TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Mars Ospek Prodi Memuat Pelecehan Seksual Verbal

Lagu mars ini menormalisasi kekerasan seksual

Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Mahasiswa digadang-gadang sebagai agent of change atau agen perubahan sosial. Maka tak ayal, dalam dinamika politik suatu negara, mahasiswa dan mahasiswi terlibat dalam berbagai pergerakan perubahan untuk tujuan memperbaiki keadaan.

Sayangnya, semangat mereka sebagai agen perubahan masih belum sampai menyentuh pada aspek sensitivitas gender. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana regenerasi mahasiswa baru di berbagai kampus jarang, atau bahkan tidak memiliki agenda penetrasi keilmuwan yang mengarah pada rekonstruksi gender yang ramah terhadap kelompok termarjinalkan.

Beberapa waktu lalu, himpunan mahasiswa perguruan tinggi di Bali mengadakan program kegiatan masa orientasi mahasiswa tingkat program studi (prodi). Mahasiswa baru (Maba) diminta menyanyikan lagu mars secara online dan didokumentasikan, kemudian diunggah ke akun Instagram pribadi dengan men-tag Instagram himpunan mahasiswa kejuruan.

Jika didengarkan secara saksama, lagu mars tersebut mengandung unsur pelecehan seksual yang bersifat verbal. Jika verbalitas pelecehan seksual saja dinormalisasi, maka rentan kemungkinan kekerasan seksual yang bersifat fisik seperti perkosaan akan dianggap sebagai hal biasa atau lumrah. Berikut ini catatan penulis dalam fenomena ini.

Baca Juga: Pastikan 5 Hal Ini Sebelum Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos  

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Hati-hati pelecehan seksual verbal dalam mars

Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Gue anak (menyebut nama jurusan di kampusnya)

Tampangnya sangar-sangar

Biar sangar-sangar tapi hatinya mawar

Gue anak (menyebut nama jurusan di kampusnya), pria kesepian 

Mumpung lagi jomblo, ayo kita let's go

Cewek-cewek godain kita dong!

Cewek-cewek kita lagi kosong

Cewek-cewek mau yang itu dong!

Tunggu apa lagi

Ayo ke kos, dum!

Pelecehan seksual baik verbal maupun non-verbal telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022, dan juga termaktub dalam Permendikbudristek Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Nomor 30 Tahun 2021.

Satu bentuk pelecehan seksual verbal adalah cat calling yang biasanya terjadi di tempat umum, dan termasuk dalam kategori street harrasment. Mengomentari objek pandangnya dengan nada sensual dan menggoda. Tentu, cat calling memberikan efek negatif terhadap korban berupa rasa tidak nyaman dan ketakutan karena merasa terintimidasi.

Bagian lirik mars “cewek-cewek godain kita dong, cewek-cewek kita lagi kosong, cewek-cewek mau yang itu dong, tunggu apa lagi, ayo ke kos, dum!” bersifat harrasment. Mengapa demikian?

Penormalisasian cat calling di tempat umum atau bahkan diinterpretasikan sebagai sexies jokes di dalam circle pertemanan, termanifestasikan dalam lagu mars himpunan mahasiswa perguruan tinggi, yang juga dianggap sebagai hal bercandaan, tidak serius, dan biasa.

Padahal lirik mars bernada harrasment ini bisa berimplikasi serius, bahwa budaya perempuan menggoda laki-laki atau sebaliknya, hanya sebagai upaya pemenuhan hasrat seksual menjadi perilaku yang wajar.

Jika memang mahasiswa adalah agen perubahan, maka perlu dipertanyakan, aspek mana yang perlu diubah? Jika pelecehan seksual saja dianggap normal dan tidak termasuk kejahatan, bahkan dijadikan lagu mars, mahasiswa juga berkontribusi atas kontruksi sosial yang menormalisasi kejahatan pelaku kekerasan seksual.

2. Mars berikut ini juga mendiskreditkan perempuan sebagai objek seks

ilustrasi pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Pasukan jalan kaki, gerombolan perjaka muda

Burung gede besar siap terjang semua lubang 

(menyebut nama jurusan di kampusnya) jos jos jos

Siapa suka boleh ikut

Masuk kamar, tutup selimut

Keluar kamar, rambut kusut

Burung perkutut manggut-manggut

Burung perkutut gejrot-gejrot, ah!

Menurut penulis, lagu mars di atas menyiratkan sensualitas dan objektifikasi perempuan sebagai pemuas hasrat seksual.

“Burung gede besar” dapat diartikan sebagai penis. “Semua lubang” bermakna vagina perempuan. “Burung perkutut manggut-manggut” adalah istilah untuk menggambarkan kondisi penis laki-laki pra atau pascahubungan seksual berlangsung, dan lirik “Burung perkutut gejrot-gejrot ah!“ berarti terjadinya penetrasi penis ke vagina.

Pelecehan seksual verbal dianggap hal normal karena bukan kekerasan seksual yang bersifat benturan fisik. Hal ini juga dianulir karena minimnya edukasi seksual sejak dini tentang tubuh. Penis diistilahkan sebagai burung. Vagina memiliki nama lain sebagai lubang, warung, dan istilah lainnya yang terkait. Atau payudara dalam bahasa gaulnya disebut toket.

Penamaan anggota tubuh seperti penis, vagina, payudara, bibir, yang rentan dipornokan oleh sebagian besar masyarakat patriarkis, adalah cerminan budaya maskulin yang menganggap manusia, baik laki-laki atau perempuan dan/atau gender non biner lainnya, hanya sebatas pemuas nafsu atau objek seks.

Budaya seksis seharusnya tidak diproduksi oleh mahasiswa yang konon katanya terpelajar dan berintelektual. Mahasiswa dilahirkan untuk memanusiakan manusia, bukan malah sebaliknya mengobjektifikasi manusia marjinal sebagai barang pemuas nafsu. Agen perubahan sosial haruslah memiliki perspektif gender berdasarkan asas saling menghormati dan menghargai.

Writer

Ufiya Amirah

Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Udayana

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya