TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ubud Kini Sepi Sunyi Tanpa Tabuhan Gamelan di Setiap Sudut Desa

Selama pandemik banyak aktivitas kesenian yang terhenti

Ilustrasi memainkan alat musik gong. (IDN Times/Wayan Sudirana)

Gianyar, IDN Times – Sebagai salah satu tujuan utama wisata, Ubud dikenal dengan bentangan alam yang indah, termasuk Bukit Campuhan dan sawah terasering Cekingan, Tegalalang. Selain alamnya, Ubud juga dikenal dengan adat dan tradisi yang telah mengakar kuat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.

Pada masa sebelum pandemik, hampir setiap malam di setiap sudut desa terdengar suara tabuhan gamelan. Ada berbagai pementasan tari yang diinisiasi oleh sekeha atau sanggar yang tumbuh di Desa Ubud. Namun sudah setahun lebih pagebluk ini melanda, aktivitas pementasan seni juga tidak bisa dilakukan. Suara gamelan seakan-akan lenyap begitu saja seiring menurunnya kunjungan pariwisata.

Baca Juga: Serial Program Telusur Seni Tradisi Hadirkan Dua Tarian Sakral Bali 

1. Ritual di pura tidak lagi diiringi suara gamelan

Penampilan komunitas Gamelan Yuganada (Dok.IDN Times/Wayan Sudirana)

Komposer dan Etnomusikolog lulusan University of British Columbia, Kanada, Wayan Sudirana, menceritakan seni pertunjukan di Ubud sudah terhenti sejak awal pandemik, Maret 2020 lalu. Kondisi itu membuat banyak penari dan penabuh gamelan merindukan suasana kehidupan seperti sebelum pandemik. Sampai saat ini tidak ada lagi pentas seni di puri dan di banjar-banjar di Ubud.

“Setop, sampai sekarang itu gak terdengar lagi itu. Ngak ada lagi. Jadi seni pertunjukan wisata itu ya mati sampai sekarang,” ungkapnya saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Senin (9/8/2021).

Sementara untuk tampil di acara ritual, mereka juga harus dihadapkan dengan ketatnya aturan pelaksanaan kegiatan saat pandemik. Hanya prajuru adat saja yang diperkenankan ke pura, tanpa diiringi penabuh gamelan. Selama pandemik, ritual di pura tidak lagi diiringi suara gamelan.

Gamelan seperti selonding dan gambang sempat mulai dimainkan lagi saat angka kasus positif COVID-19 di Provinsi Bali sedikit. Tepatnya sebelum penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Juli lalu.

Suara gamelan juga sempat terdengar di rumah-rumah warga yang tengah menggelar piodalan (upacara). Namun memang dikemas lebih kecil yakni hanya gamelan selonding, kendang, dan gong saja untuk mengiringi tarian ritual yang dilakukan.

“Itu sudah mulai dimainkan saat odalan (upacara). Tapi karena PPKM yang ketat ini lagi. Setop lagi,” jelasnya.

2. Komunitas penabuh gamelan tidak bisa latihan saat pandemik

Penampilan komunitas Gamelan Yuganada (Dok.IDN Times/Wayan Sudirana)

Wayan Sudirana menjelaskan bahwa komunitas penabuh gamelan ada di setiap banjar di Ubud. Begitu juga di dalam puri. Ia sendiri merupakan founder Komunitas Gamelan Yuganada yang beranggotakan 25 orang. Selama pandemik, komunitas gamelannya tidak bisa lagi melakukan pentas reguler. 

Sebagai warga Ubud, dengan penerapan kebijakan PPKM yang ketat di masyarakat, ia merasa malu jika memaksa tetap menggelar latihan. Namun ia tetap bersyukur karena masih ada saja kegiatan yang bisa dilakukan sehingga tidak terlalu vakum.

“Kalau latihan sih enggak. Kami on project aja. Kami ada project dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pada masa awal-awal. Kemudian ada project virtual dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar. Terus, berkolaborasi dengan Titi Mangsa waktu ini. Kami membuat event Taksu Ubud,” ungkapnya.

Berita Terkini Lainnya