TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Makna Upacara Biyukungkung, Menghormati Padi di Tabanan

Upacara unik ini dilakukan ketika masyarakat menanam padi

Warga saat melaksanakan upacara Biyukungkung. (YouTube.com/YANA Chanel)

Dahulu, Pulau Bali dikenal sebagai daerah Lumbung Beras. Sebagian masyarakat dulunya menjadi petani di sawah atau ladang mereka. Para petani juga melakukan upacara atau ritual agar sawahnya terbebas dari hama, dan menghasilkan hasil panen yang bagus.

Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Tabanan, tepatnya di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur. Masyarakat di desa ini melaksanakan upacara atau ritual yang disebut dengan Biyukungkung. Seperti apa upacara yang telah dilaksanakan secara turun-temurun ini? Berikut penjelasannya, yang dikutip dari jurnal Widya Duta dengan judul Upacara Biyukungkung, Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menjaga Tei Agrikultur.

Baca Juga: Sejarah Tari Sandar Khas Kedonganan, Kesenian Sakral di Bali

1. Makna Upacara Biyukungkung

Warga saat melaksanakan upacara Biyukungkung. (YouTube.com/YANA Chanel)

Biyukungkung berasal dari kata beya dan kungkung. Beya memiliki arti biaya atau upacara atau upakara. Sedangkan kungkung berasal dari kata kung, yang berarti cinta atau asmara. Asmara yang dimaksud di sini adalah pertemuan antara putik dan tepung sari dalam proses pembuahan. Sehingga Upacara Biyukungkung dapat diartikan sebagai upacara yang dilakukan pada masa bunting padi (setelah pertemuan putih dengan tepung sari).

Saat upacara ini, masyarakat desa setempat memohon kepada Dewi Sri dan Dewa Wisnu agar pohon padi bisa berkembang dengan baik. Pohon padi bisa menghasilkan padi yang banyak dan tidak diganggu oleh hama. Sehingga petani dapat menikmati panen yang melimpah ruah sesuai harapan.

Upacara Biyukungkung adalah jenis upacara Dewa Yadnya. Hal ini karena umat Hindu mempersembahkan sarana upacara untuk Dewi Sri dan Dewa Wisnu. Seperti diketahui, yadnya atau persembahan suci ini dilakukan sebagai wujud rasa bakti yang dilandasi oleh keikhlasan.

2. Upacara Biyukungkung menggunakan sarana keroso dan penjor

Sarana upacara keroso saat melaksanakan upacara Biyukungkung. (YouTube.com/YANA Chanel)

Keunikan Upacara Biyukungkung terletak pada sarana yang digunakan. Upacara yang juga disebut dengan nama Ngiseh ini memakai sarana keroso dan penjor. Keroso adalah alat yang dibuat dari anyaman daun kelapa. Anyaman ini dibentuk melingkar menyerupai corong. Keroso merupakan simbol sarang burung. Dengan sarana ini, petani berharap burung tinggal di sarangnya secara alami, dan tidak merusak tanaman padi yang sedang berbuah. Keroso ini nantinya dijadikan sebagai wadah untuk beberapa sarana seperti kulit telur dan sarang lebah.

Sarana penjor yang digunakan dalam Upacara Biyukungkung tidak sebesar penjor pada Hari Galungan. Penjornya terdiri dari bakang-bakang dari daun enau, pelepah enau, gantungan gubag-gabig, dan hiasan pelawa. Penjor ini nantinya dipasang di hulu dekat temuku atau sumber air (parit kecil). Penjor dalam upacara ini sebagai simbol, gunung yang memberikan kesejahteraan dan keselamatan. Penjor juga sebagai simbol Pertiwi, yang mana segala hasilnya memberikan kehidupan dan keselamatan.

Selain keroso dan penjor, ada sarana upacara lain yang digunakan. Yaitu sanggah cucuk sebagai simbol tempat berstananya Dewi Sri, banten jerimpen wakul sebagai simbol permohonan kepada Tuhan beserta manifestasinya, gebogan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Dewi Sri, dan beberapa sarana upacara lainnya.

Verified Writer

Ari Budiadnyana

Menyenangi hal-hal baru. Menulis salah satu hobi sejak jaman blog. Menulis apa saja yang ada di hati.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya