Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pengembangan Industri Animasi di Bali Terkendala Mindset

ilustrasi film (pexels.com/kyleloftusstudios)

Denpasar, IDN Times - Industri animasi dianggap sebagai industri yang besar dan global. Pengembangan industri ini di Bali juga sangat maju. Hal tersebut disampaikan oleh sutradara asal Kota Denpasar, Nirartha Bas Diwangkara, bahwa menggarap film animasi tidak bisa fleksibel seperti menggarap film biasa. Namun, membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan dukungan dari pemerintah tidak diidapatkan dengan maksimal untuk pengembangan industri ini sendiri.

"Kalau industri animasi di Bali sudah jalan ya. Bedanya animasi dengan film biasa itu, di animasi ini kami benar-benar cerita. Kita gak bisa ubah-ubah nanti saat waktu eksekusi. Jika diubah maka akan memperpanjang waktu dan nama, biaya juga gitu," terangnya.

1. Pembuatan animasi memerlukan waktu yang lama

ilustrasi jam (unsplash.com/insung yoon)

Nirartha berpendapat, meskipun dia bukan animator, tetapi keinginan berkarya melalui animasi sangatlah kuat. Ia bergelut sejak 2019 lalu. Proyek animasi pertama yang ia kerjakan pada tahun 2021-2022. Saat itu ia mendapatkan dukungan pendanaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Proyek tersebut kemudian baru bisa dikerjakan pada 2025 ini.

Ditanyai mengapa rentang waktu hibah dan penyelesaian proyeknya cukup lama? Laki-laki yang akrab dipanggil Nir ini mengatakan, hal tersebut karena mereka lebih disibukkan oleh urusan laporan administrasi hibah dari pemerintah. Nir juga mengaku trauma karena hal itu. Sebab kesibukan administrasi banyak menyita waktu daripada berkarya.

"Prosesnya memang panjang. Panjang lebih ke development ceritanya. Belum ke teknis," terangnya.

2. Pengembangan film animasi di Bali menghadapi tantangan tersendiri

Poster Film Jumbo (instagram.com/jumbofilm_id)

Kendala mindset menjadi tantangan tersendiri, katanya. Para animator di Bali kebanyakan mengerjakan tahapan-tahapan teknis yang memerlukan render yang banyak dan dibayar murah, sehingga perlu adanya sinkronisasi. Animator harus memiliki konsep berpikir berkarya dan membuat konten asli Indonesia untuk kemudian dikembangkan. Masih banyak animator di Bali yang diungkapnya tidak berpikir sejauh itu.

"Beberapa teman animator yang mengerjakan sesuatu itu sifatnya lebih ke project, kan. Cara berpikirnya gitu. Aku datang membawa konten, mengkreasi sebuah cerita baru, mengeksplorasi narasi, dan ini aku mau aku alihkan, sinkronkan gitu," ungkapnya.

Animator seharusnya saat ini juga mulai menyadari tantangan Artificial Intelligence (AI) yang bisa menggantikan fungsi mereka.

3. Pemerintah belum sepenuhnya mendukung industri animasi

Ilustrasi uang dan kalkulator di atas meja (pexels.com/olia danilevich)

Pihaknya juga mempertanyakan peran pemerintah dalam mendukung perkembangan industri animasi dalam negeri. Sejauh yang ia pahami, belum ada instansi pemerintah yang secara resmi memanfaatkan industri animasi asli Indonesia. Mereka justru memilih AI sebagai solusi.

"Aduh kayaknya mereka itu gak ngerti apa itu animasi, jujurnya ya gitu. Kalau mereka ngerti gitu, harusnya pemerintah ngasih insentif gitu," terangnya.

Share
Topics
Editorial Team
Ayu Afria Ulita Ermalia
Irma Yudistirani
Ayu Afria Ulita Ermalia
EditorAyu Afria Ulita Ermalia
Follow Us