Hari Raya Nyepi

Ilustrasi suasana Nyepi. (unsplash.com/Aron Visuals)

Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, bangsa-bangsa di Asia hidup dalam situasi yang tidak harmonis antara satu dengan lainnya. Hal ini karena masing-masing bangsa memiliki keinginan untuk menjadi penguasa.

Dari sekian banyaknya bangsa di Asia, Bangsa Saka dikenal ramah dan memiliki misi perdamaian. Namun mereka harus berkelana dari satu daerah ke daerah di Asia karena dikalahkan oleh bangsa lainnya.

Ideologi Bangsa Saka yang membawa misi perdamaian akhirnya menyentuh pemimpin Bangsa Pahlava, yang kala itu jadi penguasa. Karena kesadaran akan pentingnya perdamaian, lambat laun hubungan antar bangsa-bangsa di Asia mulai harmonis.

Pada zaman Raja Kaniska I, bangsa-bangsa di Asia hidup harmonis. Kemudian pada zaman Rana Kaniska II, menetapkan tahun baru pada tahun 78 Masehi sebagai pencerahan bangsa-bangsa yang berdamai.

Raja Kaniska II memberikan penghargaan kepada Bangsa Saka dengan merayakan tahun baru sebagai Tahun Baru Saka, yang dirayakan secara serentak di seluruh negeri. Tahun baru ini dirayakan secara khidmat melalui tapa brata samadhi.

Verified Writer

Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya