TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Nandurin Karang Awak, Refleksi Kesenian Bali dalam Pandemik 

Oleh: Komang Agus Triadi Kiswara

Ilustrasi kesenian Bali. (Dok.IDNTimes/istimewa)

Rwa Bhineda tidak hanya sebuah ungkapan yang bermakna dualisme dalam kehidupan masyarakat Bali, perihal baik buruk, atas bawah, maupun sejenisnya. Namun lebih jauh dari itu, konsep Rwa Bhineda menempatkan manusia Bali pada titik tengah kehidupan, sehingga sesungguhnya selalu ada ruang untuk tetap berpikir positif.

Pandemik COVID-19 yang melanda Bali, telah menghentak kemampuan berpikir tentang Rwa Bhineda tersebut, kekacauan dalam diri masyarakat bermunculan. Analoginya adalah seperti seseorang yang tidak bisa berenang, namun dengan tiba-tiba diceburkan ke dalam kolam. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah tetap tenang, karena kepanikan tentu tidak akan menolong.

Ketenangan hanya akan muncul kala manusia mampu berada di titik tengah dengan kembali kepada konsep pemahaman Rwa Bhineda itu sendiri. Apabila kita mengungkap sisi buruk virus corona, tentulah sangat banyak. Terlebih hanya dalam kurun beberapa waktu saja, virus ini telah menelan korban jiwa dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Namun dalam perspektif Rwa Bhineda, tentunya virus ini juga memberikan dampak positif. Seperti yang kita ketahui, Pulau Bali dan masyarakatnya dengan segala tatanan yang ada, telah mengalami perubahan yang justru menjauhkan mereka dari nilai-nilai yang telah dibangun oleh leluhur orang Bali. Setidaknya hal inilah yang juga diungkapkan oleh Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD dalam bukunya berjudul Membaca Perubahan Bali. 

Menurut penulis buku tersebut, ada lima sendi dalam kehidupan masyarakat Bali yang sudah mulai bergeser, di antaranya agama, adat, budaya, sosial, dan pendidikan. Pergeseran makna itu juga berdampak terhadap kehidupan kesenian. Bali yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai seni budaya, telah mengalami perubahan yang cukup signifikan, utamanya seni pertunjukan tradisonal.

Dekonstruksi tanpa adanya filterisasi

IDN Times/Irma Yudistirani

Komersialisasi seni terjadi di sana sini. Dekonstruksi seni tanpa adanya filterisasi yang jelas juga bermunculan, dengan alasan utama untuk mengejar pasar. Hal ini tentunya berdampak positif dari segi eksistensi kesenian tersebut, namun berdampak pula pada kemunduran terhadap struktur kesenian yang telah dibangun oleh para generasi pendahulu serta mengaburkan nilai-nilai yang tersemat dalam kesenian tersebut.

Bila kita tinjau ulang kesenian-kesenian yang dibangun oleh Sang Kawi terdahulu, proses berkesenian dilakukan dengan penuh perhitungan dengan aturan-aturan yang cukup mengikat. Hasilnya, karya-karya tersebut tak lekang oleh waktu dan selalu memunculkan pemaknaan baru dalam setiap masa, baik dari sisi estetika maupun filosofisnya.

Tentu karya-karya yang maha agung seperti itu tidak dikerjakan dalam waktu yang singkat, namun perlu pendalaman yang cukup lama guna dapat menyusun penangkapan ide, gagasan, dan intuisi dalam berkesenian. Terlebih ketika kesenian dipakai sebagai media siar untuk menyampaikan pendidikan dalam bidang agama, sosial, budaya, dan adat.

Struktur dan materi kesenian seyogyanya mampu memberikan pemahaman yang positif terhadap tatanan kehidupan. Orientasi di dalam berkarya juga menjadi salah satu faktor terjadi transformasi dalam berkesenian. Kawi-kawi terdahulu dalam menciptakan sebuah kesenian, selalu berorientasi kerja seni sebagai wujud persembahan ke hadapan Sang Hyang Widi Wasa.

Hasil kerja tersebut dibentuk dengan pendalaman dan penghayatan religius yang mendalam. Pergulatan yang terus menerus tersebut muaranya adalah taksu pada kesenian itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap oleh Prof I Wayan Dibya, yakni terbangunnya sebuah taksu dalam berkesenian, setidaknya didukung oleh tiga faktor, di antaranya fisik, mental, dan spiritual. Ketiga aspek tersebut terjalin secara harmonis.

Proses berkesenian para empu seni terdahulu kontradiktif dengan produk kesenian saat ini, di mana seniman diporsir untuk berkarya dengan cepat dengan alasan menjaga eksistensi  yang orientasinya adalah finansial. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menampikkan keberadaan modernisasi sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam kehidupan berkesenian yang juga memacu seseorang untuk terus berkarya dengan dalih untuk meningkatkan pundi-pundi rupiah dan eksistensi personalnya. Perubahan-perubahan yang telah keluar jalur ini hendaknya mulai direm agar kesenian di Bali tidak semakin jauh dari rel yang telah ada. Maka dalam situasi pandemik inilah saatnya kita mulai berbenah untuk dapat mengembalikan kesenian ke ruh semula.

Membangun kembali pondasi yang kokoh

IDN Times/Wayan Antara

Dalam situasi pandemik ini, hampir seluruh bentuk pementasan kesenian yang melibatkan banyak orang ditiadakan. Sesungguhnya ini adalah sebuah peluang bagi para seniman, diberikan ruang untuk dapat melakukan internalisasi terhadap nilai-nilai kesenian yang telah ada. Hal ini sebagai bentuk pondasi dalam membangun kesenian yang kelak mampu memiliki nilai-nilai tinggi yang adi luhung.

Bak membangun sebuah candi, maka di era COVID-19 ini, adalah sebuah kesempatan untuk dapat membuat pondasi yang kokoh sehingga kelak menjadi sebuah candi kesenian yang megah dan meninggalkan jejak makna sepanjang masa.

Tentu para seniman tidak bisa berbuat sendiri membangun kesadaran dalam upaya menyusun kembali tatanan berkesenian. Setidaknya ada tiga pilar utama yang harus saling berjalinan, di antaranya masyarakat, seniman itu sendiri, dan pemerintah. Masyarakat sebagai penikmat seni memiliki kesadaran akan bentuk-bentuk kesenian yang telah ada di Bali, rasa memiliki dan bertanggung jawab akan kelestarian kesenian harus dipupuk. Hal ini penting sebab seni itu tidak semata-mata hanya untuk dinikmati sebagai bentuk pemuas indra saja, tetapi kesenian itu juga mengandung nilai-nilai yang dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia. Seniman sebagai pelaku, setidaknya memiliki kesadaran interpersonal untuk lebih mengkaji lagi bentuk-bentuk kesenian serta proses dalam berkesenian.

Pemerintah sebagai pucuk tertinggi dalam sebuah tatanan kenegaraan memiliki fungsi vital dalam membangun kembali kehidupan berkesenian. Pemerintah seyogyanya mampu menjadi corong bagi masyarakat dan para seniman sehingga bisa bersinergi dengan seniman dengan memberikan ruang untuk dapat mengokohkan kembali pondasi dalam berkesenian.

Pada era pandemik ini, sinergitas antara pemerintah dan seniman ibarat percakapan Ida Pendanda Sidemen dengan sang istri yang termuat dalam salah satu geguritan selampah laku, “idep beline mangkin, makingkin mayasa lacur, tongelah karang sawah karang carike tandurin, guna dusune kanggo ring desa-desa”. Bila penulis terjemahkan bebas dalam penggalan bait geguritan tersebut, tersirat makna yang cukup mendalam di mana kalimat idep beline mangkin mekingkin meyasa lacur, adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan sebuah ajakan sinergi untuk dapat mengarungi segala kekurangan.

Ungkapan tersebut adalah sebuah auto kritik. Setidaknya di era pandemik ini ada dua jenis kekurangan dalam membangun kesenian. Pertama, kurangnya kesempatan untuk menunjukkan buah intuisi bagi seniman, di sisi lain adalah terjadinya perubahan-perubahan kesenian yang telah keluar dari jalur.

Namun demikian, solusi yang diberikan termuat dalam bait berikutnya, tuara ngelah karang sawah, karang awake tandurin yang maknanya adalah kemampuan dalam mengolah daya imajinasi yang mendalam dalam diri manusia serta tidak meninggalkan laku spirit yang telah menjadi acuan seniman terdahulu sehingga luarannya seperti yang diharapkan, munculnya taksu pada seniman dan juga karya seninya. Guna dusune kanggo ring desa-desa yang dimaknai sebagai bentuk sederhana, namun kaya dengan nilai-nilai.

Berita Terkini Lainnya