Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik Opera

Sadar gak sih, kalau kisahnya ada unsur patriarki yang kuat

Bagi penikmat musik, musik opera bukanlah sesuatu yang asing. Meskipun tidak begitu populer di Indonesia, namun penikmat musik pasti pernah mendengarnya setidaknya sekali. Apalagi semenjak drama korea Penthouse booming di berbagai platform sosial media.

Musik opera adalah pertunjukan yang menonjolkan drama dari sisi musikal. Keunikan dari opera adalah dialognya diucapkan disampaikan lewat nyanyian. Dengan perpaduan instrumen orkestra dan vokal seriosa, pertunjukan opera memberikan kesan mewah.

Tetapi jarang disadari masyarakat, bahwa ada sisi misoginis dalam cerita opera. Di balik kemegahan pertunjukan opera, kisahnya memiliki unsur patriarki yang kuat. Selain dari segi cerita, dari segi pertunjukan juga minim partisipasi aktif dari perempuan.

Baca Juga: [OPINI] Mars Ospek Prodi Memuat Pelecehan Seksual Verbal

Baca Juga: [OPINI] Konten Ekstrem Ria Ricis di Jet Ski, Eksploitasi Anak?  

Kisah perempuan yang selalu berakhir tragis

Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik OperaAkhir kisah La Traviata yang tragis (https://www.youtube.com/@lavozporexcelencia5690)

Kebanyakan kisah opera memiliki ending yang tragis bagi tokoh perempuannya. Chief Culture Writer dari The Guardian, Charlotte Higgins, memaparkan beberapa contoh kisah tragis tokoh perempuan pada kisah opera dalam artikel yang berjudul "Is opera the most misogynistic art form?"

Ia mencontohkan tokoh Violetta dari La Traviata meninggal dan citranya sebagai pelacur membuat cintanya tidak direstui oleh ayah Alfredo, pria yang ia cintai. Lalu dalam kisah opera Lammemoor, Lucia dipaksa menikah dengan orang yang dipilih oleh keluarganya. Kisah tersebut berakhir dengan Lucia yang membunuh calon suaminya, kemudian mengakhiri hidupnya sendiri.

Kisah-kisah opera ini memperlihatkan bahwa perempuan sering menjadi korban dari cinta yang tidak direstui. Cerita yang disuguhkan pada pertunjukan opera mencerminkan realita perempuan pada masa itu, ditekan dengan stigma, terikat dengan peraturan keluarga, hingga tidak mampu membuat pilihan sendiri.

Karya komposer perempuan jarang dipertunjukkan

Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik OperaJudith Weir (classical-music.com)

Stasiun Radio Cigital Classic FM mengeluarkan list 10 komposer klasik terpopuler. Nama Mozart, Verdi, dan Handel masuk dalam list tersebut. Namun tidak ada nama perempuan yang masuk dalam daftar 10 komposer klasik populer.

Damian Thompson, Editor The Spectator, memaparkan alasan popularitas komposer perempuan kalah banding dengan laki-laki. Dari segi karya, perempuan di abad ke-20 memang jarang yang menulis karya musik. Harus diakui, kualitas musik dari komposer perempuan abad 20 tidak sebaik komposer laki-laki. Ditambah dengan kriteria musik klasik yang cenderung lebih kaku dibandingkan musik zaman sekarang.

Sebetulnya, ada beberapa komposer perempuan yang cukup memiliki nama di kalangan penikmat musik opera. Sebut saja Clara Schumann, putri dari Robert Schumann. Namanya terkenal karena sang ayah merupakan komposer ternama di dunia. Ada pula Germaine Tailleferre (1892-1983), Ethel Smyth (1858-1944), Judith Weir, Roxanna Panufnik, dan lainnya. Namun nama mereka tidak sepopuler komposer laki-laki di atas.

Perempuan mendapat lebih sedikit peran di pertunjukan opera

Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik OperaPertunjukan opera "Lammermoor" (YouTube.com/amarilloopera9090)

Seorang penyanyi mezzo-soprano bernama Mathilda Bryngelsson melakukan penelitian tentang pembagian laki-laki dan perempuan dalam mendapatkkan peran di pertunjukan opera. Penelitian tersebut dilakukan di 50 pertunjukan top global sepanjang tahun 2010-2019, dan tulisannya diterbitkan di Theempoweredmusician.com.

Hasilnya, ada ketimpangan antar jenis kelamin. Laki-laki berpeluang 62 persen untuk mendapatkan peran di pertunjukan opera, sedangkan perempuan hanya 35 persen (Tiga persennya adalah anak).

Bryngelsson juga menemukan fakta, bahwa dari top 25 opera yang dia teliti, penyanyi dengan jenis suara tenor dan bariton/bass memiliki peluang 62 persen menjadi pemeran penting (tokoh protagonis/antagonis).

Perempuan dianggap objek seksual ketika menjadi konduktor

Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik OperaVasily Petrenko dan Marin Alsop (liverpoolphil.comclassical-music.com)

Marin Alsop adalah konduktor perempuan pertama yang memenangkan Koussevitzky Price untuk memimpin orkestra, dan konduktor pertama yang mendapatkan penghargaan MacArthur Fellowship atau biasa disebut "Genius Grant". Walaupun sudah menoreh prestasi, Marin Alsop tetap mendapat komentar negatif karena gendernya.

Dilansir dari Theguardian.com, Vasily Petrenko, seorang Chief Conductor di National Youth Orchestra dan Royal Liverpool Philharmonic memberikan pernyataan yang kontroversial. Petrenko menganggap bahwa orkestra seharusnya dipimpin oleh laki-laki. Jika perempuan yang memimpin, pemusik akan salah fokus melihat penampilan perempuan yang ada di depannya.

Meskipun sudah ada perempuan seperti Marin Alsop, musisi perempuan tetap tidak lepas dari stigma sosial. Perempuan masih diperhatikan dari tubuhnya, bukan dari kemampuannya. Ditambah posisi perempuan yang dianggap nomor dua dibanding laki-laki, musisi perempuan kerap kali diremehkan untuk menjadi pemimpin sebuah orkestra.

Pertunjukan opera menyisipkan potret masyarakat yang misoginis pada masa itu lewat kisah yang diceritakan. Tak hanya dari segi kisah, dari sisi pementasan pun perempuan tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk menunjukkan kemampuannya karena ada diskriminasi gender. Sudah saatnya perempuan diberi kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk menunjukkan kemampuannya dalam bermusik.

Kristina Jessica Photo Community Writer Kristina Jessica

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya