TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Akibat Hukum Konsumen Menolak Membayar Pesanan COD

Jadilah konsumen yang bijak!

Ilustrasi Transaksi. (IDN Times/Arief Rahmat)

Teknologi internet yang dimanfaatkan oleh sektor perdagangan disebut dengan istilah electronic commerce (e-commerce). E-commerce memiliki karakter yang khas dalam dunia perdagangan, di mana penjual dan pembeli tidak dibatasi oleh jarak sehingga keduanya tidak perlu bertemu secara langsung untuk melakukan transaksi. Hal ini dapat memberikan kemudahan bagi kedua belah pihak.

Hasil pendataan survei e-commerce sampai dengan 15 September 2022 menunjukkan sebanyak 34,10 persen transaksi jual beli secara online yang dilakukan melalui media elektronik menyediakan dua jenis metode pembayaran. Yaitu pembayaran yang dilakukan di awal pada saat pemesanan melalui transfer, dan pembayaran di akhir ketika barang diterima oleh pembeli atau biasa disebut dengan Cash on delivery (COD).

Menurut data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), metode pembayaran yang paling sering digunakan ketika berbelanja melalui e-commerce adalah metode COD yakni sebesar 83,11 persen. Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PTKN) mencatat sebanyak 3.692 pengaduan konsumen yang dilayani pada semester pertama tahun 2022 sebanyak 86,1 persen atau 3.181 pengaduan berasal dari sektor niaga elektronik. Adapun jenis pengaduannya adalah barang yang tidak diterima konsumen.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, bahwa keluhan konsumen terhadap perdagangan online kini menurun. Namun capaian ini belum mengindikasikan konsumen e-commerce dapat terlindungi dengan maksimal. Permasalahan belanja online dengan kategori barang tidak diterima sebesar 28,2 persen.

Permasalahan yang sering terjadi dalam transaksi jual beli online dengan pembayaran COD, merupakan pembatalan secara sepihak oleh pembeli. Karena ketika barang mulai dikirimkan bahkan ada yang sudah sampai di alamat pembeli, mereka menolak untuk menerima dan membayarnya tanpa memberikan alasan jelas. Perbuatan pembatalan secara sepihak ini tentu saja sangat merugikan pihak pelaku usaha dalam hal waktu dan biaya. Mereka telah memenuhi orderan barang, mengeluarkan sejumlah modal untuk produksi hingga biaya pengemasan, namun tiba-tiba konsumen membatalkan pesanan dan menolak untuk melakuan pembayaran. Konsumen atau pembeli dalam hal ini telah melakukan wanprestasi, tidak melakukan kewajiban dan tidak memenuhi hak yang seharusnya didapatkan oleh pelaku usaha.

Dari permasalahan yang sering dialami oleh pelaku usaha dalam jual beli secara online, bagaimana perlindungan hukum terhadap terhadap pelaku usaha dalam transaksi e-commerce? Kedua, apa akibat hukum terhadap konsumen yang melakukan pembatalan sepihak dan menolak untuk membayar pesanan?

Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dalam transaksi e-commerce

ilustrasi (Pexels.com/Artem Beliaikin)

Dalam transaksi yang terjadi di e-commerce atau biasa disebut juga dengan jual beli secara online terdapat beberapa pihak yang saling berhubungan. Pihak-pihak tersebut adalah pelaku usaha dan konsumen yang merupakan subjek hukum. Kedua subjek hukum ini melakukan transaksi melalui media teknologi informasi dengan layanan internet, yang kemudian menyebabkan lahirnya perjanjian jual beli dan menghasilkan tanggung jawab bagi kedua pihak tersebut.

Ketentuan mengenai jual beli diatur dalam KUHPer BAB V Pasal 1458 yang menyatakan, bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak setelah pihak-pihak tersebut mencapi kesepakatan tentang barang beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. Pada dasarnya kegiatan jual beli yang dilakukan setiap manusia dengan individu lainnya merupakan sebuah perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian jual beli dikatakan sah atau terlahir pada saat terjadinya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak terhadap hal yang menjadi pokok isi perjanjian.

Dalam transaksi jual beli online sering kali terjadi pelanggaran hak-hak dari satu pihak yang terlibat, sehingga menimbulkan kerugian baik bagi konsumen maupun bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, perlindungan hukum menjadi sesuatu yang penting dan dibutuhkan oleh masyarakat apabila hak-hak mereka dilanggar.

Dalam transaksi e-commerce, mayoritas metode pembayaran yang sering digunakan adalah COD sebesar 83,22 persen. Dalam metode COD, konsumen atau pembeli melakukan pembayaran atas pesanannya di akhir, yaitu ketika barang sudah sampai ke tangan konsumen. Namun jika konsumen melanggar perjanjian, itu berarti dia telah melakukan perbuatan wanprestasi maka dan beritikad tidak baik dalam melakukan transaksi jual beli. Tentu hal seperti ini sangat merugikan pelaku usaha.

Satu kasus konsumen yang menolak untuk membayar pesanan COD pernah dibagikan oleh akun @txtdakurir di Twitter. Seorang kurir yang sedang mencari alamat pelanggan membagikan tangkapan layar yang berisi pesan pelanggan tersebut. Ketika dihubungi, sang pelanggan melarang untuk barangnya diantar karena dia tidak mempunyai uang untuk membayarnya. Pelanggan mengungkap “Maaf enggak jadi. Kemarin cuman iseng, pengen si cmn lagi gk ada uang mbk.”

Dalam melakukan transaksi jual beli secara online maupun konvensional kedua pihak harus dilandasi itikad yang baik. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu Pasal 5 mengenai kewajiban konsumen pada poin b, bahwa konsumen wajib beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Juga pada Pasal 7 poin a yang menyatakan pelaku usaha berkewajiban beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

Dalam kasus jual beli online, seringkali kita menemukan konsumen yang lalai akan kewajibannya. Konsumen melakukan pembatalan secara sepihak kepada pelaku usaha ketika barang yang dipesan sudah diantar oleh penjual, dan tidak mau membayar pesanan tersebut tanpa memberikan alasan yang jelas. Sehingga dalam hal ini konsumen tidak memenuhi prestasi yang seharusnya dijalankan olehnya. Hal ini tentu saja sangat merugikan pihak pelaku usaha. Karena hal tersebut dapat menyebabkan kerugian dari modal pembelian barang dan kerugian dari bahan pokok yang digunakan dalam usahanya. Perbuatan konsumen tersebut telah melanggar kewajibannya untuk beritikad baik. Selain itu, konsumen juga tidak memenuhi hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPK, yaitu hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan.

Dalam hal ini sanksi terhadap konsumen yang telah wanprestasi secara teori perlindungan hukum represif tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Namun konsumen dapat diberikan sanksi berupa berupa membayar sejumlah kerugian yang dialami oleh pelaku usaha, pembatalan perjanjian, peralihan risiko, dan membayar biaya perkara apabila pelaku usaha sampai melimpahkan perkara ini ke pengadilan.

Writer

Zulchulaefa

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah STIS Al-Wafa Bogor

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya