Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kali

Jika pernah mengalami seperti Guntur, please kontak kami

Penulis: Ufiya Amirah

Guntur Nugraha (22) adalah mahasiswa perguruan tinggi di Bali. Pada tahun 2021, ia didiagnosa mengidap gangguan Afektif Bipolar. Laki-laki yang biasa dipanggil Guntur ini menceritakan sebelumnya sempat mengalami patah hati lantaran berpisah dengan kekasihnya. 

Denpasar, IDN Times - Pascapatah hati, kala sedih merundung hidupnya, Guntur seringkali melakukan self harm untuk meluapkan kesedihan. Namun kini ia merasa mampu menghadapi lukanya dengan self control yang lebih baik.

Perjuangan Guntur tidaklah mudah. Didiagnosa Afektif Bipolar pada usia muda, menjadi tantangan yang cukup besar baginya. Namun Guntur sadar, bahwa ia harus tetap maju dan tidak terbelenggu dengan apa yang dialaminya.

Baca Juga: Hari Bipolar Sedunia: Mengenal Gangguan Bipolar dan Melawan Stigma

1. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga bisa merasakan luka patah hati

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kaliFoto hanya ilustrasi. (pexels.com/kelly-lacy-1179532)

Memaksa laki-laki untuk tidak boleh merasakan sedih, cengeng, dan menangis adalah bentuk perilaku toxic masculinity. Superioritas laki-laki dalam sistem masyarakat patriarki menegaskan bahwa laki-laki adalah makhluk kuat, tegas, dan berwibawa. Padahal perasaan sedih, lemah, dan tak berdaya merupakan sifat yang manusiawi.

Perasaan sedih maupun bahagia akan hinggap ke diri manusia tanpa mengenal gender. Laki-laki yang merasa sedih, bukan berarti ia banci. Perasaan itu manusiawi dan normal.

Pascapatah hati, Guntur mengalami blues feeling yang membuatnya susah tidur, emosi tak terkontrol, dan sering stres. Bahkan karena sulitnya berdamai dengan lukanya, ia melakukan self harm untuk mencari ketenangan.

Proses move on dari orang tersayang memang tak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, ketika sudah terbiasa bersama menjalani hari, lalu tiba-tiba dipaksa berhenti, membuat Guntur kehilangan sosok tumpuan.

"Hari-hari setelah patah hari terasa sangat berat. Pikiran terasa sangat kacau dan hanya dipenuhi perasaan bersalah, sedih, marah, dan menderita. Dadaku selalu merasa sakit dan pikiran itu selalu menghantui.

Bangun setiap pagi dan memikirkannya adalah siksaan. Setiap pagi aku bangun dan pikiran pertamaku adalah F*CK! Another day! Bagaimana aku akan melewati ini? Dan itu terus menerus berulang ulang setiap harinya," ucap Guntur, Selasa, (1/3/2022).

2. Menyakiti diri sendiri untuk meredakan kesedihan

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kalipexels.com/VisionPic.net

Pengalaman luka setiap orang berbeda-beda, tidak ada yang sepenuhnya sama. Ada orang yang kuat menghadapinya, mampu mengontrol diri, bahkan bisa berdamai begitu saja. Sebaliknya, ada pula orang yang sampai melakukan self harm. 

Self harm adalah coping strategy yang tidak sehat dan sebaiknya dihindari. Apabila mengalami tekanan psikis yang dapat berujung pada luka fisik, sangat disarankan untuk segera konsultasi ke psikolog/psikiater untuk konseling.

Bentuk self harm yang paling ekstrem adalah pelaku mengamputasi bagian tubuhnya. Perilaku self harm yang sering ditemui biasanya menyilet maupun menggores kulit mereka. Ada pula yang menjambak rambut, membenturkan kepala, menampar wajah, atau menggigit bibir dan lidah.

Dulu, bagi Guntur, self harm dapat membantunya untuk mendapatkan coping yang tepat. Ia merasa luka fisik dapat meringankan beban luka di hatinya. Sehingga self harm tak hanya dilakukan sekali, namun berulang kali.

"Iya, karena aku merasa dengan melakukan self harm emosiku tersalurkan dan mungkin secara tidak sadar itu terus aku lakukan walaupun ketika pikiranku sedikit tenang. Aku menyesali melakukan itu," tutur Guntur.

3. Mengalami gejala stres dan depresi yang tak lagi bisa dikontrol

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kaliunsplash/Hassan Vakil

Guntur menceritakan, akibat gejala stres dan depresi yang tak lagi bisa dikontrol, ia memutuskan untuk ke psikiater agar mendapatkan pertolongan. Pada Mei 2021, ia mencoba melakukan konseling ke psikiater Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Denpasar.

Hasil observasi dokter psikiater menunjukkan, Guntur mengidap Afektif Bipolar. Sebulan kemudian, tepatnya Juni 2021, psikiater di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah merujuk Guntur untuk diopname lantaran Afektif Bipolar yang diidapnya cukup mengganggu.

"Aku didiagnosa Bipolar setelah aku merasa tidak kuat lagi dan butuh pertolongan psikiater. Aku datang sendiri ke psikiater di Rumah Sakit Bhayangkara dan aku didiagnosa Afektif Bipolar setelah diobservasi oleh dokter yang menangani saat itu. Diagnosis selanjutnya waktu aku opname di Rumah Sakit Sanglah. Itu panjang proses observasinya, isi wawancara sama kuesioner gitu. Hasil diagnosanya sama," tutur Guntur.

Menurut Ankit Jain dan Paroma Mitra dalam bukunya Affective Bipolar Disorder (2021) menyebutkan, Afektif Bipolar adalah gangguan suasana hati yang kronis dan kompleks yang ditandai dengan kombinasi fase manik (mania bipolar), hipomanik, dan depresi (depresi bipolar), dengan gejala subsindromal substansial yang biasanya muncul atas kondisi dan situasi hati.

4. Konseling psikoterapi, mengonsumsi obat, hingga opname di rumah sakit

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kaliFoto hanya ilustrasi. (pexels.com/Andrew Neel)

Pada dasarnya, luka fisik dan luka jiwa memiliki kesamaan. Sama-sama menyakitkan. Namun sebagian besar masyarakat belum memiliki awareness tentang gangguan mental sehingga menyepelekan luka jiwa. Padahal, apabila penyakit mental tak segera disembuhkan, risiko dan dampaknya akan separah luka fisik yang tak segera diobati.

Perjuangan Guntur sejak didiagnosa sangatlah sulit. Dia harus melakukan konseling terapi rutin untuk mengontrol emosinya, mengonsumsi obat untuk membantu menenangkan pikiran-pikiran negatif yang muncul tatkala sedihnya tak terbendung, bahkan perlu opname di rumah sakit lantaran menurut dokter, kondisi Guntur sangatlah parah.

"Aku melakukan konseling rutin dan beberapa kali ke luar masuk rumah sakit opname karena bipolarku, selama kurang lebih 6 bulan. Proses konselingnya berupa psikoterapi, dan terapi obat. Karena menurut dokter, kondisiku saat itu sudah sangat parah.

Bahkan aku benar-benar kacau secara mental dan pikiran pada saat di ruang tunggu saat antrean konseling. Aku nunggu berjam-jam dengan gelisah, stres, nangis beberapa kali benturin kepala ke tembok beberapa kali juga," jelas Guntur.

5. Guntur berupaya sembuh dengan melakukan meditasi dan melatih self control

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kaliilustrasi meditasi (pexels.com/Prasanth Inturi)

Walaupun perjalanan Guntur begitu terjal untuk berdamai dengan masa lalu dan kondisi mentalnya, ia tetap berupaya untuk mengontrol diri ketika ada mood trigger. Ia melakukan meditasi, pergi bersama kawan-kawannya, nonton film dan video YouTube. Aktivitas itu membantu Guntur untuk menjauhkan emosi negatif yang dirasanya.

"Dokter menyarankan untuk aku melakukan meditasi sebagai metode healing. Pikiranku lebih stabil karena aku sudah tidak mengalami depresi lagi, dan itu berpengaruh ke self control, emosiku tidak meledak-ledak. Mungkin itu hasil dari psikoterapi dan meditasi ya sama dibantu juga dengan waktu dan lingkungan."

Ia saat ini masih merasakan gejala bipolar. Hanya saja sudah lebih ringan dan bisa dikontrol.

"Mood swing-nya pun gak ekstrem. Kalau cara aku kontrolnya, biasanya kalau bener-bener penat, aku salurin ke nonton sesuatu, entah film atau YouTube atau nongkrong sama temen," jelas Guntur.

6. ODB bisa bergabung di Komunitas Bipolar di Bali

Kisah Guntur Berjuang dengan Bipolar, Self Harm Berkali-kaliUnsplash/dpm87

Apabila kamu Orang dengan Gangguan Bipolar (ODB) dan tinggal di Bali, kamu bisa terlibat dalam Komunitas Penyintas dan Cargiver Bipolar Bali. Kamu dapat menghubungi kontak 085792917671 atau chat via Direct Message via Instagram @komunitaspenyintas.bali untuk informasi lebih lanjut. 

Jangan menyepelekan kesedihan orang lain. Yuk saling menguatkan. 

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani
  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya