TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pasien Bipolar di Bali Kesulitan Akses Obat Tanggungan BPJS Kesehatan

Obat yang diberikan hanya cukup untuk satu minggu

Ketua Komunitas Bipolar Bali, Yarra Rama. (IDN Times / Ayu Afria)

Badung, IDN Times – Orang Dengan Bipolar (ODB) di Provinsi Bali kerap mengalami kesulitan untuk mendapatkan obat yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Biasanya para ODB hanya mendapatkan obat yang cukup hanya untuk satu minggu saja.

Persoalan itu diungkap dalam forum diskusi Komunitas Bipolar yang diselenggarakan pada Minggu (3/4/2022). 

Baca Juga: Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kali

Baca Juga: Kasus Bipolar di Bali Relatif Lebih Sulit untuk Didiagnosis, Mengapa? 

1. Sulitnya memperoleh obat yang dicover BPJS Kesehatan membuat ODB harus membeli sendiri

Foto hanya ilustrasi. pexels.com/@alex-green

Ketua Komunitas Bipolar Bali, Yarra Rama, mengungkapkan bahwa para ODB juga dihadapkan dengan permasalahan akses obat yang dicover oleh BPJS Kesehatan. Karena sering kesulitan mendapatkan obat, ODB kemudian harus membeli obat dengan biaya sendiri.

Apabila tidak mampu membeli, para ODB akan berhenti mengonsumsi obat. Akibatnya, hal itu akan berdampak pada kesehatannya sehingga gangguan mood mereka pun kembali kambuh.

“Masalah sehari-hari yang kami hadapi. Kami mendorong teman-teman untuk semangat berobat. Tapi ketersediaan obatnya nggak ada. Dari BPJS dulu peraturannya dapat dari rumah sakit cuma jatah sampai satu minggu. Sisanya kami disuruh nyari sendiri. Jadi nyari ke sana sini susah. Sekarang peraturannya sudah bisa ngambil di rumah sakit. Tapi lagi-lagi ketersediaannya yang ada itu cuma untuk satu minggu. Keseringannya begitu,” ungkapnya.

Belum lagi mereka harus meminta izin cuti kerja untuk berobat dan konsulasi. Guna menjamin kesinambungan tersebut, Yarra meminta agar pihak BPJS membantu permasalahan ini.

2. Sebagian besar status ODB di Bali kelas ekonomi menengah ke bawah

Diskusi dengan Komunitas Bipolar Bali. (IDN Times / Ayu Afria)

Yarra mengatakan, dari data yang ia ketahui, ada sekitar 70 ODB di Bali, baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA). Hanya saja banyak yang belum terdaftar. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, dari perawat, psikolog, design grafis, musisi, waitress, dan lainnya. Sebanyak 80 persen di antaranya merupakan ODB dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.

“Member kami 80 persen kolom c. Jadi menengah ke bawah sehingga kalau obat-obatan ini terhambat, mereka tidak mampu melanjutkan pengobatan itu,” ungkapnya.

Berapa harga obat yang harus ditebus ODB jika mereka membayar menggunakan uangnya sendiri? Yarra mengatakan paling tidak ODB mengeluarkan biaya sekitar Rp125 ribu per 15 menit konsultasi. Jumlah itu di luar biaya obat. Sementara untuk harga obatnya saja, mereka harus mengeluarkan Rp200 ribu sampai Rp500 ribu per bulannya.

“Saya pernah ada momen tertentu, yang saya habis sebulan itu Rp5 juta. Ini kan untuk kasus-kasus tertentu, orang-orang akhirnya memilih untuk ya udah, saya nggak berobat karena saya nggak mampu gitu,” jelas Yarra yang juga seorang penyintas Bipolar.

Berita Terkini Lainnya