Kesaksian Rai, Perempuan yang 17 Tahun Bawa Panji I Gusti Ngurah Rai
Merasa seperti membawa beban 1.000 orang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times – Rai Riawati (57), perempuan generasi ketiga veteran di Provinsi Bali yang menghabiskan masa kecilnya bersama keluarga Pahlawan I Gusti Ngurah Rai. Ia juga melakoni tugas mulia selama 17 tahun lamanya membawa panji-panji I Gusti Ngurah Rai setiap kali melakukan napak tilas bersama Perkumpulan Pemuda Panca Marga. Ada pengalaman menarik yang ia ungkapkan selama menjalankan tugasnya tersebut.
Dijumpai oleh IDN Times di Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP) di Jalan Cempaka, Dangin Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Utara, ia menjelaskan bahwa ada agenda rutin tahunan “Napak Tilas”. Mereka menelusuri jejak pahlawan I Gusti Ngurah Rai mulai dari saat pendaratannya di Yeh Kuning pada 25 April 1946 hingga menuju Desa Munduk Malang. Pasukan Pahlawan Ngurah Rai tersebut kemudian melakukan long march menuju Gunung Agung hingga tanggal 17 Juli 1946.
“Di situ pertama kali dibentuk cikal bakal TNI Kodam IX Udayana di Munduk Malang tanggal 19 April 1946,” jelasnya pada Rabu (5/8/2020).
Di lokasi Gunung Agung tersebut, ia ungkapkan terjadi pertempuran besar-besaran oleh pasukan Pahlawan I Gusti Ngurah Rai. Pertempuran itu sekarang ditandai dengan adanya monumen Tanah Aron. Setelah pertempuran di Gunung Agung tersebut, pasukan I Gusti Ngurah Rai pun turun menuju Margarana, Tabanan dengan total pasukan sebanyak 96 orang. Singkat cerita, ia ungkapkan terjadi pertempuran di Margarana dan sejumlah 96 orang gugur semua, termasuk I Gusti Ngurah Rai pada 20 November 1946.
“Di Margarana itu terkumpul semua pahlawan-pahlawan yang gugur di Bali. Jadi dibuatkan simbol batu nisan di Margarana itu. Ada 1.371 nisan plus satu nisan itu ada nama-nama pahlawan yang tidak dikenal,” jelasnya.
1. Setiap kali membawa panji-panji I Gusti Ngurah Rai, seperti merasakan beban 1.000 orang
Rai mengungkapkan, sebenarnya napak tilas ini dilakukan pada 10 sampai 20 November setiap tahunnya. Dengan titik kumpul di Lapangan Renon, Denpasar dan berakhir di Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Tabanan.
“Jadi, selama 10 hari itu kami keliling Bali. Keliling Bali semua kabupaten kami datangi. Dan kami semayamkan Pataka Gusti Ngurah Rai itu semalam-semalam di setiap wilayah, setiap kabupaten,” jelasnya.
Ia pun menceritakan pengalamannya selama 17 tahun menjadi bagian dari Pemuda Panca Marga. Kejadian yang sama ini hampir setiap tahun ia alami. Rai sempat bertanya kepada para pembawa tandu yang berisi surat sakti Pahlawan I Gusti Ngurah Rai.
“Ibu kan nyetir sendiri nih. Ibu bawa langsung mobil (ford double cabin) dengan di belakang (mobil) ibu itu, ada panji-panji beliau (I Gusti Ngurah Rai) dengan pasukan pengawal hanya empat orang di belakang. Begitu naik mobil itu, langsung genjet gini ke belakang. Jadi kayak ada tekanan di belakang. Kayak ada yang naik 200 orang gitu lah,” kisahnya.
“Tapi yang ibu rasakan seperti ibu membawa beban 1.000 orang di belakang itu. Beratnya luar biasa. Dan ibu juga sering bertanya kepada anak-anak yang membawa tandu, ibu tanya. Ini tandunya sebenarnya ndak berat, kecil, orang cuma isi surat sakti beliaunya. Nah itu dibawa oleh dua orang, beratnya luar biasa. Percaya gak (tidak) percaya, kita yang rasa,” jelasnya.
Ia mengakui, baru jalan satu hingga dua kilometer saja, tandu tersebut terasa sangat berat. Rai kemudian memaknai bahwa kejadian yang setiap tahun ia rasakan tersebut merupakan restu dari para pahlawan I Gusti Ngurah Rai.
“Ya, 17 tahun ibu menjadi sopir sampai membawa itu (panji I Gusti Ngurah Rai) belum pernah mengalami kejadian (kecelakaan) di jalan yang sampai membuat panji ini jatuh,” serunya.
Baca Juga: Kisah Dharma Bakti Tjilik, Inisiator Pembangunan TPB Margarana Bali
Baca Juga: Kisah Superhero Perempuan di Klungkung, Pembunuh Jenderal AV Michiels