TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Berkaca dari Kasus Ibu di Brebes Bunuh Anaknya, Apa Akar Masalahnya?

Membangun komunikasi yang sehat sangatlah penting

Foto hanya ilustrasi. Pexels.com/Kat Jayne

Penulis: Ufiya Amirah

Seorang perempuan di Brebes, Jawa Tengah, KU, melakukan percobaan pembunuhan terhadap 3 anaknya. Diketahui kemudian, 1 anaknya meninggal dunia dan 2 anak lainnya dalam proses perawatan di rumah sakit. Percobaan pembunuhan tersebut terjadi pada Minggu (20/3/2022). Mengapa peristiwa ini bisa terjadi? Apa akar permasalahannya?

Menurut kesaksian pelaku, ia mengalami depresi lantaran krisis ekonomi keluarga, sedangkan suaminya menganggur. Sebagai tulang punggung keluarga, KU kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga, termasuk bentakan dari sang suami.

KU beranggapan bahwa apabila anaknya mati, maka mereka tidak akan menghadapi kesulitan hidup, baik secara materi maupun psikologis. Namun kemudian banyak yang berpendapat dan menghakimi sang ibu lantaran tega membunuh anak kandungnya sendiri. Dalam kasus femisida, sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku represif pelaku. Dalam konteks KU, kemiskinan struktural dan hubungan toxic keluarga, memberi pengaruh pada memburuknya kondisi psikologis pelaku.

Berkaca dari kasus KU yang membunuh anaknya, berikut analisis dari psikiater di Bali, dr AA Sri Wahyuni SpKJ:

Baca Juga: Ciri-ciri Kamu sedang Dimanipulasi Pasangan, Jangan Sampai Lengah

1. Kesehatan mental dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan komunikasi pasangan

ilustrasi stres (pexels.com/Alex Green)

Dilansir dari Guardian.com, pada artikel The surprising factors driving murder rates: income inequality and respect (2017), yang ditulis Maia Szalavitz, dijelaskan bahwa ketimpangan pendapatan dan krisis ekonomi dapat memicu pembunuhan.

Di sisi lain, Martin Rodenburg MD, dalam Child Murder by A Depressed Mother: A Case Report (1971), menjelaskan adanya risiko kemungkinan anak dibunuh oleh orangtua yang menderita depresi. Risiko ini menjadi semakin serius ketika pasien secara aktif mencoba melukai diri sendiri, bahkan hingga bunuh diri.

Sejalan dengan Martin, Sri Wahyuni mengungkapkan bahwa lemahnya hormon seseorang dapat berdampak pada rendahnya mekanisme koping (Cara menyelesaikan masalah). Di sisi lain, hormon juga dipengaruhi oleh kesehatan biologis dan psikologis manusia.

"Kesehatan mental seseorang dipengaruhi oleh kondisi biologis atau hormon, stres psikososial salah satunya karena ekonomi, komunikasi pasangan atau keluarga, situasi tempat kerja, sekolah, kuliah. Jika secara hormonal lemah, kekuatan untuk melakukan mekanisme koping terhadap stres kehidupan rendah. Apalagi jika kepribadian tertutup, teman atau tetangga tidak tahu apa yg harus dibantu," jelas Sri Wahyuni, Minggu, (27/3/2022).

2. Waspadai gejala Orang dengan Masalah Kesehatan Mental (ODMK) dalam keluarga

Foto hanya ilustrasi. (Unsplash.com/Sydney Sims)

Menanggapi perilaku kasar suami KU, Sri Wahyuni mengasumsikan bahwa kesehatan mental suami KU juga sedang bermasalah. Hal tersebut dapat dilihat dari kesaksian pelaku yang menyampaikan mengalami tekanan dalam rumah tangga dan kekurangan kasih sayang dari suaminya. Menurut Sri Wahyuni, ODMK berperilaku malas, tidak bertanggung jawab, dan cenderung egois dengan kontrol emosi yang labil.

Apabila pasangan menunjukkan perilaku dengan gejala ODMK, maka jangan dibiarkan. Perlu dicegah dengan lebih peduli dan membangun komunikasi mendalam di antara keduanya. Jika dibiarkan pasangan dalam kondisi terpuruk dengan jangka waktu yang lama, kemungkinan besar akan menimbulkan perilakuseperti yang dilakukan KU kepada anak-anaknya sebagai jalan pintas menyelesaikan kesulitan hidup.

"Jika suami melakukan kekerasan emosional atau membentak, berarti komunikasi pasangan tidak baik, kesehatan mental suami pelaku juga saya pertanyakan. Biasanya ODMK malas, tidak bertanggung jawab, kurang berempati, dan egois. Seharusnya pasangan itu saling menguatkan satu sama lain. Memahami kelemahan dan kelebihan pasangan. Jangan dibiarkan berkelanjutan sehingga salah satu semakin terpuruk sehingga memilih jalan pintas karena pertimbangan logika sudah hilang," tutur Sri Wahyuni.

3. Membangun relasi egaliter antara suami, istri, dan anak, sehingga terjalin keluarga harmonis

ilustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Ibarat puzzle, pasangan senantiasa penuh dengan teka-teki dan misteri. Namun demikian, perlu ketelatenan dalam setiap individu untuk merangkai puzzle sesempurna mungkin agar tercipta harmonisasi pada setiap bagian. Apabila pasangan hanya mengedepankan ego dan selalu mengagungkan kelebihannya semata, tanpa berupaya memahami dan mempelajari kelemahan pasangannya, maka puzzle hubungan tidak akan terbentuk sempurna.

Sri Wahyuni menjelaskan bahwa hubungan perlu egaliter, adil, dan saling memahami satu sama lain. Karakter keberimbangan tersebut merupakan dasar dalam memperjuangkan keluarga harmonis. Laki-laki juga dapat berperan di ranah privat atau ruang domestik. Pengasuhan anak tak hanya dibebankan kepada perempuan, namun juga ada andil laki-laki di dalamnya.

"Pasangan perlu membangun komunikasi yang sehat, berdasarkan pemahaman kelemahan dan kelebihan diri. Jangan hanya melihat kekurangan pasangan. Pasangan bisa seperti puzzel. Bagaimana mencocok-cocokkan yang kurang pas agar bisa pas. Kesetaraan gender tidak harus laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Namun laki-laki juga harus siap mengambil tugas domestik atau rumah sehingga tidak ada yang mengatakan saya lebih banyak berkorban untuk keluarga. Yang paling penting keseimbangan dan saling memahami pasangan," kata Sri. 

Berita Terkini Lainnya