Digelar Sederhana, Peringatan Puputan Margarana di Bali Tetap Bertaksu
Upacara Mepeed dan Napak Tilas ditiadakan karena pandemik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Tabanan, IDN Times - Mengenang jasa para pahlawan Bali yang berjuang mengusir penjajah dalam Puputan Margarana 20 November 1946, secara rutin digelar upacara peringatan Puputan Margarana yang dilaksanakan di areal Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Kelaci, Marga, Tabanan. Peringatan ini sekaligus untuk lebih memupuk rasa nasionalisme, serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Peringatan Puputan Margarana ke-74 , pada Jumat (20/11/2020) berbeda dari tahun sebelumnya. Adanya pandemik COVID-19, membuat perayaan digelar dengan lebih sederhana. Namun taksu dari peringatan ini tetap tidak berkurang.
1. Mengenal sejarah Puputan Margarana
Wakil Ketua I Pemuda Panca Marga Provinsi Bali, Rai Riawati memaparkan sekilas mengenai sejarah Puputan Margarana.
Puputan Margarana merupakan sebuah perang kemerdekaan yang puncaknya meletus pada 20 November 1946. Perang ini terjadi di Margarana yang terletak di utara Kota Tabanan, Bali antara pasukan Indonesia melawan Belanda.
Diceritakan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Letnan Kolonel Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerahnya untuk menghadang agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Bali setelah Jepang hengkang karena kalah dalam Perang Dunia II.
Ngurah Rai kemudian membentuk pasukan Sunda Kecil bernama Ciung Wanara. Belanda awalnya mengajak Ngurah Rai bekerja sama dalam upaya pendudukan tersebut. Hal itu nampak dalam surat Kapten J.M.T Kunie kepada Ngurah Rai yang intinya mengajak berunding. Namun bukannya diterima, ajakan kerja sama itu justru ditolak oleh Ngurah Rai. Surat balasan Ngurah Rai yang dinamakan Surat Sakti ini selalu dibacakan setiap upacara peringatan Puputan Margarana pada 20 November setiap tahunnya.
"Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya ingin lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai." tulis Ngurah Rai dalam surat balasan tersebut.
Singkat cerita, mendapat penolakan itu Belanda menambah bala bantuan untuk menyergap pasukan Ngurah Rai di Tabanan. Sang kolonel yang mengetahui pergerakan Belanda itu langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga. Mereka menyusuri wilayah ujung timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung Agung.
Namun upaya itu diendus oleh pasukan Belanda dan akhirnya mengejar mereka. Pada 20 November 1946, di Desa Marga pasukan Ngurah Rai dan pasukan Belanda bertemu hingga akhirnya terjadilah pertempuran sengit. Dalam pertempuran itu pasukan Ciung Wanara berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Namun pertempuran tidak berhenti sebab bala bantuan pasukan Belanda datang dengan jumlah besar, dilengkapi persenjataan lebih modern serta didukung kekuatan pesawat tempur. Kondisi pun berbalik, pasukan Ngurah Rai malah terdesak karena kekuatan tidak seimbang itu.
Hingga akhirnya pasukan Ciung Wanara terdesak ke wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Dalam kondisi terdesak itu Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan. Dalam pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh.
Akhirnya malam itu, 20 November 1946 Gusti Ngurah Rai gugur bersama pasukannya. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana.