Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Efek Jangka Panjang Toxic Masculinity pada Anak Laki-Laki

Ilustrasi seorang anak laki-laki dan seorang ayah (Pexels.com/Monstera Production)
Ilustrasi seorang anak laki-laki dan seorang ayah (Pexels.com/Monstera Production)

Toxic masculinity sering kali bersembunyi di balik kalimat seperti “cowok jangan cengeng” atau “laki-laki harus selalu kuat.” Sekilas terlihat biasa saja, bahkan dianggap bagian dari pendidikan karakter. Tapi tanpa disadari, pola pikir ini meracuni proses tumbuh kembang anak laki-laki secara perlahan. Efeknya bukan hanya terasa saat kecil, tapi juga merusak cara mereka menjalani hidup di masa depan. Berikut lima dampak jangka panjang toxic masculinity yang harus kamu waspadai—karena diam-diam, bisa menghancurkan dari dalam.

1. Emosi terpendam yang meledak saat dewasa

Ilustrasi seorang pria marah (Pexels.com/Craig Adderley)
Ilustrasi seorang pria marah (Pexels.com/Craig Adderley)

Anak laki-laki yang dibesarkan dengan larangan mengekspresikan emosi, tumbuh dengan kebiasaan memendam semua perasaan. Mereka diajarkan bahwa menangis adalah kelemahan, sehingga satu-satunya ekspresi yang dianggap “maskulin” adalah marah atau diam total. Hasilnya? Mereka tak pernah belajar cara mengelola emosi dengan sehat.

Ketika dewasa, ini bisa berubah jadi bom waktu. Emosi yang tidak pernah diproses dengan benar bisa muncul dalam bentuk agresi, burnout, bahkan gangguan kecemasan. Mereka jadi mudah frustrasi, kesulitan membangun relasi yang sehat, dan kehilangan kemampuan untuk memahami perasaan sendiri maupun orang lain.

2. Harga diri yang tergantung pada dominasi

Ilustrasi seorang pria berdiri (pexel.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi seorang pria berdiri (pexel.com/Andrea Piacquadio)

Toxic masculinity menanamkan ide bahwa laki-laki harus dominan, kompetitif, dan selalu “menang” dalam segala hal. Anak laki-laki jadi merasa berharga hanya jika bisa menguasai orang lain, tampil kuat, atau jadi pemimpin. Padahal kenyataannya, hidup tidak selalu soal siapa yang paling berkuasa.

Ketika mereka gagal memenuhi ekspektasi tersebut—misalnya, kalah dalam persaingan atau tak punya kuasa dalam hubungan—rasa harga dirinya runtuh. Ini menciptakan pola pikir rapuh yang sangat bergantung pada validasi eksternal, bukan pada ketenangan batin atau pencapaian yang autentik.

3. Hubungan yang dingin dan tidak intim

Ilustrasi seorang pria dan seorang wanita (Pexels.com/Kampus Production)
Ilustrasi seorang pria dan seorang wanita (Pexels.com/Kampus Production)

Anak laki-laki yang dibesarkan dalam lingkungan yang meremehkan ekspresi kasih sayang akan tumbuh menjadi pribadi yang kaku dan sulit menunjukkan afeksi. Mereka bisa bingung membedakan antara kelembutan dan kelemahan, bahkan menghindari bentuk keintiman emosional demi menjaga “citra jantan”.

Dampaknya terasa dalam hubungan mereka: pasangan merasa tidak dipahami, anak merasa tidak dekat dengan ayahnya, dan pertemanan jadi dangkal. Mereka bisa punya banyak relasi secara sosial, tapi tidak pernah merasakan koneksi yang dalam dan tulus. Padahal, hubungan emosional yang sehat adalah pondasi dari kesejahteraan hidup.

4. Takut meminta bantuan dan terjebak dalam kesendirian

Ilustrasi seorang pria duduk sendiri (Pexel.com/Valentin Angel Fernandez)
Ilustrasi seorang pria duduk sendiri (Pexel.com/Valentin Angel Fernandez)

Salah satu doktrin toxic masculinity yang paling merusak adalah anggapan bahwa pria harus mandiri total, tidak boleh menunjukkan kelemahan, apalagi minta tolong. Anak laki-laki tumbuh dengan mentalitas “laki-laki sejati menyelesaikan semuanya sendiri.” Ini terdengar tangguh, tapi sejatinya menciptakan isolasi.

Ketika menghadapi kesulitan hidup, mereka lebih memilih menanggung sendiri ketimbang mencari pertolongan. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap stres kronis, depresi tersembunyi, dan keputusasaan yang tidak pernah ditangani secara terbuka. Ketakutan untuk terlihat lemah justru membuat mereka makin jauh dari pemulihan.

5. Tidak siap jadi ayah atau pasangan yang sehat

Ilustrasi seorang pria sedang berpikir (Pexels.com/MART PRODUCTION)
Ilustrasi seorang pria sedang berpikir (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Anak laki-laki yang tidak pernah diajarkan empati, komunikasi, dan kerentanan akan kesulitan besar saat masuk ke peran sebagai pasangan atau ayah. Mereka mungkin merasa tanggung jawabnya hanya sebatas memberi nafkah, tapi bingung ketika diminta hadir secara emosional di dalam keluarga.

Mereka pun bisa meneruskan pola toxic yang sama ke anak-anaknya, menciptakan lingkaran setan yang tidak putus. Ketidakmampuan membangun koneksi emosional dan hadir secara utuh sebagai partner justru membuat keluarga yang mereka impikan tidak pernah benar-benar terbentuk dengan sehat.

Sudah waktunya kita sadar, bahwa definisi "laki-laki sejati" yang sehat bukan tentang menjadi dingin, keras, atau mendominasi. Tapi tentang menjadi utuh—bisa merasakan, bisa mengungkapkan, bisa bertumbuh. Jika kamu adalah seorang anak laki-laki yang tumbuh dengan luka ini, atau seseorang yang sedang mendidik anak laki-laki, ingatlah: maskulinitas yang sehat tidak pernah menyingkirkan sisi manusiawi. Justru di sanalah letak kekuatan sebenarnya. Beranilah membongkar pola lama agar kamu dan generasi setelahmu bisa hidup dengan lebih jujur, hangat, dan seimbang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us