Dugaan Korupsi Tanah 1 Hektare di Pulau Serangan, Ipung Lapor ke KPK
Tanah sengketa ini diperebutkan oleh 3 pihak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
“Sebelumnya saya lelah. Saya capek, saya kecewa. Mungkin kalau bisa saya katakan ya, mungkin kalau saya bukan orang hukum, saya akan lakukan sesuatu yang benar-benar melanggar hukum. Tapi tidak akan pernah saya lakukan,” ucap Siti Sapura, alias Ipung.
Denpasar, IDN Times – Mimik advokat sekaligus pemerhati anak dan perempuan, Siti Sapura, alias Ipung, tampak begitu lelah, pada Kamis (2/6/2022). Setelah sekian lama, ia akhirnya menempuh jalur hukum untuk mengurus tanah yang disebut milik leluhurnya, seluas 1,12 hektare, di Kampung Bugis, Pulau Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan.
Ipung bersurat kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung RI, dan Kementerian terkait lainnya atas praktik pengambilalihan tanah oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.
Surat tersebut telah dikirim pada Kamis (2/6/2022). Bendelan surat tersebut juga berisi 15 tumpukan dokumen putusan, mulai dari tahun 1974, 1975, 2009, hingga tahun 2010. Dokumen tersebut merupakan dokumen putusan dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), hingga Mahkamah Agung (MA). Terdiri dari satu kali kasasi dan dua kali dokumen Peninjauan Kembali (PK).
Mengapa kasus ini dilaporkan ke KPK? Menurut Ipung, pecahan kasus tanah tersebut melibatkan penggunaan anggaran negara untuk membangun jalan di lokasi tanah leluhurnya. Proyek pengaspalan tersebut merupakan hasil kegiatan musyawarah rencana pembangunan yang dilakukan pihak Pemerintah Kota Denpasar yang juga mengklaim tanah tersebut tanpa melibatkan dirinya. Jadi luasan tanah ini diperebutkan oleh 3 pihak sekaligus, yakni PT. BTID, Pemkot Denpasar, dan Desa Adat.
Baca Juga: Cucu Pengawas LPD Serangan Diduga Terlibat Kasus Korupsi
1. Tanah sengketa diklaim banyak pihak, mulai ahli waris hingga Pemerintah Kota Denpasar
Ipung menceritakan, pada 21 September 1957, Sikin yang merupakan ahli waris mantan Kepala Desa Serangan, Abdurahman, menjual dua blok tanah kepada Kepala Dinas Kampung Bugis, Daeng Abdul Kadir. Blok pertama yakni Pipil II, Persil Nomor 15c seluas 0,995 hektare seharga Rp3.500 dengan bukti Akta Jual Beli (AJB) Nomor 27/57. Kemudian blok tanah yang kedua luasnya adalah 1,12 hektare, dengan harga Rp4.500, dengan Pipil Nomor II, Persil Nomor 15a dan AJB Nomor 28/57.
“Pada saat Sikin meninggal, ahli waris dari Sikin menggugat Daeng Abdul Kadir setelah dia meninggal (tahun 1973) dan ibu saya, Maisarah. Dengan mengatakan Pipil Nomor II, Persil Nomor 15a yang luasnya 1,12 hektare tidak pernah diperjualbelikan. Namun fakta di persidangan mengungkapkan memang ada tercatat jual beli pada 21 September 1957. Sejak saat itu dicoret namanya Abdurahman menjadi Daeng Abdul Kadir,” jelasnya.
Kemudian pada tahun 2009, saat Ipung berencana merenovasi rumahnya di Kampung Bugis Serangan untuk membangun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Anak dan Rumah Aman, ia malah digugat oleh 36 Kepala Keluarga (KK) dengan alasan takut diusir dari lokasi tersebut. Penggugatan ini berlangsung lama, yakni sejak tahun 2009 hingga November 2020.
“Pada saat proses, tanah ini menjadi tanah sengketa secara otomatis. Pertanyaan saya begini, boleh tidak pihak-pihak lain mengakui atau mengklaim bahwa tanah sengketa itu adalah milik seseorang? Secara hukum tentu tidak. Saya saja tidak boleh mengatakan itu. Tapi bagaimana ceritanya PT. BTID yang masuk ke Serangan pada tahun 1996, yang dilakukan mulai pembangunan jalan hingga melakukan reklamasi 480 hektare laut Serangan, tiba-tiba punya tanah di tanah eksekusi? Mengklaim dengan menggunakan SKMLH Nomor 480 tahun 2015. Bagaimana ketika tanah itu menjadi tanah sengketa Pemkot Denpasar kemudian mengatakan itu tanah Pemkot berdasarkan SK Walikota Nomor 188 tahun 2014,” jelasnya.
Berdasarkan 15 dokumen putusan yang ia punya, diketahui bahwa tanah tersebut adalah milik Daeng Abdul Kadir.