Korban Anak Kekerasan Seksual Tidak Bisa Dinikahkan dengan Pelaku

Pemaksaan pernikahan akan memperparah kondisi korban

Badung, IDN Times - Belum lama ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pernikahan di Serang, Banten, antara korban kekerasan seksual yang merupakan anak difabel, dengan pelakunya. Peristiwa ini dinilai menunjukkan betapa lemahnya perlindungan dan dukungan terhadap korban kekerasan seksual, baik dari pihak keluarga maupun aparat penegak hukum.

Mengapa korban kekerasan seksual justru dinikahkan dengan pelaku? Tidakkah itu malah berbahaya untuk korban? 

Dosen Tetap Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara, Dr Ahmad Sofian SH MA, menanggapi persoalan tersebut dalam acara media briefing bertajuk Sejauhmana RUU TPKS Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual, yang digelar secara daring pada Rabu (19/1/2022).

Baca Juga: Apakah RUU TPKS Bisa Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual? 

1. Menikahkan korban anak dengan pelaku termasuk dalam kejahatan

Korban Anak  Kekerasan Seksual Tidak Bisa Dinikahkan dengan PelakuIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Menanggapi pertanyaan IDN Times terkait pernikahan korban anak dan pelaku kekerasan seksual, Ahmad Sofian mengungkapkan bahwa hal tersebut termasuk dalam tindak kejahatan. Seharusnya korban anak diberikan hak-haknya dan pelaku harus diberi penghukuman. Selain itu, pelaku juga harus memberikan restitusi terhadap dampak yang ditimbulkan atas kekerasan seksual yang dilakukannya terhadap korban.

“Karena anak yang menjadi korban itu harusnya dipenuhin hak-haknya ya. Dipenuhi hak-haknya, baik oleh negara, dalam hal ini Dinas Sosial, dan juga oleh pelaku dalam bentuk restitusi. Jadi ada rehabilitasi yang dilakukan oleh negara. Penghukuman atau tindakan lain kepada pelaku. Restitusi dibayarkan oleh pelaku jika timbul akibat misalnya hamil, gangguan jiwa, maupun kesehatan,” jelasnya.

Baca Juga: Bisakah Anak Korban Kekerasan Seksual Disebut Suka Sama Suka? 

2. Jika korban hamil hubungan dengan pelaku hanya keperdataan, bukan menghapuskan pidana

Korban Anak  Kekerasan Seksual Tidak Bisa Dinikahkan dengan PelakuIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Lalu bagaimana jika korban kekerasan pada anak berujung kehamilan? Menurutnya kalaupun akibat kekerasan seksual terhadap anak hingga berakibat kehamilan, maka hubungan antara korban dan pelaku hanya keperdataan dan pernikahan yang terjadi tidak bisa menghapuskan tindak pidananya.

Pernikahan antara korban anak kekerasan seksual dengan pelaku, ia tegaskan, hanya akan memperparah kondisi korban. Jalan terbaik penyelesaian kasus semacam ini bukan dengan menikahkan kedua belah pihak. Harusnya dengan memproses pelaku secara hukum yang berlaku dan memulihkan hak-hak korban.

“Jadi tindak pidananya tidak hapus. Karena ada di beberapa di wilayah tempat kita itu dinikahkan. Tapi saya menyatakan pernikahan itu akan memperparah kondisi korban,” tegasnya.

Namun menurutnya perlu digaris bawahi bahwa menikahkan korban yang suka sama suka itu lain halnya dengan menikahkan korban yang ada unsur kekerasan yang menimpa pada diri korban.

3. Pembuat Undang-Undang harus memperjelas norma yang memaksakan pernikahan korban anak

Korban Anak  Kekerasan Seksual Tidak Bisa Dinikahkan dengan PelakuIlustrasi kekerasan. (IDN Times/Mia Amalia)

Apakah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang telah disahkan menjadi RUU pada Selasa (18/1/2022) lalu juga mengatur pidana bagi pelaku yang menikahkan korban dengan pelaku kekerasan seksual? Ia mengungkapkan tidak ada aturan tersebut.

Ia juga dengan tegas mengkritik agar pembuat Undang-Undang memperjelas norma yang memaksakan pernikahan korban anak agar pihak penyidik pun tidak kesulitan dalam menafsirkan hal tersebut. Selain itu, agar Undang-undang tidak hanya dipahami oleh kalangan akademisi saja, namun juga masyarakat dan penegak hukum norma itu.

“Sayangnya nggak ada. Itu hilang ya. Terpaksa kita harus tafsir dari Undang-Undang, dari pasal-pasal lain. Dan itu nggak mudah bagi penyidik menafsirkan pasal. Agak sulit. Mendingan normanya dibunyikan, Barang siapa memaksakan pernikahan bagi anak akan dipidana denda. Nah itu lebih clear norma itu. Jangan membuat norma yang multi tafsir dan itu menyulitkan bagi penegak hukum," tegasnya. 

Ia menekankan, bahasa hukum seharusnya dibuat sesederhana mungkin. "Itu kadang-kadang kesombongan dari penyusun. Merasa sombong karena apa? Karena dia sendiri yang paham. Tetapi masyarakat dan penegak hukum tidak paham dengan isi atau substandi daripada Undang-Undang itu,” ungkapnya. 

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya