Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Sikap Feodalisme yang Harus Dihilangkan dalam Keluarga

ilustrasi keluarga (pexels.com/leah)
ilustrasi keluarga (pexels.com/leah)

Feodalisme mungkin terdengar seperti konsep kuno yang hanya berlaku di zaman kerajaan. Tapi dalam kenyataannya, sisa-sisa pola pikir ini masih banyak kita temui dalam kehidupan modern, termasuk di dalam lingkungan keluarga. Sikap feodal dalam keluarga sering kali membentuk hierarki yang kaku, menekankan kekuasaan, dan membatasi ruang dialog sehat antara anggota keluarga.

Dalam dunia yang semakin terbuka dan demokratis, pola asuh dan relasi dalam keluarga pun harus ikut berkembang. Menghilangkan sikap-sikap feodal bukan berarti tidak menghormati orangtua atau mengabaikan nilai-nilai budaya, tapi justru menata ulang relasi agar setiap anggota keluarga memiliki ruang untuk bersuara dan merasa dihargai. Berikut lima sikap feodalisme yang sudah saatnya ditinggalkan dalam lingkungan keluarga.

1. Menganggap orangtua selalu benar

ilustrasi orangtua(pexels.com/pixabay)
ilustrasi orangtua(pexels.com/pixabay)

Sikap ini sering kali menjadi akar dari komunikasi yang tidak sehat dalam keluarga. Ketika orangtua merasa selalu benar dan anak harus menerima segala keputusan tanpa bertanya, maka yang terbentuk adalah relasi satu arah yang kaku. Anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar berdialog, berargumentasi secara sehat, dan merasa bahwa pendapat mereka juga bernilai. Padahal, menjadi orangtua bukan berarti tak pernah salah.

Pola pikir seperti ini bisa berdampak panjang, membuat anak menjadi pribadi yang takut mengambil keputusan karena terbiasa ditekan oleh otoritas. Dalam jangka panjang, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan sulit membangun hubungan sehat dengan orang lain.

2. Menuntut rasa hormat yang berlebihan

ilustrasi keluarga (pexels.com/leah)
ilustrasi keluarga (pexels.com/leah)

Dalam banyak keluarga feodal, orangtua menuntut dihormati hanya berdasarkan usia atau posisi sebagai kepala keluarga, bukan karena sikap dan teladan yang mereka tunjukkan. Padahal, rasa hormat sejati muncul dari rasa kagum dan pengakuan terhadap integritas seseorang. Jika orangtua berkata kasar, tidak adil, atau merendahkan anggota keluarga lain, maka rasa hormat yang muncul bukanlah tulus, melainkan karena takut.

Sikap seperti ini hanya akan menanamkan budaya kepatuhan buta tanpa pemahaman nilai. Keluarga sehat seharusnya mendorong rasa hormat yang tumbuh dari keteladanan dan rasa kasih, bukan dari paksaan atau ancaman. Orangtua yang bersikap adil, jujur, dan terbuka akan jauh lebih dihormati daripada yang hanya mengandalkan posisi.

3. Mengabaikan pendapat anak

ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/ante)
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/ante)

Dalam keluarga feodal, suara anak-anak sering kali tidak dianggap penting. Mereka dianggap belum cukup umur untuk memberikan masukan atau pendapat, apalagi dalam keputusan penting. Ini kemudian menumbuhkan kesenjangan komunikasi yang signifikan antara generasi, di mana anak merasa tidak dihargai, dan orangtua menganggap anak hanya sebagai objek asuhan, bukan subjek yang juga punya pemikiran.

Padahal, melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan—meski keputusan akhirnya tetap di tangan orang tua—dapat menjadi latihan yang sangat baik untuk membentuk tanggung jawab dan pola pikir kritis. Anak yang diberi kesempatan untuk berbicara akan lebih percaya diri, lebih peka terhadap kebutuhan orang lain, dan lebih terbuka dalam menyampaikan masalahnya.

4. Membedakan perlakuan berdasarkan gender

Ilustrasi cinta orangtua dan anak (pexels.com/pixabay)
Ilustrasi cinta orangtua dan anak (pexels.com/pixabay)

Satu warisan feodalisme yang masih terasa dalam banyak keluarga adalah perlakuan berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, atau antara anak sulung dan bungsu. Anak laki-laki sering dibebani tanggung jawab besar sebagai penerus keluarga, sementara anak perempuan dianggap lebih cocok mengurus rumah.

Pola ini selain tidak adil, juga menciptakan ketimpangan emosional antarsaudara. Anak yang merasa dibeda-bedakan bisa menyimpan luka batin, kecemburuan, atau perasaan tidak dihargai. Keluarga modern seharusnya mulai menanamkan prinsip kesetaraan, di mana setiap anak, tanpa memandang jenis kelamin atau urutan lahir, memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk berkembang.

5. Melarang anak menentang dan bertanya kepada orangtua

ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/olia)
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/olia)

Dalam keluarga yang masih terjebak pola pikir feodal, bertanya atau menentang dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Anak yang mengutarakan ketidaksetujuan sering kali langsung dicap durhaka atau tidak tahu sopan santun. Padahal, keberanian untuk bertanya dan mengemukakan pendapat adalah bagian penting dari pembelajaran dan pengembangan diri.

Jika anak terus-menerus dilarang bertanya, mereka akan tumbuh dalam ketakutan dan kebingungan. Mereka mungkin akan mencari jawaban dari sumber yang salah atau menutup diri sama sekali. Keluarga seharusnya menjadi tempat pertama dan utama di mana anak merasa aman untuk bertanya, mengungkapkan isi hati, dan menguji pandangan mereka tanpa takut dihakimi.

Feodalisme dalam keluarga bukan sekadar persoalan pola asuh yang kuno, tapi merupakan cermin dari ketimpangan relasi yang terus diwariskan tanpa disadari. Menghilangkan sikap-sikap feodal bukan berarti melawan orangtua atau tradisi, melainkan lebih kepada membangun ruang keluarga yang setara, saling menghargai, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us