Kuasa Kharismatik Kiai dalam Kasus Kekerasan Seksual
Agama tidak membenarkan kekerasan seksual
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kekerasan seksual dalam kacamata sosial memiliki karakter kejahatan yang khas baik secara moril atau nilai-nilai susila, kultur, agama, bahkan hingga pada tatanan kekuasaan politik. Masyarakat patriarkis memandang kekerasan seksual sebagai tindakan asusila sehingga rentan terjadi victim blaming. Namun, semenjak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, perilaku kejahatan tersebut dimaknai lebih luas yakni dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelaku wajib dikenakan sanksi hukum.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang disakralkan masyarakat dalam hal ini pondok pesantren (Ponpes). Kaum agamawan menilai bahwa untuk menjaga keimanan seseorang di tengah gempuran sekularisme dan liberalisme agama, maka ponpes menjadi tempat pilihan bermuhasabah agar religiulitas seorang hamba dapat terjaga. Oleh karena itu, para guru a.k.a kiai---sebutan bagi tokoh agama yang memiliki keilmuwan Islam yang tinggi--dimuliakan dan berkharisma untuk memimpin umat.
Sayangnya, pelaku kekerasan seksual yang notabene adalah kyai tak jarang terjadi di pondok pesantren dengan memanfaatkan kepemimpinan kharismatiknya mengelabui korban. Kasus Muhammad Subchi Azal Tsani, kiai asal Jombang Jawa Timur, dan kasus Herry Wirawan, tokoh agamawan asal Bandung, Jawa Barat, merupakan sederet pelaku kekerasan seksual di ponpes.
Baca Juga: Pastikan 5 Hal Ini Sebelum Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos
Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata
1. Kiai sebagai the rule model masyarakat Islami
Kiai memiliki posisi strategis dalam kelas sosial. Menurut Edi Susanto dalam Kepemimpinan Kharismatik Kyai (2007), kiai memiliki magnetasi terhadap para pengikutnya karena kemantapan moral dan kualitas iman. Karena itu, kiai tidak hanya dipandang sebagai elit agama saja, tetapi juga sebagai elit pesantren yang memiliki otoritas tinggi dan berkompeten membentuk corak kultur masyarakat.
Sartono Kartodirjo juga menegaskan, bahwa kyai di pondok pesantren merupakan sosok penting yang dapat menciptakan tatanan sosial, dan kehidupan beragama kewarganegaraan umat muslim di Indonesia (2007:114).
Sejalan dengan Edi dan Sartono, menurut Roy Murtadho, Pengasuh Pesantren Misykat Al-Anwar Bogor, mengungkapkan bahwa kyai adalah guru moral yang menjadi rujukan dan tauladan masyarakat muslim.
"Dalam Bahasa Jawa, Ulama biasa dipanggil kiai atau dulu dipanggil sunan yang berarti orang yang ditinggikan posisinya dalam struktur sosial masyarakat muslim karena penguasaannya terhadap ilmu agama. Pada umumnya yang dianggap kiai adalah org yang mengelola atau pengasuh pesantren. Bisa juga guru agama yang memberi pelayanan pengajaran Agama Islam pada masyarakat luas. Kenapa posisi mereka penting di tengah masyarakat? Karena dianggap selain menguasai ilmu agama, juga menjadi rujukan moral bagi masyarakat," jelas Roy, Rabu (18/7/2022).
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.