Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Melalui Lensa ADAPTIF: Suara Inklusivitas Menuju Kemandirian

Potret disabilitas yang dipajang di ruang pameran Annika Linden Centre (dok. pribadi/Leona Wirawan)

Di dunia yang belum aksesibel, kita jarang menjumpai disabilitas dalam keseharian. Orang dengan disabilitas bukannya sedikit jumlahnya. Kalau merujuk berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, jumlah penyandang disabilitas di Provinsi Bali sebanyak 20.428 orang. Namun, saat ini mereka belum bisa berdikari sepenuhnya akibat absennya pemenuhan hak-hak disabilitas yang holistik. Penyediaan alat bantu adaptif adalah satu dari banyaknya pekerjaan rumah yang ada.

Pameran fotografi bertajuk “ADAPTIF #AssistiveTechTales” pun hadir sebagai wadah ekspresi teman-teman disabilitas sekaligus mendorong upaya penyelesaian pekerjaan rumah tersebut. Berlangsung di Annika Linden Centre, Jalan Bakung Nomor 19, Kelurahan Kesiman, Kota Denpasar selama 2-9 Februari 2025, pengunjung berkesempatan melihat dan mendengar cerita personal dari seniman disabilitas. Kenapa kamu wajib datang ke sini?

1. Siapa bilang disabilitas adalah beban?

Salah satu karya seniman disabilitas, I Wayan Damai (dok.pribadi/Leona Wirawan)

Anggapan disabilitas itu beban merupakan salah kaprah yang beredar di masyarakat dalam waktu yang panjang. Sering kali disabilitas dijadikan sumber berbelas kasihan. Pada dasarnya disabilitas setara, ,ampu beraktivitas dan bekerja jika ada aksesnya. Nah, ini yang kurang menjadi perhatian.

Alat bantu adaptif tentu menjadi solusi dari hambatan lingkungan yang terjadi sekaligus membangun kemandirian disabilitas. Secara sederhana, alat bantu adaptif bisa dijelaskan sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan penggunanya. Analoginya seperti kita berpakaian. Kalau ukuran pakaiannya sesuai dengan ukuran kita masing-masing, pasti lebih nyaman.

Oleh karenanya, sebelum alat bantu adaptif dibuat perlu adanya pengukuran tubuh calon pengguna baik itu bagian pinggang, kaki, dan lainnya. Tujuannya, supaya penggunanya kelak bisa leluasa bergerak dan beraktivitas. Apabila terjadi perubahan fisik terhadap pengguna seperti bertambah tinggi maupun berat badan, tentunya alat bantu kembali disesuaikan.

Bukannya mustahil menghadirkan alat bantu adaptif di Bali. Karena praktik baik itu sudah diinisiasi di Yogyakarta. Balai Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial Yogyakarta bekerja sama dengan UCP Roda Untuk Kemanusiaan menyediakan alat bantu adaptif seperti kursi roda adaptif, kaki/tangan palsu, brace, dan lainnya secara gratis.

Gugus Tugas Alat Bantu Adaptif Disabilitas Bali pun selama ini sudah mengadvokasi dan mendorong regulasi seperti Peraturan Wali Kota Denpasar dan Peraturan Bupati Badung mengenai ini. Hari ini belum mendapatkan hasil konkritnya. Akan tetapi, melalui pameran ini diharapkan mampu mendorong alat bantu adaptif segera dianggarkan dan direncanakan oleh pemerintah daerah di Bali.

2. Workshop fotografi sebagai wadah disabilitas berkarya dan advokasi

Flyer undangan photo story workshop (instagram.com/bumisetara)

Sebelum pameran, enam orang disabilitas mengikuti Photo Story Workshop. Berlangsung selama dua hari pada Desember 2024 lalu di Annika Linden Centre. Bersama Angga Mahendra selaku fotografer profesional, para disabilitas belajar menceritakan kisah mereka dengan lebih tajam namun humanis melalui media visual.

Peserta workshop, Dinda Mahadewi, memotret perbedaan alat bantu adaptif dan alat bantu standar. Baginya, ini sekaligus kritik bagi pemerintah yang gagal menghadirkan alat bantu adaptif yang sangat dibutuhkan teman-teman disabilitas. Peran pemerintah tentu didambakan karena masih mahalnya alat bantu adaptif bila dibeli secara mandiri. Bisa mencapai Rp50 juta.

Dalam kesempatan yang sama, Komang Handayani, peserta workshop lainnya, mengisahkan proses kreatif di balik layar. Ketika workshop berlangsung, peserta diarahkan untuk fokus memotret alat bantu adaptif. Kebetulan di lokasi sedang ada anak-anak berkumpul sehingga bisa menjadi objek fotografi.

“Dalam workshop dijelaskan secara singkat photo story itu apa. Singkat dan sederhana, tidaklah teoritis. Kita diajak praktik langsung. Langsunglah difoto sambil diajari tekniknya,” cerita Bu Komang.

Kenapa fotografi? Sang kurator, Savitri Sastrawan, menjelaskan dipilihnya format fotografi dengan maksud bisa straightforward dan efektif menyampaikan pesan advokasi sekaligus menyesuaikan dengan lokasi pamerannya nanti. Selain juga ada alasan personal, seperti jam terbang Savitri lebih banyak mengurasi karya-karya fotografi.

3. Potret nge-blur paling mencuri perhatian

Selain hasil fotografi, contoh alat bantu adaptif juga dipamerkan (dok.pribadi/Leona Wirawan)

Kendati pameran fotografi ini fokus terhadap alat bantu adaptif untuk disabilitas fisik, rupanya seniman yang terlibat berasal dari ragam disabilitas. Komang Handayani merupakan seorang ibu yang mempunyai low vision. Ia tampil dengan karya berbeda dengan yang lainnya. Hasil foto sengaja dibuat nge-blur sesuai sudut pandangnya.

“Dibuat nge-blur atas saran Kak Angga (pengajar fotografi) juga. Pas memotret, sengaja digoncangkan. Bagaimana bisa nge-blur tapi alat bantu adaptifnya tetap terlihat. Supaya orang lebih pengin tahu. Karena awal ikut workshop juga tertarik melakukan photo story seperti yang ada di Instagram,” terang Komang Handayani.

Tidak menyangka karya tersebut paling mencuri perhatian para pengunjung pada sesi opening pameran. Terbukti pada sesi diskusi di akhir pameran, orang-orang bertanya proses kreatif di baliknya. Bahkan Komang Handayani menuai apresiasi dari perwakilan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI).

“Bahwasanya ada teman netra kami dalam hal ini kategori low vision terlibat dalam pameran, itu luar biasa. Saya kira kami terdiskriminasi karena masalahnya foto-memfoto. Kami yang netra, total blind pasti tidak bisa melaksanakan begitu. Tapi, astungkara, ada teman low vision yang bisa mengikuti,” ujar Bawa, dari PERTUNI.

4. Berdamai dengan keadaan, bukan berdamai dengan stagnasi

I Wayan Damai (berbaju hijau) saat sedang bercerita tantangannya sebagai disabilitas fisik (dok.pribadi/Leona Wirawan)

Hal menarik lainnya adalah presensi I Wayan Damai sebagai satu-satunya seniman yang tampil dengan alat bantu adaptif di pameran ini. Objek fotografinya pun dirinya sendiri sehingga semakin personal. Ia yang dahulu juga belum mengenal alat bantu adaptif. Hadirnya alat bantu adaptif di hidupnya mampu membuat pria asal Tegalalang itu pergi bekerja, melakukan pekerjaan domestik, dan lainnya.

“Dahulu, sebelum ada kursi roda itu sangat berat. Latar belakangnya saya dari kampung. Saya dulu sekolah ditolak karena dinilai merepotkan dan tidak perlu sekolah. Jadi, saya melukis lukisan tradisi untuk menghasilkan uang. Cuma saya tidak bisa menuliskan nama sendiri di lukisan itu. Sedih sekali. Untuk mandi dan lainnya, saya merangkak,” tutur Damai.

Ia melanjutkan, “Setelah berpasrah ke Tuhan, saya bisa sekolah di SLBN Bangli. Saya berjuang di situ supaya bisa membaca dan menulis. Karena sudah bisa baca-tulis, saya berpikir balik kampung di kelas 2 SD. Tapi, guru membujuk terus untuk mau lanjut (sekolah). Dari situ, saya ikut seni dan olahraga. Akhirnya, dapat kursi roda standar. Tangan jadi sakit semua untuk jarak sekian kilo pakai itu. Baru sejak pakai kursi roda adaptif, saya bisa lebih aktif berkegiatan karena nyaman untuk jalan jauh. Saya bisa mandiri saat di bandara bawa-bawa barang.”

Ada konstruksi sosial mengenai disabilitas di masyarakat yang ingin didobrak Damai. Anggapan bahwa disabilitas hanya sebuah kekurangan. Padahal masih ada banyak hal yang bisa diperbuat, termasuk bekerja dan berkarya. Makanya, alat bantu adaptif menjadi penting dengan diikuti pula fasilitas publik yang ramah disabilitas.

“Saya jengah supaya teman-teman tidak merasakan seperti saya. Pengalaman (pahit) itu cukup di saya, yang lain tidak usah mengalami.”

Pamerannya boleh hanya delapan hari dan bersifat cuma-cuma. Namun, kamu yang akan berkunjung pasti memetik pembelajaran tak ternilai dan bisa dibagi ke sekitar. Apalagi kalau bukan untuk mendorong negara menjadi lebih inklusif. Cao, berangkat!

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Ayu Leona Wirawan
EditorNi Komang Ayu Leona Wirawan
Follow Us