PR Berat Indonesia, Ubah Perilaku BAB Sembarangan di Sungai
Bisa gak ya Indonesia punya sanitasi layak pada tahun 2030?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Mina (51) dan keponakannya harus mengantre bersama ratusan orang setiap mau buang air besar (BAB) di ponten (jamban) umum. Seharian bisa sampai tiga orang yang mengantre. Ia pun harus mengeluarkan Rp1.000 kalau mau BAB di sana. Mina tak punya jamban pribadi di rumahnya. Ukuran rumahnya saja 3x4 meter dan berdiri di bantaran rel kereta daerah Kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Simokerto, Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Denpasar, IDN Times - Mina sudah puluhan tahun tinggal di bantaran rel kereta. Mending mengantre di jamban umum ketimbang buang air besar sembarangan (BABS) di kali (sungai). Bukannya tak mau memiliki jamban pribadi, Mina saja bersyukur sudah bisa membangun kamar mandi beberapa bulan lalu. Setidaknya itu mengurangi ketergantungannya pada jamban umum.
"Aslinya kepengin, tapi ya gimana gak punya uang. Saya gak ada uang. Bisa saja kalau dibuat jamban, pokoknya ada biayanya," kata Mina kepada IDN Times, Sabtu (3/6/2023).
Jamban umum ini merupakan bantuan dari pihak luar, yang dikelola oleh Yani. Dari enam unit toilet, hanya satu toilet yang rusak dan otomatis tidak dapat digunakan. Penggunaannya memang untuk orang-orang yang tinggal di bantaran kereta. Terkadang ada orang lain yang numpang BAB di sini.
Yani membersihkan tempat tersebut setiap hari, dan memakai jasa sedot WC setahun sekali. Namun kalau lagi hujan-hujanan, dikurasnya harus 10 bulan sekali. Ia mengaku pendapatannya mulai menurun. Sebab masyarakat sudah banyak yang memiliki jamban sendiri.
"Sekarang sehari dapat Rp30 ribu. Kalau dulu ya lebih dari itu," ujar Yani.
Ada 60 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di bantaran rel kereta Kelurahan Tambakrejo, dan tak semuanya memiliki jamban pribadi. Meski begitu, perlahan-lahan mereka mulai berinisiatif membuat jamban sendiri.
"Jumlah Kepala Keluarga (KK) di sini ada 60. Satu rumah ada yang dua tiga KK, tapi tidak semua memiliki jamban," kata Ketua RT setempat, Ahmad Husaini.
Lain cerita dengan Sunarti, yang sama-sama tinggal di bantaran rel kereta tapi di daerah Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Surabaya. Dulu ia sama seperti Mina, yaitu pengguna jamban umum. Namun awal tahun 2000-an, ia membangun jamban sendiri di rumahnya. Bukan memakai uang pribadi, ia berinisiatif meminta bantuan ke Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui puskesmas setempat. Kini semua warga di sana punya jamban sendiri meski tinggal di atas tanah milik KAI (Kereta Api Indonesia).
"Kalau campur (jamban umum) kan gak enak. Kalau satunya bersihan satu enggak kan gimana. Kalau punya sendiri kan enak," tutur Wakil Ketua RT tersebut.
Beralih ke kawasan Cikaso, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Puluhan lubang pipa paralon pembuangan limbah rumah tangga di kawasan ini banyak yang mengarah ke Sungai Solokan. Dari air sisa bekas mandi, air cuci piring, hingga tinja terbuang ke sungai. Dayat, warga Cikaso, mengakui bahwa limbah di jamban rumahnya memang tidak masuk ke dalam septic tank. Rumahnya sendiri berada di kawasan padat penduduk dengan lahan terbatas, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat septic tank. Makanya ia memanfaatkan sungai di depan rumah sebagai tempat pembuangan.
"Dari dulu. Bukan cuma rumah saya, banyak rumah yang memang buang kotorannya langsung ke sungai," kata Dayat kepada IDN Times, Jumat (2/6/2023).
Sebenarnya ada jamban komunal (jamban digunakan lebih dari satu keluarga) di daerah itu. Namun kata Dayat, kondisinya tidak nyaman. Selain itu, hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet yang bisa dipakai. Sehingga warga lebih memilih BAB di rumahnya sendiri.
"Adanya seperti ini, jadi kita manfaatkan saja. Susah juga kalau sekarang harus buat septic tank pas rumah udah ada kan?" sebutnya.
Cerita-cerita Mina, Yani, Sunarti, dan Dayat adalah gambaran kecil di lapangan bahwa warga Indonesia belum memiliki akses sanitasi layak. Menurut UNICEF, hampir 25 juta orang Indonesia tidak memakai toilet. Mereka memilih BAB di sungai, ladang, parit, hutan, dan ruang terbuka lainnya. Belum lagi, pembuangan limbah tinjanya yang tidak dikelola dengan baik berisiko menyebarkan penyakit diare. Lalu data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2023 menyebutkan 30,15 juta jiwa masih BABS dari total 287,76 juta (jiwa) penduduk Indonesia.
PBB memiliki target untuk menyejahterakan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs] atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Satu di antara targetnya (termasuk Indonesia) adalah semua orang memiliki akses universal terhadap air bersih dan sanitasi layak pada tahun 2030. Jadi, Indonesia menargetkan 100 persen rumah tangga bersanitasi layak pada tahun 2030.
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di Indonesia tahun 2022 sebesar 80,92 persen. Masih tersisa 19,08 persen rumah tangga lagi untuk mengejar akses sanitasi layak. Atau setidaknya Pemerintah Indonesia harus memperbaiki akses sanitasi tidak layak minimal 2,4 persen per tahun.
Kira-kira pemerintah daerah sudah melakukan upaya apa saja ya untuk memenuhi target tersebut, dan apa kendala sebenarnya? Berikut ini hasil liputan kolaborasi 12 regional IDN Times.
Antara akses sanitasi layak, perilaku warga, hingga ikut perkataan orang tua zaman dulu 'jangan BAB di dalam rumah'
Seluruh kabupaten/kota di Indonesia kini mengejar target 100 persen Open Defecation Free (ODF) atau memiliki perilaku bebas buang air besar sembarangan (BABS). Provinsi Lampung mengklaim lima daerahnya telah mendeklarasikan ODF yaitu Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Pringsewu. Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Febri Ekawati, menyebutkan pencapaian ODF tersebut artinya warga mendapatkan akses air bersih dan sanitasi yang layak. Kalau secara akses dan fasilitas mungkin bisa terpenuhi. Karena faktanya, Kota Metro termasuk daerah kecil yang mudah dijangkau dan kesadaran warganya cukup tinggi.
Klaim ODF itu juga belum tentu menjamin 100 persen warga konsisten tidak berperilaku BABS. Ia menilai, perilaku manusia bisa berubah-ubah jika tidak diawasi dengan benar. Tugas pemerintah kabupaten/kota seharusnya terus melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Febrilia mengambil contoh Kabupaten Pringsewu yang sudah mendeklarasikan ODF tahun 2017. Namun dari laporan yang ia terima, warganya kembali BABS ke sungai.
“Ya itu kalau secara fasilitas, mereka sudah memiliki sarana toilet yang sehat. Tapi kalau perilakunya kembali seperti dulu ya sama saja. Soalnya kita kan dapat laporan dari masyarakat dan kawan jurnalis di sana, warganya kembali lagi (BABS) ke kolam dan sungai,” ungkapnya, Jumat (2/6/2023).
ODF perlu mendapatkan perhatian khusus. Menurut data YKWS, 6 kabupaten/kota di Provinsi Lampung memiliki akses sanitasi dan air bersih terendah. Sebut saja Pesisir Barat, Tanggamus, Pesawaran, Bandar Lampung, Mesuji, dan Lampung Utara.
Kalau bicara soal data, kondisi itu juga ditemukan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Hanya 38 desa dari total 133 desa di Kabupaten Tabanan yang masuk dalam kategori ODF pada tahun 2022. Berikut ini wilayahnya:
- Kecamatan Pupuan: Desa Munduk Temu, Desa Belatungan, Desa Padangan, Desa Sanda, Desa Pupuan Sawah, Desa Pajahan, dan Desa Pupuan
- Kecamatan Kediri: Desa Pejaten, Desa Beraban, Desa Cepaka, dan Desa Nyambu
- Kecamatan Kerambitan: Desa Kesiut, Desa Timpag, Desa Kukuh, dan Desa Kerambitan
- Kecamatan Marga: Desa Tua, Desa Peken Blayu, Desa Selanbawak, Desa Marga Dajan Puri, dan Desa Cau Belayu
- Kecamatan Penebel: Desa Jatiluwih dan Desa Buruan
- Kecamatan Selemadeg: Desa Bajera Utara, Desa Manikyang, Desa Serampingan, Desa Wanagiri Kauh, dan Desa Selemadeg
- Kecamatan Selemadeg Timur: Desa Bantas, Desa Gadungan, Desa Megati, Desa Beraban, Desa Tangguntiti, Desa Tegalmengkeb, dan Desa Mambang
- Kecamatan Selemadeg Barat: Desa Mundeh, Desa Mundeh Kauh, Desa Angkah, dan Desa Lalang Linggah.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Tabanan, I Made Supardi Yadnya, mengungkapkan akses sanitasi layak di Kabupaten Tabanan berdasarkan data nasional sudah mencapai 97,6 persen. Tapi 2,4 persen warganya belum terakses sanitasi layak.
"Untuk mencapai ODF itu, seluruh KK dalam satu desa harus memiliki jamban sehat. Jadi apabila ada satu saja yang tidak memiliki atau masih BABS, maka ODF tidak bisa dideklarasikan," ujarnya.
Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Menurut Supardi, warga tidak punya jamban karena alasan ekonomi, ada yang punya jamban di samping aliran sungai atau got, hingga lahan untuk lokasi membangun septic tank tidak cukup.
Sebagai pusat pariwisata internasional, Nusa Penida adalah Kecamatan di Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali yang warganya juga paling banyak tidak memiliki jamban. Sebanyak 325 KK di Kecamatan Nusa Penida tidak memiliki jamban. Sedangkan sisanya, 45 KK, ada di Klungkung Daratan (Meliputi Kecamatan Dawan, Kecamatan Banjarangkan, Kecamatan Klungkung).
Nampaknya daerah-daerah yang dikelilingi sungai besar ini memang punya permasalahan serupa. Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan ini contohnya. Mayoritas warganya lebih memilih membuang hasil limbah tinja ke bantaran sungai. Dalam catatan Ketua Forum Kota Sehat Kota Banjarmasin, Faturrahman, sekitar 14 ribu saluran jamban di sana dibuang ke sungai.
"Ini terus kita perjuangkan agar perlahan berkurang (membuang limbah tinja ke sungai). Harapannya warga bisa mengerti dan sadar," katanya.
Status jamban-jamban tersebut terbagi dalam dua kriteria. Pertama, jamban tertutup yang dimiliki satu keluarga tertentu. Kedua, jamban terbuka yang dimanfaatkan bersama oleh kelompok warga di suatu wilayah. Tetapi apalah arti jamban tertutup dan terbuka, jika mereka tetap membuang limbahnya langsung ke aliran sungai, tanpa ada fasilitas sanitasi maupun filter untuk menyaring tinja.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Serang, Provinsi Banten, mencatat 29.753 KK di Kota Serang masih berperilaku BABS pada tahun 2020. Rinciannya adalah:
- Kecamatan Kasemen: 8.216 KK (menjadi daerah terbanyak BAB di kebun)
- Kecamatan Curug: 6.036 KK
- Kecamatan Serang: 5.449 KK
- Kecamatan Walantaka: 5.189 KK
- Kecamatan Taktakan 4.328 KK
- Kecamatan Cipocok: 641 KK.
Menariknya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, Muhammad Ikbal, menyebutkan warga yang BAB di kebun masih memegang perkataan orang tua zaman dulu, yaitu "Jangan BAB di dalam rumah."
"Penyebabnya tingkat pengetahuan dan kesadaran yang masih rendah. Selain itu tidak ada air bersih dan warga tidak mampu," kata Ikbal, Rabu (12/2/2022) lalu.
Sementara di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) baru 6,28 persen warga yang memiliki sanitasi aman. Masing-masing tersebar di tujuh kabupaten/kota (Data Dinas Kesehatan Provinsi NTB per 24 Mei 2023):
- Lombok Barat: 19,82 persen
- Lombok Tengah: 3 persen
- Sumbawa: 6,53 persen
- Dompu: 1,93 persen
- Bima: 11,12 persen
- Sumbawa Barat: 17,74 persen
- Kota Bima: 13,52 persen.
Akses sanitasi aman adalah fasilitas sanitasi rumah tangga yang terhubung dengan septic tank, atau terhubung dengan sistem perpipaan yang diolah melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD). Akses sanitasi yang masuk kategori aman umumnya disedot rutin satu kali selama 3-5 tahun, lumpur tinja diolah lebih lanjut ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), dan merupakan Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL).
Sedangkan sanitasi layak di Provinsi NTB telah mencapai 98,7 persen atau 1.525.025 KK. Warga NTB yang sudah punya akses fasilitas sanitasi layak 100 persen tersebar di tujuh kabupaten/kota yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Lombok Utara dan Kota Bima. Sedangkan Dompu baru 94,14 persen warga yang punya akses sanitasi layak; Bima 92,08 persen; dan Kota Mataram 95,69 persen.
Akses sanitasi layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan. Syarat itu di antaranya kloset menggunakan leher angsa; tempat pengolahan setempat tinja menggunakan tangki septik kedap dan dilengkapi unit pengolahan lanjutan untuk wilayah perkotaan; atau kloset dengan leher angsa dilengkapi lubang penampungan pada bagian bawah untuk wilayah pedesaan.