Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mimpi Gen Z Punya Rumah di Bali, Mungkinkah?

Foto hanya ilustrasi (IDN Times/Yuko Utami)

Gianyar, IDN Times - Ketut Ayu (20) masih ada impian untuk memiliki rumah di Bali. Mahasiswa jurusan manajemen di Bali ini menargetkan rumah di daerah Kota Denpasar, seperti kawasan Kelurahan Renon. Menurutnya, model rumah di sana bagus, dan berada di tengah pusat aktivitas maupun akses. Namun dibandingkan membangun, Ayu lebih tertarik membeli rumah. Mengingat, membangun rumah memerlukan jangka waktu yang panjang.

“Kondisi lingkungan juga. Itu sih kalau bangun rumah ya. Kalau beli (rumah) kayaknya lebih possible nanti. Tergantung, masih ada rumah yang pas dan available (tersedia) gitu,” jelas Ayu sambil tertawa saat dihubungi pada Rabu, 15 Januari 2025 lalu.

IDN Research Institute meluncurkan Laporan Milenial dan Gen Z Indonesia 2025. Laporan tersebut memaparkan bagaimana tujuan Generasi Z (Gen Z) dalam menyimpan dan merencanakan keuangan mereka. Melalui survei yang dilakukan IDN Research Institute, sebanyak 36 persen Gen Z memprioritaskan keuangan mereka untuk dana darurat. Sedangkan 22 persen Gen Z menyimpan uang mereka untuk membeli rumah atau properti. Berikutnya 19 persen menikmati liburan dan pengalaman hidup.

Fokus Gen Z pada dana darurat mencerminkan bahwa mereka ingin menyeimbangkan keamanan dan pengalaman untuk memperkaya hidup. Sedangkan investasi properti mencerminkan kesadaran mereka akan pentingnya stabilitas jangka panjang. Sementara, Gen Z menyisihkan uangnya untuk perjalanan dan pengalaman demi mencari pertumbuhan dan pemenuhan diri.

Survei di atas menunjukkan Gen Z tetap ingin menyimpan uangnya untuk membeli rumah. Meski begitu, Ayu menyadari sebagai generasi perintis, akan ada sederet tantangan saat membeli rumah di Bali. Tantangan itu seperti ketersediaan lahan yang diikuti dengan meningkatnya harga rumah. Kondisi alam dan cuaca yang tidak stabil, juga menjadi kekhawatirannya. Meskipun bermimpi punya rumah, Ayu mengaku khawatir impiannya tidak terwujud.

Berdasarkan data dari Bank Tabungan Negara (BTN) Properti, harga rumah nonsubsidi di Denpasar berada di kisaran Rp600 juta hingga lebih dari Rp1 miliar. Satu di antara tipe rumah nonsubsidi itu ada yang berlokasi di Renon. Harganya Rp785 juta dengan tawaran cicilan sebesar Rp4 juta per bulan.

Asumsi pendapatan dan pengeluaran bulanan Ketut Ayu. (IDN Times/Yuko Utami)

IDN Times Bali mencoba menghitung asumsi sisa uang gaji Ayu yang bisa ditabung setiap bulan. Misalkan ia memilih bekerja di Kota Denpasar dengan gaji Upah Minimum Regional (UMR) Rp3.298.116 per bulan, tanpa menyewa kos alias tinggal di rumah sendiri. Dari hasil penghitungan, Ayu hanya menyisakan uang Rp398.116 sebagai tabungan. Artinya, jika Ayu memilih bekerja dengan gaji UMR Kota Denpasar, maka dia belum cukup uang untuk memulai cicilan rumah impiannya di Renon.

Dikutip dari Antara, Real Estat Indonesia (REI) Bali menyatakan pembangunan rumah subsidi dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak menyasar wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar karena harga tanahnya mahal. Pada periode Oktober 2023 saja, harga tanah di kawasan Kelurahan Renon, Kecamatan Denpasar Selatan seharga Rp12,3 juta per meter dengan luas tanah 60 meter persegi jika melihat di BTN Properti. Sedangkan harga bangunannya Rp4 juta per meter dengan luas 70 meter persegi.

Sebagian besar orang masih ingin punya rumah di Bali

IDN Times Bali membuat polling sederhana di story Instagram pada 14 Januari 2025 lalu pukul 14.41 Wita. Ada 42 akun yang terlibat dalam polling. Dari jumlah itu, sebanyak 37 akun atau 88 persen menjawab ingin memiliki rumah di Bali. Sedangkan 5 akun atau 12 persennya memilih tidak.

Berikutnya pukul 19.46 Wita, IDN Times Bali membuat pertanyaan terbuka tentang lokasi impian rumah di Bali. Dari 88 persen yang memilih ingin punya rumah di Bali, hanya tiga akun yang menjawab lokasi rumah impiannya. Ketiganya menjawab Kabupaten Tabanan; pinggiran Kota Denpasar atau Kabupaten Tabanan; dan Renon, Kota Denpasar.

Tabanan menjadi satu di antara Kabupaten di Bali yang menjadi prioritas pembangunan rumah bersubsidi. Kabupaten prioritas rumah bersubsidi lainnya ada Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Jembrana. Tabanan kemungkinan besar jadi pilihan, karena akses lokasinya masih lebih dekat ke pusat kota seperti Denpasar maupun Badung. Itu diperkuat oleh Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tabanan Tahun 2023-2043.

Bahwa, tanah seluas 15.281 hektare di Kabupaten Tabanan diperuntukkan sebagai kawasan permukiman. Masing-masing untuk kawasan permukiman perkotaan seluas 7.666 hektare di seluruh kecamatan; dan perdesaan seluas 7.613 hektare di delapan Kecamatan yang meliputi Baturiti, Kerambitan, Marga, Penebel, Pupuan, Selemadeg, Selemadeg Barat, dan Selemadeg Timur.

Sulit punya rumah di Bali berkaitan dengan kebijakan masa lalu

Akademisi Antropologi dari Universitas Udayana (Unud), Ngurah Suryawan, menjelaskan fenomena makin sulit punya rumah di Bali adalah efek domino dari kebijakan di masa lalu. Ia berpendapat, Bali sudah membuka ruang investasi dari luar ketika zaman orde baru mengeluarkan Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing.

“Banyak tanah orang Bali diambil alih secara langsung maupun perantara kepada orang-orang dari luar Bali. Sebenarnya akan menunggu semakin masif saja,” ujar Suryawan.

Fenomena masifnya pariwisata yang menghimpit kesempatan untuk memiliki rumah, dapat ditarik dari faktor sejarah. Seperti melalui buku karya Sejarawan Henk Schulte Nordholt berjudul Bali Benteng Terbuka. Upaya penggiringan pariwisata secara massal di Bali tidak terlepas dari peran Pemerintah Pusat. Menurut Suryawan, ekspansi ini mendorong kesenjangan sosial dan ekonomi yang kian jelas antara si miskin dan si kaya.

Pada level kebijakan nasional ada UU Cipta Kerja yang memudahkan peluang investasi asing. Suryawan melihat, pada level birokrasi tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memproteksi masifnya peralihan fungsi lahan di Bali.

“Level birokrasi adalah terutama pemerintah daerah yang memiliki kewenangan terhadap lokasi khususnya di wilayah selatan yang over tourism itu. Di level birokrasi, saya kira tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk memproteksi itu. Dia institusi negara, dia akan patuh dengan kebijakan pusat,” paparnya.

Ilustrasi hotel baru dibangun di wilayah Badung. (IDN Times/Yuko Utami)

Menyasar ke desa-desa

Sebagai akademisi, Suryawan telah lama mengamati fenomena ekspansi pariwisata dari daerah urban hingga ke pedesaan.

“Ketika terjadi perubahan lanskap wilayah saat orang kaya membeli properti tanah orang Bali di wilayah urban, mereka akan merambah ke wilayah rural pedesaan (berkaitan dengan masyarakat desa atau pertanian) yang berpotensi berkembang dengan pariwisata, dan itu sudah terjadi,” kata Ngurah.

Upaya pengarahan dan ekspansi ke industri pariwisata secara sistematis ini akan terus merambah ke wilayah baru. Bagi Suryawan, ekspansi ini juga berupaya mengarahkan masyarakat untuk bergantung pada industri pariwisata.

“Ini yang harus dilawan dengan memperkuat daya yang dimiliki desa-desa bahwa pariwisata itu bonus, martabat hidupnya dari sektor yang bukan pariwisata, tapi salah kaprahnya orang-orang Bali, pemerintah, tokoh masyarakat, akademisi justru mempariwisatakan semua desa,” terangnya.

Suryawan menawarkan sejak skala banjar, desa adat, hingga desa dinas menjadi pengawas untuk menjaga tanah agar tidak terlepas. Membuka alternatif wawasan bahwa pariwisata bukan mata pencaharian utama ataupun penting untuk dilakukan, dan dibersamai seluruh kalangan. Namun, Ia sendiri tidak yakin bahwa dalam waktu dekat kolaborasi untuk melindungi Bali dari masifnya alih fungsi lahan dapat terjadi. Gimana? Apa kamu masih optimis punya rumah di Bali?

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us