Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi Kecam Kekerasan pada Massa Aksi

- Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengecam kekerasan polisi terhadap massa aksi 30 Agustus 2025.
- Penyitaan dan penyedotan gawai massa aksi melanggar UU ITE dan PDP.
- Massa aksi ditangkap tanpa surat perintah, mengalami kekerasan fisik, penggundulan paksa, dan intimidasi data pribadi.
Denpasar, IDN Times - Koalisi Advokasi untuk Demokrasi mengecam penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) dari Kepolisian Daerah (Polda) Bali terhadap proses penangkapan massa aksi 30 Agustus 2025 lalu. Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite, menyampaikan bahwa Polda Bali menggunakan kekerasan dan pelanggaran hukum serta hak asasi manusia (HAM) dalam pengendalian massa.
Khusus kepada massa aksi, Rhadit dan Koalisi Advokasi untuk Demokrasi mengamati penggunaan gas air mata dan peluru karet yang berlebihan saat pengendalian massa aksi. Ia juga mengamati penangkapan massa aksi yang mengabaikan ketentuan hukum pidana. Penyisiran acak personil Kepolisian RI (Polri) melalui Polda Bali, ada 170 orang yang ditangkap. Termasuk penyitaan barang elektronik massa aksi dan penyedotan data.
“Temuan lain adalah barang-barang terutama barang-barang elektronik yang disita tersebut dilakukan penyedotan data, yang tentu saja melanggar hak privasi milik masyarakat, kemudian hak atas integritas pribadi itu dilanggar,” kata Rhadit dalam Konferensi Pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali pada Rabu (12/11/2025) lalu.
Penyitaan dan penyedotan gawai massa aksi langgar UU ITE hingga PDP

Rhadit menegaskan, penyitaan dan penyedotan data gawai massa aksi yang ditangkap melanggar regulasi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). “Tapi pada faktanya, justru aset barang elektronik terutama itu disedot, dicek, diperiksa secara melawan hukum yang sebenarnya tidak ada relevansinya,” ujar Rhadit.
Selain intimidasi pada data pribadi, massa aksi yang ditangkap juga mengalami tindakan kekerasan fisik dan tidak manusiawi. Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi telah mengidentifikasi beberapa korban yang mengalami luka di bagian wajah, dada, dan bagian tubuh yang lain. Bentuk-bentuk tindakan tersebut di antaranya kekerasan fisik, seperti pemukulan, tendangan, piting, borgol paksa, dan lainnya.
“Lalu massa aksi yang ditangkap juga dipaksa membuka pakaian hingga menyisakan celana dalam, kepala digundul, dipaksa push up, dan lainnya,” papar Rhadit.
Sebagian lagi massa aksi ditangkap di rumahnya tanpa surat perintah penangkapan

Rhadit juga menyoroti sebagian massa aksi yang ditangkap di rumahnya, berselang sehari dan dua hari setelah aksi pada 30 Agustus 2025 lalu. Bagi Rhadit, penangkapan tersebut seharusnya menyertakan surat perintah penangkapan.
“Karena itu bukan tertangkap tangan, seyogyanya surat tugas, surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat izin penggeledahan dan penyitaan itu harus diberikan di depan. Tapi pada faktanya tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang mendapatkan itu,” papar Rhadit.
Kecam tindakan kekerasan dan penggundulan paksa terhadap massa aksi

Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi juga mempertanyakan alasan penggundulan paksa terhadap massa aksi yang ditangkap. “Proses penggundulan orang itu tentu melanggar hak asasi manusia dan pada faktanya adik-adik ini semua kepalanya digundulin,” ujar Rhadit.
Berdasarkan sejumlah regulasi, mulai dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, tidak ada klausul yang memperbolehkan proses penggundulan pada tahanan. Sementara itu, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 2 hanya menyebutkan bahwa perawatan tahanan harus berlandaskan hak asasi manusia.


















