5 Daftar Warisan Budaya Tak Benda dari Klungkung

1. Lukisan Wayang Kamasan

Desa Kamasan memiliki seni lukis klasik. Yaitu Lukisan Wayang Kamasan. Seni lukis ini diperkirakan berkembang pada abad ke-14, masa Raja Dalem Waturenggong yang memerintah di Kerajaan Gelgel. Lukisan Wayang Kamasan masuk dalam daftar WBTB Nasional pada 2015. Seni lukis ini biasanya mengambil tema-tema pewayangan dari Mahabharata, Ramayana, cerita Tantri, atau cerita dari Kitab Sutasoma.
Keunikan seni lukis klasik ini adalah dari bentuk dan isi yang berbeda dengan kesenian serupa di daerah lain. Bentuk karakternya punya ciri khas dan mengandung isi yang penuh dengan filosofi, filsafat, serta nilai-nilai kehidupan berdasarkan suatu cerita. Jadi pelukisnya harus benar-benar memahami jalan cerita yang akan dituangkan menjadi Lukisan Wayang Kamasan. Proses mewarnainya menggunakan pewarna alami, yaitu batu pere atau gamping. Bahan ini menghasilkan warna kuning kecokelatan yang menjadi ciri khas Lukisan Wayang Kamasan.
2. Tradisi Mejaga-jaga

Tradisi Mejaga-jaga berasal dari Desa Besang Kawan Tohjiwa, Semarapura Kaja. Tradisi ini dilaksanakan setiap setahun sekali tepatnya pada Tilem sasih Karo (bulan kedua dalam kalender Bali). Tujuan dari diadakannya tradisi ini untuk menetralisir kekuatan-kekuatan negatif yang ada serta membersihkan alam di desa setempat.
Pelaksanaan tradisi Mejaga-jaga menggunakan hewan kurban berupa sapi yang dipilih secara khusus. Sapi ini diikat dengan tujuh tali kemudian diarak oleh warga yang dimulai dari catus pata (perempatan) desa. Saat diarak sapi akan setelah diupacarai, sapi akan dilukai di bagian pantat sebelah kanan dan ditebas dengan blakas (golok) sudamala yang telah disakralkan.
Darah yang keluar dari tubuh sapi akan diperebutkan oleh warga yang diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ceceran darah sapi juga diyakini sebagai pelindung desa dari kekuatan negatif maupun gangguan secara sekala dan niskala. Tradisi Mejaga-jaga masuk sebagai WBTB Nasional pada 2021.
3. Tradisi Dewa Mesraman

Tradisi Dewa Mesraman berasal dari Desa Paksebali, Kecamatan Dawan. Tradisi ini diadakan setiap 210 hari sekali bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, Sabtu, Saniscara Kliwon, wuku Kuningan. Mesraman berasal dari kata mesra yang berarti bersenang-senang secara lahir dan batin. Dewa Mesraman sebagai simbol para Dewa, dan warga diliputi rasa gembira serta kebahagiaan saat menyambut Hari Raya Kuningan.
Tradisi Dewa Mesraman diadakan di Pura Panti Timbrah, Desa Paksebali yang dilaksanakan selama dua hari. Hari pertama bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Biasanya warga akan bergotong royong untuk mempersiapkan sarana yang akan digunakan. Puncak pelaksanaannya pada Hari Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan). Saat pelaksanaannya, menggunakan tujuh buah joli atau jempana yang menjadi tempat untuk meletakkan pratima (simbol dari dewa).
Joli ini akan diusung warga menuju sumber air, dalam hal ini sungai, untuk melakukan prosesi mesucian atau pembersihan secara jasmani dan rohani warga yang akan mengikuti Dewa Mesraman. Setelah dari sungai, joli tersebut akan dibawa kembali ke Pura Panti Timbrah. Saat berada di area Madya Mandala pura, akan dihaturkan segehan agung (nama sarana upacara). Kemudian joli akan diarak dan dibenturkan sebagai simbol Dewa yang sedang bergembira. Dewa Mesraman juga sering disebut dengan Dewa Mapalu (beradu). Dewa Mesraman masuk dalam daftar WBTB Nasional pada 2021.
4. Jukut Serombotan

Jukut (sayur) Serombotan merupakan makanan tradisional khas Klungkung. Sayur ini sekilas mirip gado-gado yang menggunakan beragam sayuran. Namun, Jukut Serombotan berisi kangkung, bayam, kacang panjang, tauge, dan terong yang disiram dengan bumbu khusus. Bumbunya terbuat dari racikan kelapa parut, terasi, cabai, bawang, dan bumbu rempah lain dengan rasa gurih-pedas.
Jukut Serombotan mulai dikenal pada abad ke-14 pada zaman Kerajaan Gelgel. Dulunya, kuliner ini menjadi penganan bagi keluarga kerajaan. Seiring berjalannya waktu, Jukut Serombotan mulai dijual untuk warga dan menjadi makanan favorit. Seporsi Jukut Serombotan dijual dengan harga mulai Rp5 ribu. Jukut ini masuk dalam daftar WBTB Nasional pada 2022.
5. Barong Nong Nong Kling

Klungkung memiliki tarian sakral bernama Tari Barong Nong Nong Kling. Asalnya dari Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan. Tari Barong Nong Nong Kling ditetapkan sebagai WBTB Nasional pada 2021.
Tari ini berkaitan dengan sejarah Desa Aan yaitu saat Jero Pasek Gelgel mendirikan Desa Aan pada abad ke-16 (tahun 1580). Kala itu, Desa Aan diserang bencana kelaparan, karena sawah warga terkena hama penyakit. Melalui sebuah petunjuk gaib (pawisik), warga diminta untuk menggelar pertunjukan barong dalam wujud Topeng Hanoman, Kumbakarna, Subali, Sugriwa, Rahwana, dan para punakawan.
Barong tersebut kemudian melakukan prosesi ngelawang atau berkeliling untuk pentas di beberapa tempat seperti halaman rumah warga, perempatan desa (catus pata) dan halaman pura. Wabah tersebut menghilang, dan tanaman warga kembali tumbuh subur. Hal ini membuat warga Desa Aan hingga saat ini selalu melaksanakan tradisi ini.
Barong Nong Nong Kling bentuknya mirip dengan wayang wong. Saat digerakkan akan menghasilkan bunyi seperti suara "nong nong kling", makanya disebut dengan nama Barong Nong Nong Kling. Ada lima orang pria sebagai penari yang mementaskan ini untuk menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan.
Ini merupakan wujud perhatian pemerintah untuk pelestarian dengan masuknya tradisi dan budaya di atas sebagai WBTB Nasional. Semoga ini menambah semangat warga untuk selalu melestarikan tradisi dan budaya tersebut.


















