Cerita Jurnalis Perempuan Bali Dapat Catcalling saat Liputan

Denpasar, IDN Times - Kamu jurnalis dan perempuan? Keep it up ya, karena di luar sana masih belum aman, lho. Ini dialami IDN Times saat meliput aksi Forum Sopir Pariwisata Bali pada Senin, 6 Januari 2025 lalu di dekat Lapangan Bajra Sandhi, Renon, Kota Denpasar.
Kala itu, IDN Times bersama satu rekan jurnalis perempuan lain tengah mengumpulkan gambar dan video kirab massa aksi saat menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali. Namun, kumpulan massa aksi dengan spanduk berwarna putih melecehkan kami dengan melakukan catcalling.
“Hai cantik, i love you baby, cup,” begitu kelakar para lelaki yang hampir seluruhnya mengenakan kaus hitam.
Ini bukan catcalling pertama yang kami terima sebagai jurnalis perempuan. Berikut kisah selengkapnya.
1. Bukan catcalling pertama

Ari, perempuan berusia 23 tahun ini adalah jurnalis yang pernah mendapatkan catcalling selama liputan. Kejadian catcalling saat meliput aksi Forum Sopir Pariwisata Bali itu bukan yang pertama dia alami.
“Kalau di catcalling pas liputan sebenarnya beberapa kali,” ungkap Ari saat dihubungi pada Rabu, 8 Januari 2025.
Sebelumnya, Ari pernah mengalami catcalling saat liputan di kantor kepolisian resor (polres). Kala itu, saat pelaku mengetahui Ari adalah jurnalis, pelaku menghentikan catcalling-nya. Ari berasumsi jika dirinya bukan jurnalis, kekerasan seksual verbal berupa catcalling semakin menjadi-jadi.
Sementara diwawancara terpisah pada Minggu, 8 Desember 2024, Sari seorang jurnalis perempuan di Bali sering mendapatkan catcalling lebih dari sepuluh kali. Bahkan, ia juga mendapat perlakuan catcalling dari sesama jurnalis. Seorang narasumber ada pada acara yang sama tiba-tiba mengagetkannya dari belakang sambil berujar "Hai sayang."
2. Catcalling jadi jenis kekerasan seksual terbanyak kedua yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia
Riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang didukung International Media Support (IMS) menunjukkan 82,6 persen responden menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistiknya. Riset berjudul Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia ini terbit pada 2023 lalu. Ada 10 jenis kekerasan yang paling banyak dialami jurnalis perempuan di Indonesia.
Dari 10 jenis temuan AJI Indonesia itu, catcalling secara luring atau langsung ada pada urutan kedua paling banyak dialami jurnalis perempuan di Indonesia. Jumlahnya mencapai 51,4 persen. Melalui riset itu, AJI Indonesia ingin mendorong perusahaan pers dan organisasi pers untuk membuat aturan pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual pada masing-masing internal.
Ari yang baru bekerja sebagai jurnalis selama setahun, mengaku sedih bahwa kekerasan seksual verbal seperti catcalling masih dinormalisasi beberapa orang sebagai candaan.
“Semestinya memang stop menormalisasi segala bentuk kekerasan seksual sebagai candaan. Big no! Consent maupun gak korbannya, seharusnya hal itu gak lagi dibecandain,” tegas Ari.
Sari bekerja di media lebih lama dibandingkan Ari. Sejak 2020 mengawali kariernya sebagai jurnalis, ia justru merasa pesimis. Relasi kuasa membuatnya tidak berani melawan catcalling yang diterima kepada narasumber. Ia memilih ditemani rekan jurnalis lainnya saat ditugasi kantor untuk mewawancarai narasumber yang kerap melakukan catcalling.
Tak hanya catcalling luring, Sari pernah menerima pesan dan sticker tak senonoh dari narasumber saat melakukan konfirmasi. Dalam riset AJI Indonesia, apa yang dialami Sari termasuk dalam jenis kekerasan seksual dengan jumlah keempat terbanyak yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia. Sebanyak 37,2 responden mengaku pernah menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring.
3. Mengharapkan ruang aman

Sari mengungkapkan, respon dirinya saat mendapatkan catcalling adalah freeze atau tidak dapat memberikan reaksi apa pun. Ia masih mencerna perlakuan yang dialaminya. Namun saat catcalling itu dilakukan secara berulang, Sari memilih meluapkan amarahnya. Ketika menghadapi narasumber yang memiliki relasi kuasa, Sari memilih mekanisme perlindungan diri secara preventif dengan mengajak rekan jurnalis untuk liputan bersama.
“Kalau ditugaskan gimana ya, mau gak mau harus liput. Tapi harus ajak teman, gak berani sendirian,” ujarnya.
Hingga saat ini, Sari mengaku kantor tempatnya bekerja belum memiliki aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sementara, Ari berharap masih ada secercah asa untuk menuntut ruang aman bagi perempuan, khususnya jurnalis perempuan.
“Maunya setiap ruang itu aman bagi semua orang, termasuk juga jurnalis perempuan. Karena ya balik lagi, sedih aja melihat perempuan semata dijadikan objek seksual,” kata dia.
4. Mengapa korban tidak melawan atau berteriak ketika mengalami pelecehan seksual?

Menurut Karin Gepp PsyD dalam catatannya yang berjudul What is the fight, flight, or freeze response? dan terbit di Medical News Today, seseorang yang terancam biasanya akan mengalami tiga respon. Pertama, fight yaitu melawan atau mengambil tindakan untuk menghilangkan bahaya. Kedua, flight yaitu melarikan diri dari bahaya, dan freeze yaitu membeku atau menjadi tidak bergerak (terdiam).
Biasanya yang luput dari perhatian masyarakat adalah respon freeze yang dialami korban pelecehan seksual. Apa yang terjadi ketika seseorang mengalami freeze atau terdiam? Karin Gepp menyebutkan:
- imobilitas: keadaan ketika seseorang berisiko atau mengalami mengalami keterbatasan gerak fisik
- Penurunan detak jantung
- Ketegangan otot.
Respon tersebut tidak disengaja terjadi karena bagian dari mekanisme organ, jaringan, atau sel yang tidak berfungsi dengan baik. Meskipun orang tersebut membeku, ia tetap bisa waspada, tetapi juga tidak dapat mengambil tindakan terhadap bahaya. Dalam beberapa situasi, bersikap diam dapat membuat seseorang merasa aman dari bahaya, atau menyebabkan penyerang kehilangan minat. Respons membeku ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mengalami trauma sebelumnya.
5. Mekanismes pelaporan kekerasan seksual yang dialami jurnalis

Catcalling termasuk tindak pidana kekerasan seksual nonfisik yang diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal ini mengatur orang yang melakukan kejahatan kekerasan seksual akan dihukum penjara paling lama sembilan bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Kekerasan seksual nonfisik seperti ini memang menyebalkan, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Denpasar, Ayu Sulistyowati. Apalagi ini dialami oleh jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya. Meskipun laki-laki juga pernah mendapatkan kekerasan seksual yang serupa, namun tak sebanyak perempuan. Catcalling kerap dijadikan bahan tertawa dan dinormalisasi karena dianggap biasa. Dalam situasi seperti ini, Ayu menyarankan jurnalis perempuan berani menegurnya, bisa secara langsung, maupun tidak langsung.
Secara langsung, berarti menegurnya saat itu juga atau selama peristiwa catcalling terjadi. Kalau secara tidak langsung, mungkin bisa melalui orang yang dipercaya atau mengirim pesan elektronik. Begitu juga ketika catcalling terjadi saat konfirmasi narasumber via pesan elektronik, Ayu berharap kalau bisa jurnalisnya langsung menanggapi.
"Namun, itu kembali lagi. Keberanian harus dibangun. Tetapi kalau ketakutan korban lebih tinggi ketimbang keberaniannya, sehingga akan terus menjadi korban, sebaiknya harus melewati mekanisme. Itu bisa dikonsultasikan di AJI. Kami bisa mendampingi dan berusaha mencari solusi," kata Ayu saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp, Sabtu (11/1/2025) sore.
Merujuk pada SOP Penanganan Kekerasan Seksual (KS) untuk Jurnalis Nonanggota AJI, mekanisme pelaporannya meliputi:
- Korban dan saksi dapat membuat laporan tertulis dengan mengisi formulir pengaduan di website AJI Indonesia atau melalui hotline
- Satgas KS AJI melakukan asesmen terhadap isi laporan, apakah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti atau tidak
- AJI dapat bekerja sama dengan lembaga layanan, baik milik organisasi independen maupun lembaga negara, sesuai kewenangan untuk menjamin keamanan korban dan saksi.
Apabila ada bukti-bukti kekerasan seksual, jurnalis diharapkan mengirimkan email ke pengaduan_ks@protonmail.com, dengan melampirkan formulir yang dapat diunduh di https://aji.or.id/pelaporan-kasus-kekerasan-seksual. AJI Indonesia menjamin kerahasian pelapor dan barang bukti.