TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Cara Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos

Laporan korban seksual kerap dianggap sebagai fitnah

Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Penulis: Ufiya Amirah 

Kasus kekerasan seksual semakin menjadi perhatian publik di Indonesia. Para korban mulai berani speak up di ruang publik dan memperjuangkan keadilan. Namun sayangnya, keberanian para korban mengungkapkan kejahatan yang dialaminya tak diiringi dengan pemahaman masyarakat akan perspektif korban.

Laporan korban kerap dianggap sebagai fitnah dan upaya mencemarkan nama baik pelaku. Karenanya, korban pun tetap perlu berhati-hati menyuarakan kasusnya, terutama di media sosial. Berikut 5 hal yang perlu dipertimbangkan oleh korban maupun orang yang mengetahui adanya tindakan kekerasan seksual, sebelum spill (Mengungkapkan) kasus ke publik. 

Baca Juga: 5 Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia yang Berakhir Damai  

1. Pastikan dulu kesiapan korban dalam mengungkapkan kasusnya

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Beberapa korban memilih untuk diam karena memang belum siap untuk speak up. Selain trauma seumur hidup, stigma sosial dan victim blaming menjadi beban tak berkesudahan bagi korban.

Namun ada juga beberapa korban yang pada akhirnya memberanikan diri untuk bersuara dan melapor. Apalagi jika terkait dengan keterulangan perbuatan kekerasan seksual oleh predator yang sama.

Apabila korban belum siap untuk speak up, tidak apa-apa, jangan dipaksakan. Prioritaskan pemulihan trauma pascakejadian kekerasan seksual. Kesembuhan fisik dan psikis adalah yang paling utama.

Jika korban merasa sudah siap dan berkomitmen untuk menyuarakan kekerasan seksual yang dialami, ingatlah bahwa yang paling berdosa adalah pelaku, bukan korban. Pihak yang paling kotor adalah pelaku, bukan korban. Tentu tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan harkat martabat korban, termasuk pelaku.

2. Prioritaskan kenyamanan korban sebelum speak up

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Korban yang masih keberatan dan ragu-ragu untuk bersuara, sebaiknya memang tidak dipaksa untuk speak up. Namun apabila korban yakin dan bersungguh-sungguh atas keputusan yang diambil, korban berhak untuk bersuara ke publik. Hal yang paling penting adalah kenyamanan korban dalam menuntut keadilan atas kekerasan seksual yang dialami.

Menurut Dosen Hukum Pidana Universitas Udayana, Diah Ratna Sari Hariyanto, konsensualitas korban guna mempertimbangkan kenyamanan dalam mempublikasi kasus kekerasan seksual adalah bersifat wajib.

"Buat korban nyaman dan aman serta harus mendapat pendampingan. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang bisa menambah luka atau penderitaan korban. Jadi persetujuan korban sangat penting dalam hal ini," ungkap Ratna, Kamis (17/2/2022).

3. Pastikan dulu perlindungan keamanan identitas korban

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Identitas korban tidak boleh diketahui publik untuk meminimalisir kejahatan yang timbul pascakasus viral. Seringkali korban mengalami doxing, penyebaran informasi data pribadi untuk menjatuhkan korban.

Pengancaman korban dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atas pelaporan kasus. Ratna juga mengungkapkan, urgensitas proteksi keamanan korban kekerasan seksual untuk menjaga stabilitas kondisi psikologis korban.

Korban berhak untuk mendapatkan perlindungan, baik dari serangan fisik, psikis, maupun cyber. Negara telah mengamanatkan perlindungan atas keamanan korban melalui Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban: Perlindungan Saksi dan Korban.

"Dalam kasus kekerasan seksual, hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologis korban. Yang terpenting adalah memberikan perlindungan dengan merahasiakan identitas korban. Hindari menyebutkan nama korban, keluarga, alamat tempat tinggal, dan lain-lain yang mengarah pada identitas korban, dan tidak boleh menampilkan foto korban," tutur Ratna, Kamis (17/2/2022).

4. Penting untuk mengenali konsekuensi dan risiko pascaviral

foto ilustrasi (pixabay.com/DariuszSankowski)

Perlu diketahui, jejak digital akan ada sampai kapan pun, tak terbatas waktu. Segala sesuatu yang terpublikasi di media sosial, maka akan selamanya menjadi data sosial. Jika kasus kekerasan seksual beredar di publik, konsekuensinya adalah publik akan mengetahui seluk-beluk kasusnya.

Betapa rumitnya apabila kasus kekerasan seksual menjadi konsumsi publik di media sosial tanpa ada perlindungan hukum bagi korban. Spill kasus memiliki berbagai potensi risiko yang merugikan korban dari berbagai sisi.

Ada kemungkinan pelaku akan menjerat korban dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas pencemaran nama baik. Pascaviral, pihak-pihak tertentu yang diduga terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh korban, akan melakukan tindakan-tindakan impulsif berupa kontra narasi di media massa, pengancaman, menekan keluarga korban, dan tindakan-tindakan yang mungkin saja bersifat kriminal.

Pro dan kontra atas viralnya kasus akan berpengaruh pada kondisi psikis korban. Pemberitaan kasus di media, hate comment netizen, keluarga yang menyudutkan korban, tidak adanya dukungan teman dan lingkungan terdekat, hal-hal ini berpotensi memperparah trauma korban.

Korban wajib mengetahui, memahami konsekuensi dan risiko sebelum menyuarakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya di ruang-ruang publik. Hal ini juga telah tertuang dalam Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban: Perlindungan Saksi dan Korban.

Berita Terkini Lainnya